Oleh Bachtiar Sitanggang
TIDAK diketahui alasannya sehingga Peraturan Menteri Kehakiman (Permenkeh) RI Nomor M.06.UM.01.06 Tahun 1983 Tentang “Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang” dalam Bab III Titulatur Pasal 13 menentukan: “Penyebutan bagi hakim, penuntut umum dalam persidangan adalah yang terhormat “Saudara Hakim” yang terhormat “Saudara Penuntut Umum”.
Permenkeh tersebut ditetapkan oleh Menteri Kehakiman Ali Said SH (waktu itu) pada tanggal 16 Desember 1983, setelah dua tahun Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disahkan dan berlaku sebagai pengganti Hukum Acara Pidana peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda.
Tetapi walaupun sudah 39 tahun, Pasal 13 Permenkeh tersebut tidak pernah diterapkan, baik oleh para hakim dan lembaga peradilan sendiri, maupun Jaksa Penuntut Umum yang menurut ketentuan pasal tersebut penyebutannya sama.
Memang tidak ada yang salah dengan penyebutan “yang mulia” kepada hakim dan majelis hakim dalam persidangan, agar terlihat sopan dan tertib, ada kelebihan dari para pihak di persidangan. Sebab dengan penggunaan “yang mulia” menunjukkan ada kelebihan dari sekedar yang terhormat “Saudara Hakim”.
Pengaruh apa sehingga Permenkeh tersebut tidak menggunakan kata “yang mulia” tidak jelas apakah ada pengaruh dari karier Ali Said SH yang tidak pernah sebagai hakim di Peradilan Umum setelah lulus Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM)?
Menurut riwayat jabatannya, Letnan Jenderal TNI Ali Said SH memulai karier sebagai Jaksa di Pengadilan Militer lalu menjadi Ketua Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) yang menyidangkan mereka-mereka yang terlibat G-30-S/PKI. Kemudian menjadi Jaksa Agung kemudian Menteri Kehakiman.
Penyebutan yang terhormat “Saudara Hakim” tersebut, menjadi perbicangan belakangan ini termasuk dengan gelar “Agung” pada Mahkamah Agung dan Hakim Agung, sehubungan dengan terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim Agung pada Mahkamah Agung Dimyati Sudrajat dan Gazalba Saleh sebagai Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta sembilan Aparat Mahkamah Agung, dan mungkin akan bertambah lagi dengan kaitan perkara pidana yang belum diungkap.
Sebutan “yang mulia” dan gelar “agung” itu seolah sirna di mata masyarakat sebab ada dari mereka yang menyandang sebutan dan gelar itu tidak mengembannya dengan penuh tanggung jawab, tidak menghormatinya secara etis dan moral sebab belakangan ini ada oknum penyandang sebutan dan gelar itu tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar sebagai penegak hukum dan mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Perilaku oknum tersebut adalah pelanggaran hukum yang justru meruntuhkan harkat dan martabat profesi dengan sebutan “yang mulia” dan gelar “agung” tersebut sangat merugikan para pencari keadilan secara khusus dan masyarakat dan bangsa Indonesia secara umum.
Persoalannya bagaimana mengembalikan agar para penegak hukum itu melaksanakan tugas fungsi dan tanggung jawabnya sesuai hukum dan peraturan perundng-undangan yang berlaku?
Kalau membenahi penegakan hukum dan perwujudan keadilan, harus menyeluruh, Kejaksaan, Kepolisian dan Advokat juga perlu direformasi termasuk instansi Pemerintah.
Pelanggaran hukum itu kelihatannya sebagian besar berawal dari penyelenggaraan pemerintahan seperti masalah periijinan, ingat mafia tanah, mafia ekport import komoditas, pengadaan barang, penanganan judi dan narkoba, kenaikan jabatan/pangkat, sering jadi ladang korupsi, barangkali juga tidak hanya eksekutif dan judikatif, sebab peranan legislatif juga berpengaruh pada penegakan hukum.
Penting diperhatikan pendapat Prof. Dr. Gayus Topana Lumbuun, mantan Hakim Agung, yang mengkritisi Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terfokus pada politik dan ekonomi oleh karenanya masalah hukum dan penegakan terabaikan.
Dalam sistem pemerintahan dengan pembagian kewenangan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, kelihatannya kurang pada tempatnya Presiden Joko Widodo mengurusi lembaga peradilan.
Namun apa yang dikemukakan Prof Gayus dapat dijadikan bahan renungan, bahwa perlu dievaluasi ketua-ketua dan wakil ketua pengadilan tinggi dan pengadilan negeri se Indonesia dan 10 pimpinan Mahkamah Agung.
Seorang guru besar yang mengawali karier sebagai advokat, politisi dan anggota DPR kemudian Hakim Agung, apa yang dikemukakannya tersebut bukanlah hal yang mengada-ada.
Bahwa mafia hukum itu bukan lagi hantu di siang bolong, melainkan sudah nyata di depan mata, kalau dibiarkan tinggal menunggu pembusukan seperti bisul, akibatnya apapun hasil pembangunan tidak akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran.
Oleh karenanya para penyandang sebutan “yang mulia” dan penyandang gelar “agung” yang masih menjunjung tinggi harkat dan martabat, etika dan moral perlu dibentengi sehingga tidak turut “rusak”.
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.