PEKANBARU (Independensi.com) – Proses pelaksanaan pembangunan Jalan Tol dan Ring Road di Kelurahan Muara Fajar Timur, Pekanbaru, hingga saat ini masih mengalami kendala. Hal itu disebabkan perbedaan pengelola lahan dengan pihak yang memiliki legalitas surat diatas sebidang tanah, sehingga pemerintah belum dapat menentukan siapa yang lebih berhak menerima ganti rugi.
Berdasarkan surat Kepala Desa Muara Fajar tertanggal 6 Februari 1977 nomor 06/SKET/MF/II/1977, diberikan hak atau ijin pengelolaan sekitar 50 ha lahan di ujung Jl Ikan Raya – Desa Muara Fajar kepada 25 KK masyarakat Muara Fajar yang tergabung dalam Kelompok Tani Bertuah pimpinan Nampat Tarigan. Hanya saja secara legalitas di lahan tersebut pada awal tahun 2010 terbit beberapa surat keterangan sempadan tanah (SKST) atas nama Leo Pascalis Jose dan keluarganya.
Saat ditanya, bagaimana proses penerbitan surat keterangan sempadan tanah (SKST) atas nama Leo Pascalis Jose dan keluarganya diatas lahan yang dikelola puluhan keluarga anggota Koptan Bertuah, Lurah Muara Fajar Timur, Muchlis tidak bersedia mengupasnya lebih jauh. Hanya saja menurutnya, surat itu terbit disaat pihaknya belum menjabat sebagai lurah di Kelurahan Muara Fajar Timur.
“Lahan dikelola warga yang selama ini tergabung di Koptan Bertuah. Sudah puluhan tahun mereka mengolah dan mengambil hasil dari puluhan hektar lahan tersebut. Hanya saja harus diakui, surat keterangan sempadan tanah (SKST) yang dimiliki Leo dan keluarganya, juga sah dan ditanda tangani pejabat terkait dimasa itu. Mulai dari RT, RW, Lurah hingga Camat, membuat kami sulit menyelesaikan,” ujar Muchlis beberapa waktu lalu.
Sebagaimana diketahui, Dinas Pertanahan Kota Pekanbaru bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pekanbaru belum lama ini, telah melakukan land clearing diatas lahan yang selama ini dikelola Koptan Bertuah. Tujuannya, mengukur lahan yang terkena lokasi pembangunan jalan tol (jalan bebas hambatan) maupun ring road (jalan lingkar).
Menurut sumber yang enggan disebut namanya menjelaskan, di atas lahan kebun kelapa sawit itu, akan terkena konsolidasi tanah (KT) sepanjang 400 meter dengan lebar 300 meter. Nara sumber tersebut megatakan, jika berpedoman pada aturan pembangunan jalan ring road, pemerintah akan memberikan ganti rugi terhadap tanaman dan bangunan diatas lahan yang terkena KT.
Konfirmasi
Ketika dikonfirmasi kepada Jose, dirinya mendukung penuh pembangunan jalan tol ataupun jalan ring road yang dilaksanakan pemerintah. Leo juga menghimbau apabila pemerintah hendak memberikan ganti rugi tanaman sebaiknya kepada warga yang selama ini mengelolanya. “Dan sebaliknya, jika menyangkut ganti rugi tanah, agar diserahkan kepada saya,” kata Leo.
Nampat Tarigan selaku Ketua Kelompok Tani Bertuah mengatakan, yang berhak menerima ganti rugi dari pemerintah adalah para petani Kelompok Tani Bertuah. “Kami mengelola lahan sekitar 50 hektar itu sejak tahun 1994, setelah mendapat ijin dari Kepala Desa Muara Fajar. Di saat kami turun ke lapangan bersama Kepala Desa yang saat itu dijabat Zainal Abidin, tidak ada pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan apalagi lokasinya masih hutan. Tidak mungkin pemerintah melalui Kepala Desa menyerahkan lahan yang sudah ada pemiliknya pada Kelompok Tani Bertuah, itu tidak mungkin,” ujar Nampat.
Lebih jauh Nampat mengatakan, surat tanah yang dimiliki Leo tidak sah tanpa turun ke lapangan. “Seandainya turun ke lapangan pasti bertemu anggota Koptan Bertuah yang tiap hari menggarap lahan,” imbuhnya. Nampat juga menceritakan, Leo pernah menuntut sebuah perusahaan (PT CPI) karena menimbun kolam saat membangun Jl By Pass tanpa membuat gorong-gorong. “Leo menang di pengadilan dan mendapat ganti rugi Rp 1,5 Miliar. Saat itulah Leo menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki tanah atau lahan lagi di daerah itu, karena sudah diganti rugi PT CPI,” ujar Nampat.
Di tempat terpisah, Dapot Sinaga SE Ketua Komisi II DPRD Kota Pekanbaru mengatakan, pihaknya meminta aparat pemerintah dalam proses pemberian ganti rugi tanah terdampak pembangunan jalan tol ataupun ring road agar menyerahkan kepada yang lebih berhak. Hal itu bisa dilihat dari siapa yang mengelola lahan di kawasan itu. Kalaupun ada pihak yang mengatakan punya surat, mana tanahnya, tidak cukup hanya menunjukkan surat.
“Jangan-jangan Leo itu memiliki surat tapi tidak diketahui dimana letak tanahnya. Ini bisa menjadi pertanyaan pada aparat yang menerbitkan surat itu, apakah menanda tangani suratnya di atas meja tidak turun ke lapangan,” ujar Dapot. (Maurit Simanungkalit)