Ketua Umum Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyatno Sp.B., MARS. (Ist)

PDSI: Organisasi Tunggal Kerdilkan Dokter Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Organisasi tunggal profesi merupakan warisan rezim masa lalu, yang bertujuan untuk mengontrol, mengendalikan dokter di Indonesia, sehingga dokter Indonesia menjadi kerdil karena dikekang sedemikian rupa. Sejarah mencatat, kalangan dokter selalu menjadi penggerak dari masa kolonial sampai di masa Indonesia merdeka.

Untuk itu, keberadaan organisasi tunggal kedokteran harus dihapus, sehingga memberikan ruang yang luas bagi dokter untuk berkembang sesuai potensi yang ada untuk Indonesia.

“Bukan rahasia lagi, pada masa orde baru setiap profesi memiliki wadah tunggal, misalnya, wartawan, guru, pengacara, pengusaha dan sebagainya. Dengan satu organisasi itu menjadi alat untuk mengendalikan dan mengontrol melalui kewajiban rekomendasi dan berbagai syarat yang mungkin saja sekadar memperkuat organisasi tetapi di satu sisi melemahkan anggota. Ini yang terjadi. Sekarang, kebetulan hanya organisasi dokter yang masih mempertahankan organisasi tunggal warisan masa lalu itu,” tegas Ketua Umum PDSI Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyatno Sp.B., MARS dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu (4/3/2023).

Untuk itu, katanya, PDSI sengaja didirikan untuk memberikan ruang alternatif bagi dokter untuk memilih organisasi yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan profesinya. Selain itu, kata Jajang, yang harus diingat, konstitusi menjamin warga Negara untuk berserikat dan berkumpul.

Kalau mau jujur, katanya, organisasi tunggal profesi tidak sejalan dengan semangat konstitusi Indonesia.

Jajang menjelaskan, standarisasi profesi bagi dokter itu melalui pendidikan yang diperoleh di lembaga pendidikan yang sah, sehingga ketika seorang dokter menyelesaikan semua persyaratan dari lembaga pendidikan, dengan sendirinya akan memenuhi standar yang diatur pemerintah melalui lembaga pendidikan.

“Dalam hal pemerintah memandang perlu menguji kompetensi untuk kebutuhan tenaga kesehatan, maka hal itu merupakan domain pemerintah bukan domain ormas (organisasi kemasyarakatan). Semua organisasi profesi itu merupakan ormas, bukan perangkat pemerintah, sehingga tidak berhak untuk mengambil alih kewenangan pemerintah. Ada lembaga pendidikan untuk uji kompetensi kalau memang dibutuhkan,” tegas Jajang.

Dia mengatakan, dalam bidang apapun praktik monopoli akan selalu menimbulkan masalah, seperti penyimpangan, manipulasi, ketidakadilan, sewenang-wenang dan sebagainya.

“Kita bisa lihat apa jadinya kalau ada monopoli dalam bidang ekonomi. Begitu juga monopoli dalam bidang informasi dan sebagainya. Begitu juga monopoli organisasi tunggal dalam bidang kesehatan tidak akan lepas dari masalah negatif. Saya kira, hanya Negara atau alat Negara yang memiliki hak monopoli dan itupun memiliki mekanisme pengawasan yang ketat,” tegasnya.

Menurut Jajang, keberadaan PDSI tidak lepas dari pengalaman yang dialami ribuan dokter di Indonesia yang terjebak dalam kerumitan untuk beraktivitas sebagai sebagai dokter, sesuai dengan potensi dan keahliannya. Dia mengatakan, dokter Indonesia harus dimerdekakan untuk berserikat dan berkumpul sesuai dengan kebutuhan, potensi dan kemampuannya.

“Tidak boleh organisasi profesi melarang dokter berpraktik atau tidak. Sebab, hal itu merupakan kewenanangan pemerintah. Tidak boleh dokter dipaksa untuk masuk dan organisasi satu organisasi tertentu dan kalau tidak, seolah keahlian dokter menjadi hilang. Ini sangat mengkerdilkan dokter,” katanya.

Dengan kebutuhan dokter di Indonesia yang masih tinggi, kata Jajang, persyaratan dokter menjalankan profesinya itu harus dipermudah dan bahkan difasilitasi, sehingga para dokter bisa leluasa untuk memberikan pelayanan kesehatan. Sedangkan, kalau ada hal yang perlu diatur untuk menghindari berbagai dampak negative, maka biarkan Negara melalui pemerintah yang mengatur hal itu, bukan diserahkan kepada ormas untuk menentukan nasib dokter dan nasib kesehatan di Indonesia.

“Kami mendorong agar pemerintah mengambil alih semua hal yang strategis yang berkaitan dengan dokter, baik perizinan, pendidikan, penempatan dan sebagainya. Kalau pemerintah memberikan hal yang strategis kepada ormas, maka persoalan kedokteran Indonesia akan tetap seperti ini, dimana banyak dokter yang merasa dihambat dengan aturan ormas. Kami dari PDSI akan menolak setiap kewenangan dari organisasi masyarakat (ormas) kalau hal itu berkaitan dengan nasib kolega dokter atau hal yang sangat mendasar dalam pelayanan kesehatan. Bukan soal mampu atau tidak, tetapi lebih kepada kepantasan atau tidak,” katanya.

Menurutnya, sangat tidak elok ketika PDSI, misalnya, diberikan kewenangan untuk mengatur nasib dokter, boleh berpraktik atau tidak, kompeten atau tidak, sementara ketika berkaitan dengan kesejahetaraan dan sebagainya lepas tangan dan diurus oleh pemerintah (Negara).

“Kalau pemerintah memadang perlu ada lembaga yang khusus mengurus dokter, ya silakan bentuk badan untuk hal itu, yang berada di bawah pemerintah. Ya sama dengan badan lain yang menggunakan anggaran Negara, sehingga akuntabilitas publiknya terjaga. Selama ini, nasib dokter diserahkan kepada organsisasi profesi, pemerintah bukan, tetapi melakukan tugas dan fungsi yang semestinya melekat kepada pemerintah. Ini yang harus ditata. Pemerintah ya pemerintah, ormas ya ormas. Tidak boleh ormas melakukan hal yang sejatinya adalah urusan pemerintah,” katanya.

Secara sederhana, tutur Jajang, ada ormas memiliki kewenangan besar yang sangat strategis, tetapi tdaik bisa diminta pertanggungjawaban, tidak bisa dikontrol dan sebagainya.

“Misalnya, bagaimana wakil rakyat mengawasi dan meminta pertanggungjawaban kepada ormas. Itu beda soal, kalau berada di bawah pemerintah karena sangat jelas ada mitranya di parlemen. Ini yang membedakan dan sangat mendasar. Sekolah dokter sudah susah, mau beraktivitas dipersulit lagi, ya bagaimana pelayanan bisa cepat, murah dan berkualitas kalau dokter dibebani dengan persoalan administrasi yang tidak semestinya,” kata Jajang.

Menurut Jajang, pihaknya sangat mendukung agar pemerintah memberikan kesempatan kepada dokter untuk memilih organisasi profesinya sendiri, yang dianggap bisa mendukung dalam profesi dan karyanya. Sedangkan, mengenai hal yang substansi sebaiknya diatur pemerintah, bukan diserahkan kepada organisasi profesi.

“Tidak ada masalah, ada beberapa organisasi profesi. Profesi lain juga sudah lama kena reformasi, hanya organisasi dokter saja yang masih mempertahankan dominasinya atas dokter. Ini masa lalu, masa kini dan depan, biarkan dokter merdeka untuk berserikat. Hanya pemerintah yang berhak mengeluarkan ‘SIM’ untuk dokter di Indonesia. Jangan lagi ada lembaga di luar pemerintah (Negara) yang diberikan kewenangan untuk mengurus ‘SIM’ dokter,” tegas Jajang. (*)