Hiski Darmayana

Dari Kulon Progo Hingga Tarakan Hak Minoritas Diberangus, Pluralisme ‘Hangus’?

Loading

Pemberangusan hak beragama maupun beribadah umat agama/keyakinan minoritas di negeri ini tak juga berhenti.

Terbaru, terjadi penutupan patung Bunda Maria milik Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus di Kulon Progo karena tekanan ormas yang keberatan atas keberadaan patung tersebut.

Sebelumnya, hak Jemaat  Gereja Elim Kristen Indonesia di Medan untuk beribadah di gedung Suzuya Marelan juga diberangus. Ketiadaan ‘izin’, menjadi penyebab terberangusnya hak tersebut.

Hampir bersamaan, hak jemaat Gereja Kristen Mawar Sharon di Tarakan, Kalimantan Utara, untuk membangun gereja juga diberangus. Peraturan negara, yang menjadi alasan pemberangusan hak umat minoritas tersebut.

Tiga peristiwa itu hanya sedikit dari banyak kejadian pemberangusan hak agama/keyakinan minoritas di Indonesia baru-baru ini.

Dan itu hanya beberapa contoh peristiwa yang mengorbankan satu kelompok minoritas saja, yakni Kristen/Katolik. Organisasi advokasi Kristen Open Doors memang telah menempatkan Indonesia di urutan ke-33 dalam daftar 50 negara tersulit di dunia bagi umat Kristen.

Faktanya, ada banyak contoh peristiwa yang menunjukkan kaum minoritas lainnya seperti Buddha, Konghucu serta penghayat kepercayaan juga menjadi korban intoleransi.

Bahkan, hal sama juga dialami oleh minoritas tafsir atau mazhab dalam Islam seperti jamaah Ahmadiyah, Syiah maupun Salafi.

Dalam perspektif ilmu sosial, berbagai kasus pemberangusan hak minoritas di Indonesia merupakan gambaran dari apa yang diistilahkan oleh Michael J. Sheeran sebagai tirani mayoritanisme. Dalam karyanya yang berjudul Beyond Majority Rule,  Sheeran mendefinisikan tirani mayoritanisme sebagai pola pikir maupun perilaku yang arogan, menindas dan merasa superior atau paling berkuasa. Sikap yang seperti itu muncul karena adanya pemahaman umum bahwa kelompok mayoritas harus diprioritaskan, dan mendominasi ruang publik.

Tirani mayoritanisme bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan. Sebab tirani mayoritanisme mematikan kesetaraan dan keadilan.

Tirani mayoritanisme juga menitikberatkan pada pengistimewaan kelompok mayoritas, bukan menekankan rasa kebangsaan yang melintasi sentimen mayoritas-minoritas.

Tirani mayoritanisme ini, merupakan buah dari suburnya konservatisme dan radikalisme di kelompok mayoritas. Dalam konteks Indonesia, kelompok mayoritas yang dimaksud adalah Islam.

Di dekade terakhir masa Orde Baru, Islamisme berbasiskan pada konservatisme dan fundamentalisme sudah menggeliat karena mulai diberi ruang oleh rezim Soeharto.

Di era reformasi, konservatisme dan fundamentalisme Islam itu segera menjelma menjadi radikalisme yang berani memperjuangkan formalisasi agama, bahkan perubahan dasar negara.

Tirani mayoritanisme pun kian menjadi, yang termanifestasi dalam wujud intoleransi serta diskriminasi terhadap minoritas. Laporan Open Doors pun mengkonfirmasi hal tersebut, ketika menyebut banyak warga Indonesia telah mengadopsi sifat Islam yang lebih konservatif sehingga intoleransi terhadap minoritas Kristen kian merebak.

Salah satu wujud nyata tirani mayoritanisme itu adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Peraturan yang dibuat oleh rezim Soeharto pada 1969, dan kemudian dimodifikasi oleh Pemerintahan SBY pada 2006 itu kerap menjadi alat kelompok intoleran dari kalangan mayoritas, untuk memberangus hak beribadah umat minoritas.

Tirani mayoritanisme itu, seakan menandakan makin meredupnya pluralisme. Pemikir Islam Progresif, Budhy Munawar Rahman menjelaskan bahwa pluralisme adalah paham yang mendorong umat beragama untuk saling mengenal konsep teologi, keimanan dan peribadatan satu sama lain sekaligus menjalin komunikasi sosio-teologis dalam bingkai kesetaraan.

Hal itu tentu saja bertentangan dengan tirani mayoritanisme yang berbasiskan intoleransi.

Lantas, benarkah pluralisme sudah ‘hangus’ di negeri ini?

Kita tak harus menjawabnya. Tapi kita harus mencegahnya.

Oleh Hiski Darmayana (Penulis, Alumni GMNI)