Jakarta- Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (p) TB Hasanuddin menanggapi santai adanya aksi unjuk rasa yang menuntut Presiden Joko Widodo mundur. Pasalnya, unjuk rasa merupakan hak dalam menyatakan pendapat, khususnya di negara demokrasi.
“Saya mendengar ada rencana aksi unjuk rasa di beberapa daerah. Indonesia negara demokrasi jadi ya silakan saja kalau mau demo atau unjuk rasa sebanyak apapun yang penting tertib,” kata Hasanuddin dalam keterangannya, Rabu (5/7).
Kendati demikian, politisi PDI Perjuangan tersebut mengingatkan tidak bisa memakzulkan presiden dengan cara berdemonstrasi turun ke jalan. Menurutnya, konstitusi mengatur presiden dan wakil presiden dipilih rakyat.
“Di dalam sistem politik ketika presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat maka legitimasi dan legalitas pemimpin nasional itu sangat luas, tidak bisa diberhentikan di tengah jalan,” kata dia.
Dengan konfigurasi koalisi partai saat ini, ia memastikan proses pemakzulan presiden nyaris tak mungkin terjadi. Bahkan bila memang terjadi, mekanismenya di DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun luar negeri.
Lebih jauh Hasanuddin menjelaskan, pemakzulan membutuhkan dugaan presiden dan/atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela, sesuai UU MD3, pasal 79 ayat 4.
“Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna,” bebernya.
Hasanuddin mengungkapkan, keputusan tersebut akan sah bila dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah yang ada menyetujuinya sebagaimana UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3. Bila keputusannya disetujui, maka wajib dibentuk Pansus yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR sebagaimana diatur dalam UU MD3, pasal 212 ayat 2.
“Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR,” kata dia.
Ia menegaskan, keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui 2/3 anggota yang hadir, sesuai UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4. Persetujuan DPR selanjutnya dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.
“MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Sesuai UU MD3, Pasal 215 ayat 1,” ujarnya.
Setelah itu, MPR melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden oleh DPR. Keputusan terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah jika diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui paling sedikit 2/3 jumlah anggota yang hadir seperti tertera dalam UU MD3, pasal 38 ayat 3.
“Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya tak mungkin kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat,” tegasnya.
Bila kemudian ada aspirasi menurunkan presiden lewat aksi anarkis di jalanan, Hasanuddin menegaskan hal tersebut melanggar UU, bahkan dapat dikenakan tindakan pidana makar.
“Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional. Diskusi ilmiah dengan norma akademis mengenai pemakzulan sih boleh boleh saja karena dijamin UU, tapi kalau aksi anarkis minta presiden diturunkan di jalanan, itu telah melanggar ketentuan,” tandasnya.