Penasehat Hukum Sebut Tidak Satu Saksipun Dihadirkan JPU Ungkap Terdakwa Korupsi

Loading

Denpasar (Independensi.com) – Sampai hari ini, dari beberapa saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke Persidangan tidak ada satupun unsur kerugian negara yang layak ditersangkakan terhadap Terdakwa dan terungkap pula terdapat aturan kebijakan yang sama terhadap pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru dari tahun ke tahun namun hanya Terdakwa yang dipersalahkan. Terkesan ada upaya ‘character Assassination’ atau pembunuhan karakter terhadap klien kami.

Hal tersebut dikemukakan oleh penasehat hukum Agus Saputra, SH. MH. disela-sela Sidang kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang menyeret mantan Rektor Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.ENG. IPU., kembali digelar, Kamis 23 November 2023, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar. Pada sidang ini, menghadirkan dua orang saksi, diantaranya Drs.I.G.N. Indra Kecapa, M.ED, dan I Ketut Gede Oka Wiratma.

Gede Pasek Suardika yang juga Penasehat Hukum (PH) terdakwa, mengatakan, kalau sidang ini juga sebagai pembuka fakta. Bahwa, terjadi perbedaan pengaturan terhadap sebuah peristiwa yang sama, proses yang sama, tata cara yang sama, dimana Prof. Antara ketika itu menjadi ketua panitia penerimaan kemudian dijadikan tersangka dan menjadi terdakwa. Sedangkan ketua panitia yang lain, kenapa tidak dijadikan terdakwa.

Yang kedua menurutnya, perlakuan yang sama, peristiwa yang sama, tanggung jawab yang sama, keputusan yang sama, tetapi untuk Rektor yang sebelumnya menjabat, tidak menjadi terdakwa, namun Prof Antara yang justru dijadikan terdakwa. “Varian perbedaan perlakuan inilah yang disebut dengan diskriminasi Hukum. Dan ini sangat kita sesalkan. Karena memang peristiwanya bukan peristiwa pidana. Tidak ada peristiwa korupsi disini,” kata Pasek menyayangkan.

Lebih lanjut ia menyampaikan, kalaupun ini adalah peristiwa korupsi, tentu harus ada kerugian negara disana. Namun dalam hal ini, disini justru uang masuk dalam kas negara, bunganya bertambah, ada fasilitas sarana dan prasarana dari dana SPI ini. Dengan melihat hal itu, dirinya kembali mempertanyakan, “Dimana unsur korupsinya?,”

“Tapi kita saksikan saja ke depan. Apakah keadilan masih ada dalam sidang ini. Dalam sidang ini, nampaknya perbedaan perlakuan sudah muncul, jabatan yang sama, ternyata perlakuannya berbeda di depan hukum dan aparat penegak hukum untuk saat ini,” katanya.

Terkait dugaan adanya rekayasa hukum pada kasus ini, ia menyebutkan kalau hal itu sudah semakin jelas. Yang mana, ini bukan merupakan perbuatan personal. Karena kalau perbuatan personal, maka tanggung jawabnya juga personal. Namun dalam kasus ini, tanggung jawabnya adalah kolektif kolegial. Dimana, proses SPI ini melibatkan Wakil Dekan (WD) II bidang umum dan Keuangan di seluruh Fakultas. Setelah dibahas di WD II, baru naik ke atas melibatkan semua bagian keuangan, bukan melibatkan bagian akademik.

Lebih lanjut kata Pasek, Karena SPI ini sampai keputusan Rektor, jalurnya ada di bagian keuangan, yakni dari WD II bidang keuangan, Wakil Rektor (WR) II bidang keuangan, dan Rektor yang mengeluarkan SK. Sedangkan, Prof. Antara saat itu sebagai ketua panitia yang menjabat WR I Bidang akademik.

Dijelaskannya, tugas dari WR I adalah hanya mengurus rekrutmen mahasiswa masuk, bukan mengurus uang masuk. Namun dalam kasus ini, justru dia harus mempertanggung jawabkan terkait uang masuk. Tentu disini nyata sekali, sudah ada diskriminasi hukum.

“Biasanya seseorang dihukum karena perbuatannya, karena deliknya. Bukan karena orangnya ditarget. Ini jujur saja, miris saya melihat. Ini kasus korupsi, selama saya menjadi lawyer, selama saya memantau kasus-kasus korupsi, ini kasus korupsi yang paling aneh. Dimana orang dipaksa bertanggung jawab, untuk atas jabatan dan perbuatan yang tidak ada kaitan dengan dirinya. Kedua tidak ada kerugian Negara, yang ada justru negara tambah kaya,” sentilnya. (hd)