Konsultan Politik Jangan Sembunyi di Balik Lembaga Survei

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mendorong lembaga survei semestinya berada di ruang netral. Bekerja dengan etika, bisa dipertanggungjawabkan, dan mengedepankan etika.

“Lembaga survei harus profesional, transparan, dan meningkatkan tanggung jawab kepada publik. Selain itu lembaga survei politik juga menguatkan peran asosiasi untuk mengawasi kualitas survei agar senantiasa patuh kepada kode etik yang telah disepakati bersama,” kata Surokim hari ini (27/11).

Surokim mengamini Setara Institute menyatakan, survei terkait elektabilitas capres semakin tidak masuk akal dalam beberapa hari terakhir. Pasalnya, survei terkesan sebagai agigator untuk menggiring opini publik.

Surokim, yang juga Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo ini menambahkan, ada perbedaan besar antara lembaga survei dan konsultan politik. Lembaga survei sesungguhnya berada di kamar netral. Dia bertindak imparsial sebagai penghasil data perilaku memilih.

Sementara konsultan politik berada di kamar sebelah yang memang harus memihak dan partisan. “Jadi sebetulnya peran keduanya berbeda dan harus dipisahkan secara tegas,” tegas Surokim.

Terlepas dari pro kontra atas peran Lembaga Survei faktanya hingga saat ini pertarungan politik berbasis data dan ilmu pengetahuan tetap dipercaya dan dinantikan.

Tidak heran jika setiap gelaran pemilu selalu hadir lembaga survei dan konsultan politik. Hampir sebagian besar kandidat yang ikut kontestasi selalu memakai jasa lembaga survei dan konsultan politik sebagai kompas jalan.

Surokim mengingatkan, pertarungan antar lembaga survei ke depan akan semakin kuat. Perang publikasi hasil survei akan semakin keras karena masuknya berbagai kepentingan praktis guna mendesakkan kandidat untuk memperoleh dukungan, popularitas dan akseptabilitas dari pemilih.
“Penegakan etika menjadi penting terutama ketika hasil survei dipublikasikan kepada publik,” kata Surokim.

Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani menyoroti posisi lembaga survei, yang disebutnya juga merangkap sebagai konsultan politik atau juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei.

“Atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi,” ujar Ismail.

“Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas ‘term-term’ tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, nir etika, dan merusak demokrasi,” imbuh Ismail.

Bahkan, lanjut Ismail, lembaga survei juga gencar menggaungkan agenda pilpres satu putaran pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang disuarakan tim kampanye.

Ditegaskan Ismail, narasi satu putaran adalah bagian injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung. “Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah mangkampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu,” ujar Ismail.

*Segera Sikapi*

Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai perbedaan hasil survei belakangan ini patut segera disikapi. Pasalnya, beberapa hasil survei cenderung berbeda jauh dengan survei lain. Padahal, seharusnya tidak.

“Survei itu kan termasuk dalam pendekatan saintifik yang kadang disebut pendekatan objektif. Sebagai pendekatan saintifik dan objektif maka hasilnya harus sama, kalaupun berbeda karena batas margin of error,” terangnya.

Emrus menyarankan segera dibentuk dewan etik lembaga survei yang bertugas mengontrol metodologi survei, variabel pertanyaan, dan pelaksanaan sampling. Lembaga survei pun dituntut untuk mau transparan terhadap dapur surveinya.

“Perlu kita diskusikan metode dan sebagainya, karena aneh bagi saya perbedaannya 5% ke atas,” tandasnya.

Dewan etik itu juga harus mempunyai wewenang dari membatalkan hasil survei hingga sanksi denda.

“Sudah urgensi, dibentuk dewan etika lembaga surveyor yang salah satu kewenangannya adalah menggagalkan hasil survei ketika terbukti pelanggaran etika dan sanksi Rp1 triliun pada masyarakat karena masyarakat yang terbius,” tegasnya.

Ia pun menyoroti adanya indikasi penggiringan opini publik serta pemanfaatan bandwagon effect melalui hasil survei, apalagi berkenaan dengan elektabilitas para calon di Pilpres 2024.

“Saya kira ketika kredibilitas dan integritas pelaku survei tidak terjaga dengan baik dan mereka berafiliasi dengan kekuatan politik tersebut, benar itu ada indikasi,” pungkasnya. ()