JAKARTA (Independensi.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan Agung sebaiknya bersinergi mengusut para debitur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang diduga korupsi setelah mendapat fasilitas kredit ekspor dari LPEI.
Pengamat hukum Abdul Fickar Hadjar mengatakan sinergitas dan koordinasi kedua lembaga penegak hukum lebih penting daripada bersiteru mengenai siapa yang lebih dahulu dan berwenang mengusut kasus tersebut, mengingat tujuannya sama yaitu ingin menyelamatkan kerugian keuangan negara.
“Meski sekarang ini KPK lamban menangani Korupsi yang sudah jelas pembuktiannya. Sehingga karena itu juga Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian melimpahkan kasus di LPEI yang pernah dilaporkan ke KPK kepada Kejaksaan,” tutur Fickar kepada Independensi.com, Rabu (20/03/2024).
Fickar pun menilai tindakan yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani sudah tepat. “Karena sulit membedakan aparat penegak hukum yang bekerja profesional dan jujur hari ini, sekalipun itu dari KPK,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, sejak adanya revisi atau perubahan Undang-Undang KPK membuat paradigmanya sudah berubah, dimana pegawai KPK kini menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) yang mudah diatur pihak lain dan bahkan oleh orang dalam sendiri.
“Sehingga KPK tidak independen dan gampang dimainkan pihak-pihak tertentu,” katanya seraya menyebutkan sebaliknya apabila Kejaksaan Agung yang macam-macam, Menkeu bisa lapor kepada Presiden dan meminta Jaksa Agungnya untuk dipecat dan diganti dengan yang jujur dan berani.
“Karena jika KPK kan Presiden tidak bisa mengganti sembarangan,” ujar Fickar seraya mendorong Kejaksaan Agung untuk tetap jalan terus jika yakin kasus dugaan korupsi para debitur LPEI yang ditanganinya sudah jelas.
Seperti diketahui Kejaksaan Agung akan mengusut dugaan korupsi empat dari sepuluh debitur LPEI yang dilaporkan Kementerian Keuangan karena terindikasi korupsi (fraud) total sebesar Rp2,504 triliun.
“Terhadap ke empat debitur akan diserahkan kepada JAM Pidsus untuk ditindaklanjuti pada proses penyidikan,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin saat jumpa pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai keduanya membahas kredit-kredit LPEI bermasalah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/03/2024).
Jaksa Agung menyebutkan ke empat debitur yang terindikasi fraud sebesar Rp2,504 triliun yaitu PT RII sebesar Rp1,8 triliun, PT SMS sebesar Rp216 miliar, PT SPV sebesar Rp144 miliar dan PT PRS sebesar Rp305 miliar.
Dia mengatakan juga untuk enam debitur LPEI lainnya yang terindikasi fraud sebesar Rp3 triliun dan Rp85 miliar masih dalam proses pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Selanjutnya nanti akan diserahkan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun dalam rangka recovery asset,” ucap mantan Kajati Sulawesi Selatan ini.
Namun dia mengingatkan ke enam debitur agar segera menindaklanjuti kesepakatan dengan JAM Datun, BPKP dan Inspektorat Kementerian Keuangan agar nantinya tidak berlanjut kepada proses pidana.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Nurul Gufron mengatakan Selasa (19/03/2024) bahwa pihaknya tetap akan mengusut kasus dugaan korupsi debitur LPEI yang telah diterima laporannya sejak 10 Mei 2023.
Dia pun mengutip pasal 50 Undang-Undang KPK yang antara lain menyebutkan “Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan“.
Nurul juga menyebutkan kalau kasus tersebut sudah dinaikkan dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan, namun belum ditetapkan tersangkanya.(muj)