SURABAYA (independensi.com) – Sejumlah orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres), mengelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, menolak RUU Penyiaran.
Dalam aksinya para demonstran tampak berorasi sambil membentangkan spanduk bertuliskan penolakan terhadap RUU Penyiaran yang semua pasalnya membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
“Revisi Undang-undang Penyiaran ini, mengandung sejumlah ketentuan yang dapat digunakan untuk mengontrol dan menghambat kerja jurnalistik. Bahkan, beberapa pasal mengandung ancaman pidana bagi jurnalis dan media yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan pihak tertentu. Maka hal ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi yang telah kita perjuangkan bersama,” ujar, Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya, Suryanto, Selasa (28/5).
“Pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draf pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2,” sambungnya.
Selain itu lanjut Suryanto, ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media. Namun juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
“Disamping itu adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.Untuk itu kami menuntut DPR RI segera menghentikan pembahasan Revisi Undang-undang Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini,” tuturnya.
“Sebelum membuat aturan penyiaran, seharusnya melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi,” tegasnya.
Senada disampaikan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya Eben Haezer Panca, yang mengungkapkan bahwa independensi media terancam. Apabila RUU Penyiaran ini disahkan.
“Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan. Salah satu contohnya seperti yang termuat dalam draf pasal 51E,” jelasnya.
Munculnya pasal bermasalah tambah Eben, akan mengekang kebebasan berekspresi dan berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif. Seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya
“Kami menuntut dan menyerukan memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan pegiat media sosial di Surabaya khususnya, untuk turut serta menolak RUU Penyiaran ini,” imbaunya.
“Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu, kami akan terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa lanjutan jika tuntutan kami tidak dipenuhi,” tandasnya.
Terpisah, Koordinator Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir menyampaikan, pihaknya menduga RUU Penyiaran ini bakal jadi alat pemerintah untuk melemahkan praktik demokrasi di Indonesia.
“Revisi UU Penyiaran ini kami menduga bahwa ini adalah upaya dari rezim Jokowi di akhir periodenya sengaja memberikan kado buruk untuk membungkam praktik demokrasi di Indonesia,” tukasnya.
RUU Penyiaran, kata dia, patut diduga menjadi upaya pemerintah untuk membangkitkan semangat Orde Baru. Misalnya dengan pasal yang dengan jelas melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi dan sejumlah pasal lainnya.
“Kalau dulu Orde Baru menggunakan militer dan aparatus keamanan sebagai alat untuk membungkam, nah hari ini metode berubah dengan kemudian membatasi ruang gerak melalui undang-undang,” ucap dia.
Ia juga menduga RUU Penyiaran bakal jadi alat penguasa untuk melanggengkan upaya-upaya impunitas terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
“Jadi dengan adanya revisi UU Penyiaran ini yang kemudian isinya melarang jurnalisme investigasi dan sebagainya, ini kan upaya-upaya agar masyarakat tidak kritis terhadap pemerintah,” pungkasnya.
Dalam aksinya para demonstran juga menyebarkan selebaran dan juga seruan pernyataan sikap yang dibuat oleh Koalisi Masyarakat dan Pers (KOMPERS) Tolak RUU Penyiaran.
-Tolak pembahasan RUU Penyiaran yang berlangsung saat ini karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik;
-Mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi, upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia;
-Mendesak DPR untuk melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dalam penyusunan revisi UU Penyiaran untuk memastikan tidak ada pasal-pasal multitafsir yang dapat dipakai untuk mengebiri kemerdekaan pers, memberangus kebebasan berpendapat, serta menjamin keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat;
– Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya. Penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran harus melibatkan Dewan Pers dan seluruh konstituennya agar tidak terjadi pembiasan nilai-nilai kemerdekaan pers;
-Mendorong jurnalis untuk bekerja secara profesional dan menjalankan fungsinya sesuai kode etik, untuk memenuhi hak-hak publik atas informasi;
-Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. Agar tidak ada pengaturan yang tumpang tindih terkait kemerdekaan pers;
Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) Tolak RUU Penyiaran Surabaya terdiri dari:
*Perwarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya
*Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya
*Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jatim
*KontraS Surabaya
*LBH Lentera
*LBH Surabaya
*Aksi Kamisan Surabaya
*PPMI DK Surabaya
*Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).