JAKARTA (Independensi.com) – Indonesia Police Watch (IPW) mengkritisi rencana Kepolisian RI mengembalikan uang sitaan sebesar Rp 2,5 miliar hasil pemerasan sejumlah oknum polisi di Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya terhadap 45 warganegara Malaysia yang menjadi korbannya saat menonton Djakarta Warehouse Project (DWP)
“Karena jika uang sitaan tersebut dikembalikan membuktikan institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP),” ujar Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangannya, Senin (06/01/2024).
Sugeng pun menegaskan uang hasil pemerasan yang disita tersebut merupakan barang bukti hasil kejahatan. “Sehingga kalau uang dikembalikan, tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan penyidik untuk menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut,” ujarnya.
Padahal, kata dia, penegak hukum tahu barang bukti nantinya akan dibawa ke peradilan dan hakim yang memutus serta menentukan apakah uang yang disita dimasukan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan.
“Karena itu polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar itu,” ucapnya seraya menambahkan jika uang tersebut dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti untuk proses hukum yang tentunya akan menimbulkan tanda tanya di masyarakat
“Serta membuat kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan merosot, jika jika pemerasan yang dilakukan oknum polisi secara berjamaah tidak diproses secara hukum. Padahal kasussnya sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri,” ujarnya.
Selain itu, tutur Sugeng, dugaan pemerasan dalam jabatan dalam kasus DWP tersebut masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur Restorarive justice.
“Hanya melalui proses pemeriksaan pidana maka dugaan pemerasan ini bisa didalami modus, motif serta aliran dana kepada pihak lain dan juga adanya potensi tindak pidana pencucian uang bisa muncul karena uang hasil pemerasan ditampung pada rekening tertentu milik pihak-pihak lain,” ujarnya.
Oleh karena itu IPW menilai yang dibutuhkan saat ini ketegasan dan komitmen institusi Polri memberantas polisi-polisi nakal seperti pernah disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memberi perintah tegas kepada jajarannya agar tak segan memberi hukuman kepada anggota yang melanggar hukum.
“Perlu tindakan tegas, jadi tolong tidak pakai lama, segera copot, PTDH, dan proses pidana. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil yang ragu, bila ragu, saya ambil alih,” kata Kapolri dalam arahannya kepada jajarannya secara daring di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19 Oktober 2021).
Sehingga, tutur Sugeng, jika Polri melalui Propam mengembalikan uang hasil pemerasan kepada para korban maka itu merupakan pengkhianatan terhadap janji Kapolri yang akan mempidanakan anggotanya yang melanggar hukum.
Dia menambahkan sidang Komisi Kode Etik Polri telah memutuskan tiga anggota Polri di-PTDH dalam kasus tersebut. Yaitu Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Simanjuntak, Kasubdit III Dirresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia, dan Eks Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Kombes Donald dan AKP Yudhy dipecat dalam sidang etik pada Selasa (31 Desember 2024). Sementara AKBP Malvi dipecat dalam sidang etik pada Kamis (2 Januari 2025) lalu.
Namun IPW menilai aneh putusan PTDH terhadap mantan direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya, Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak yang perannya “hanya tahu tapi tidak menindak”.
Hal ini, kata Sugeng, merupakan putusan ambigu karena diartikan lalai. “Sehingga Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak tidak sepatutnya dipecat dengan alasan karena tidak melarang dan menindak anggotanya yang memeras,” ujarnya.
Dengan begitu, kata dia, putusan dari Sidang Komisi Kode Etik Polri ini, akan menjadi celah di dalam tingkat banding, akan terjadi putusan yakni dari PTDH ke demosi. Hal ini seperti terjadi pada anggota yang terlibat dalam kasus Ferdy Sambo dan naik pangkat.
“Karenanya, putusan kasus pemerasan penonton DWP oleh anggota Polri yang akan menjadi acuan langkah institusi Polri di tahun 2025 dan tahun-tahun berikutnya di era Presiden Prabowo. Sikap dari Presiden Prabowo sebagai pimpinan langsung dari lembaga Polri sangatlah ditunggu,” ujar Sugeng.(muj)