JAKARTA (Independensi.com)
Jaksa Agung ST Burhanuddin secara resmi telah menyatakan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menyatakan Jaksa Agung melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan pernyataannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR bahwa kasus Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM Berat.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono kepada wartawan di Kejagung, Jakarta, Kamis (12/11) mengatakan pernyataan banding secara resmi telah disampaikan melalui tim jaksa pengacara negara (JPN) pada JAM Datun tanggal 9 November 2020.
“Kini tim JPN tinggal menunggu penunjukan majelis hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta yang akan memeriksa pada tingkat banding,” tutur Hari.
Dikatakannya pada tingkat banding biasanya majelis hakim PTTUN hanya memeriksa berkas-berkas.”Tapi tidak menutup kemungkinan memanggil para pihak.”
Sebelumnya JAM Datun Feri Wibisono dalam jumpa pers di Kejagung, Jakarta Kamis (5/11) mengatakan pihaknya akan mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta Nomor 99/G/2020/PTUN.JKT pada 4 November 2020.
“Karena dalam putusan PTUN Jakarta banyak kekeliruan dalam pertimbangannya,” kata Feri. Antara lain PTUN Jakarta menilai ucapan Jaksa Agung dalam raker dengan Komisi III DPR sebagai perbuatan kongkret pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah.
Padahal, tegasnya, apa yang diucapkan Jaksa Agung dalam memberi informasi bukan tindakan kongkret pemerintah sebagaimana obyek TUN yaitu keputusan TUN maupun yang ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor Tahun 2019.
“Karena jika pernyataan dan jawaban pada rapat kerja dengan DPR dikategorikan tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akan banyak pernyataan atau jawaban yang merupakan objek sengketa TUN,” kata Feri.
Dia mengungkapkan juga kekeliruan PTUN Jakarta terkait syarat kepentingan penggugat. Karena sebenarnya, tutur Feri, kepentingan penggugat pada penanganan perkara HAM Berat ditangani atau tidak.
“Sedang obyek sengketa bukan penanganan perkaranya. Tapi mengenai ucapan Jaksa Agung dalam raker dengan Komisi III.”
Oleh karena itu dia menilai hakim PTUN Jakarta telah salah dengan mencampuradukan syarat kepentingan penggugat dengan obyek sengketa dalam pemeriksaan perkara.
Dikatakannya juga PTUN Jakarta mengabaikan bukti video rekaman raker komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020 beserta keterangan saksi-saksi yang diajukan tergugat.
Karena dalam video rekaman, tegas Feri, tidak ada pernyataan Jaksa Agung mengatakan “Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”.
Dia juga menilai hakim PTUN Jakarta lalai memberikan kesimpulan tindakan tergugat cacat substansi karena pernyataannya tidak sesuai fakta sebenarnya.
“Karena hakim PTUN Jakarta tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar sehingga mengkualifikasikan perbuatan Jaksa Agung sebagai cacat substansi,” ucap mantan Kajari Bekasi ini.(muj)