Oleh Bachtiar Sitanggang
KONON, dua ribu tahun lalu, seorang “Guru Agung”, pagi-pagi benar telah berada (lagi) di tempat biasa.
Dia mengajar, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.
Lalu para ahli-ahli hukum (Taurat) dan tokoh spiritual (orang-orang saleh beragama) membawa kepada Sang Guru seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.
Dan menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepadaNya: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.
Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”
Dan ketika mereka (ahli-ahli hukum dan tokoh-tokoh agama) terus-menerus bertanya kepadaNya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”
Tetapi setelah hadirin mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Sang Guru Agung tersebut seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.
Lalu Sang Guru Agung bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”
Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Uraian di atas diambil dari Injil Yohanes 8:2-11, dan mungkin inilah penerapan restorative justice yang pertama dan sejati.
Ayat kitab suci di atas dibacakan seorang ahli Kode Etik Advokat Indonesia Rabu, 20 Desember lalu di sidang pengadilan Tipikor Jakarta pusat saat memberikan keterangan dalam perkara seorang advokat yang dituduh menghalang-halangi penyidikan seseorang yang telah dihukum oleh majelis hakim PN bahkan telah diputus pengadilan tingkat banding.
Si ahli berpendapat sesuai dengan UU Advokat No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka setiap advokat yang diberikan kuasa khusus oleh seseorang untuk mengurus kepentingan hukumnya, apabila ada dugaan tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam menjalankan Kuasa Khusus tersebut, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili perilaku si advokat yang bersangkutan hanyalah Dewan Kehormatan Advokat.
Dewan Kehormatan Advokat memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran Kode Etik Advokat apabila ada pengaduan tertulis dari pihak yang merasa dirugikan.
Sebab putusan Dewan Kehormatan akan mengidentifikasi sesuai dengan kewenangannya yang diatur oleh UU Advokat dan Kode Etik Advokat, mana pelanggaran kode etik dan mana yang bukan, sebab “Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana”(Pasal 26 ayat 6 UU Advokat).
Menurut ahli tersebut, mengacu pada UU tentang Hak dan Kewajiban Advokat: Pasal 14: “Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 15: “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang undangan”.
Pasal 16: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”.
Dengan kata lain, bahwa seorang Advokat yang menerima surat kuasa khusus untuk mengurus kepentingan hukum kliennya, hal pertama dan utama yang didahulukan untuk dijadikan sebagai batu uji adalah Kode Etik Profesi. Setelah itu, masih menurut UU tsb, baru peraturan perundang-undangan.
Khusus pasal 16 dengan adanya kata-kata dengan “itikad baik”, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili tentunya adalah Dewan Kehormatan sebagai pengawal dan pengawas Kode Etik Profesi.
Dalam kaitannya dengan Pasal 21 UU Tipikor yang menyebutkan Pasal 21 UU Tipikor menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Menurut ahli yang bersangkutan, penerapan Pasal 21 tersebut yang berlaku kepada setiap orang, namun kepada seorang advokat yang menerima kuasa khusus dari seorang tersangka korupsi tidak boleh disamakan dengan orang lain yang tidak berkewajiban mengurus kepentingan hukum kliennya. Oleh karenanya kepada seorang advokat sebagai pemegang kewajiban mengurus kepentingan hukum kliennya yang seorang terdakwa korupsi tidak boleh serta merta dikenakan Pasal 21, sebab terlalu luas dan ibarat “pukat harimau” atau “sapu jagad”.
Kalau ada dugaan seorang advokat melanggar Pasal 21 UU Tipikor tersebut, menurut ahli langsung ditangkap atau atas dasar bukti yang ada langsung diadukan secara terulis ke Dewan Kehormatan Advokat. Misalnya, terbukti melalui CCTV, bisa langsung disidangkan atau paling tidak lebih dahulu diputus dari perkara kliennya yang disebut dihalang-halangi.
Adalah tidak memenuhi rasa keadilan, menurut ahli dan bahkan menimbulkan ketidak adilan, apabila seseorang advokat disidangkan dengan dugaan menghalang-halangi, sementara perkara yang disebut dihalang-halangi sudah diputus dan bahkan sudah pada tingkat banding. Ibarat yang menghalang-halangi kereta api dipersoalkan di Jakarta, sementara kereta apinya sudah di Surabaya.
Kasus a quo, mungkin dari segi hukum positif harus diselesaikan, namun untuk pelajaran kepada semua di masa depan termasuk kepada para advokat supaya lebih hati-hati dan cermat, sebab akan sulit mengadilinya, karena buktinya saja (mungkin) hanya persangkaan dan atau asumsi petugas di lapangan.
Menjawab pertanyaan Penasehat Hukum bagaimana dengan perkara a quo yang tidak melalui sidang Kode Etik Profesi Advokat, ahli dengan singkat mengatakan ”terserah Nurani Majelis, sebab nasi sudah jadi bubur”.
Dalam mencapai keadilan sebagai tujuan dari penegakan hukum sebagaimana sekarang sedang digiatkan di Indonesia yaitu “pemulihan keadilan” maka si ahli tersebut membacakan di akhir keterangannya kisah di atas, karena menurut dia itulah restorative justice yang pertama dan sejati dalam Sejarah dunia.***
Penulis adalah wartawan senior dan advokat, tinggal di Jakarta