JAKARTA (Independensi.com) – Aliansi Penggerak Demokrasi Indonesia (APDI) minta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan investigasi dugaan pelanggaran dan kecurangan pelaksanaan Pemilu di berbagai daerah.
Jika terbukti, maka para pelaku kecurangan harus segera diproses dan dijatuhi hukuman yang sangat berat sesuai amanat undang-undang sehingga menimbulkan efek jera. Sebab pemilu yang bersih akan dihormati dan diterima seluruh rakyat sekaligus disegani dunia.
Sebelum hari pencoblosan, APDI bekerjasama dengan berbagai lembaga pemantau internasional mengirimkan banyak relawan pengamat atau observer baik dari dalam maupun luar negeri untuk mengawasi proses jalannya pemungutan dan penghitungan suara.
“Pada hari pencoblosan. kami mendapatkan laporan dari berbagai daerah terjadi dugaan kecurangan,” papar ketua umum APDI Wa Ode Nur Intan, kepada Pers, Jumat (19/4) di sekretariat APDI di Kawasan Kuningan Jakarta Selatan.
Saat memberikan penjelasan, Wa Ode didampingi Ketua Bidang Humas Eman Sulaeman Nasim, Ketua bidang jaringan dan Organisasi Suparlan, dan perwakilan pengamat (obeserver) dari manca negara seperti Choi Sunhwa dari Korea Selatan, Aira Azhari dan Muhammad Faiz keduanya dari lembaga pemantau pemilu IDEAS Malaysia.
APDI mensinyalir telah terjadi dugaan kecurangan, antara lain terjadi pada kertas suara pemilihan Presiden yang sudah tercoblos sebelum hari pencoblosan. Dugaan kecurangan lainnya adalah pembakaran kotak suara oleh orang tak dikenal di suatu daerah.
Dugaan kecurangan lainnya adalah ketidak konsistenan pelaksana pemilu dalam penggunaan E KTP sebagai syarat boleh mencoblos.
Di berbagai tempat pemungutan suara (TPS) terutama di apartemen, warga yang datang tanpa menggunakan kertas C5 atau C6, hanya menggunakan E KTP boleh melakukan pencoblosan. Sementara di berbagai tempat lainnya, warga yang datang hanya dengan membawa E KTP dilarang menggunakan hak suaranya untuk mencoblos.
Pemantau Pemilu dari Malaysia , Aira Azhari yang memantau di Kota Solo bersama pengurus APDI mengaku menemui banyak kejanggalan yang dilakukan oleh petugas TPS.
Salah satunya? saat penghitungan jumlah suara yang masuk, pihak KPPS tidak melakukan penjumlahan secara tertulis di kertas C1. “Saat ditanyakan, petugas TPS nya mengaku tidak mau berdebat. Malah minta kami menanyakan hal tersebut kepada KPU, “ papar Aira Azhari yang dibenarkan rekan observernya Diana Fathur.
Observer Pemilu asal IDEAS Malaysia mengaku melakukan pemantauan kegiatan pencoblosan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di suatu daerah.
Meskipun pelaksanaan pencoblosan berjalan lancar, namun pihaknya menyesalkan, jarak antara nara pidana dan petugas Lapas terlalu dekat. Hampir tidak ada jarak.
Kejanggalan lainnya, seorang napi yang tidak diperbolehkan mengikuti pencoblosan dengan alasan tidak mendapat surat C6. Padahal Napi tersebut memiliki E KTP.
Saat melakukan pemantauam di 2 TPS di Bekasi Jawa Barat, pemantau pemilu dari Malaysia merasa aneh mengapa kotak suara saat pencoblosan tidak dikunci. Sementara di TPS lain dikunci.
Pemantau dari Korea Selatan Choi Sunhwa menyayangkan adanya kotak suara terbuat dari kardus. Menurut Choi, bagaimanapun kotak suara dari kertas berjenis kardus tetap rawan. Selain mudah hancur terkena air juga mudah dibongkar.
Pelanggaran dan kecurangan lainnya adalah, diperbolehkannya warga di luar negeri yang memilih hanya dengan menggunakan pasport. Bukan menggunakan surat C6.
“Untuk keberlangsungan demokrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, APDI mwndesak KPU segera memberikan penjelasan yang jujur dan obyektif kepada publik,” tegas Eman Sulaeman.
Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI ) ini meminta, Bawaslu dan KPU serta dewan kehormatan penyelenggara pemilu atau DKPP bekerja dengan sebaik baiknya. (hpr)