Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Proyek GORR Diumumkan Pekan Depan

Loading

Jakarta (Independensi.com) Kejaksaan Tinggi Gorontalo yang menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan tanah proyek jalan lingkar luar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road (GORR) sepanjang 45 kilometer akan mengumumkan tersangkanya pekan depan.

“Pekan depan kita akan umumkan tersangkanya. Ada tiga orang yang telah kita tetapkan sebagai tersangka ,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo Firdaus Dewilmar saat ditemui Independensi.com di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (21/6/2019) lalu

Firdaus tidak menyebutkan siapa saja ketiga tersangka tersebut. Namun salah satunya dari pihak swasta. “Sedang dua tersangka lain dari pemerintah,” ujarnya.

Dalam kasus ini Kejati Gorontalo sempat memanggil dan meminta keterangan dari sejumlah pejabat di Pemprov Gorontalo terkait dengan pengadaan tanah untuk proyek jalan lingkar Gorontalo.

Termasuk Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang diperiksa untuk dimintai keterangan di Kejati Gorontalo pada 16 Mei 2019. Rusli diperiksa di dalam kapasitas sebagai saksi.

Beberapa waktu lalu Firdaus
mengungkapkan kasus proyek GORR berawal dari rencana Gubernur Gorontalo Rusli Habibie memecahkan masalah kemacetan dan untuk menghubungkan jalan-jalan di Provinsi Gorontalo serta Trans Sulawesi.

Namun dari hasil penyidikan Kejati ditemukan adanya dugaan penyimpangan. Antara lain daftar nama pemilik tanah berubah-berubah. Awalnya jumlah pemilik tanah yang berhak dapat ganti rugi sesuai inventarisasi dari Pemda sebanyak 900 orang.

“Setelah itu nama pemilik tanah berubah sebanyak 80 persen atau sekitar 700 orang. Terakhir jumlah pemilik tanah jadi 1.100 orang dan nama-namanya pun berubah lagi,” tutur Firdaus yang kini dipromosikan menjadi Kajati Sulawesi Selatan.

Dikatakannya juga dari 1.100 orang mengaku pemilik tanah ternyata sekitar 80 persen modalnya hanya surat pernyataan sepihak di atas materai kalau mereka pemilik atau yang menguasai tanah.

Padahal, tutur Firdaus, sesuai ketentuan kepemilikan lahan dibuktikan dengan sertifikat, bukti pembayaran PBB atau minimal izin pembukaan lahan dari pemerintah setempat.

Apalagi, kata dia, lahan yang diakui masyarakat sebagai miliknya adalah lahan negara karena berada di kawasan hutan dan merupakan semak belukar. Selain itu, tutur Firdaus, surat pernyataan sepihak selaku pemilik tanah dibuat setelah adanya penetapan lokasi yang akan dibebaskan untuk GORR.

Disebutkannya juga temuan lain dari penyidik adanya indikasi mark up atau penggelembungan harga tanah yang dibebaskan dimana sesuai NJOP harga tanah berkisar Rp2.000 sampai Rp10.000 permeter.

Tapi pada kenyataannya, tutur Firdaus, tanah tersebut dibayar panitia pengadaan tanah antara Rp25.000 sampai Rp125.000 permeter. “Saat ini kami masih sedang menunggu hasil audit dari BPKP,” katanya. Namun berdasarkan perhitungan sementara kasus GORR diduga merugikan negara Rp 90 miliar dari nilai proyek Rp125 miliar. (MUJ)