PEKANBARU (Independensi.com) – Putusan Pengadilan Negeri Kelas II A Tembilahan nomor 215/Pid.Sus/2019/PN Tbh yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 3 miliar subside 6 bulan kurungan kepada Kamarek bin Ruslan – kakek berusia 60 tahun warga Parit 9 Desa Pancur Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir, Tembilahan- Riau, mendapat reaksi dari berbagai kalangan.
Lahan yang terbakar milik H Pewa (buron), kenapa Kamarek dituding pelaku pembakaran, ujar Rudi Koordinator Badan Ekesekutif Mahasiswa (BEM) se-Riau kepada sejumlah wartawan di Pekanbaru Senin, (2/3/2020) pagi.
Lahan yang terbakar merupakan milik H Pewa dan Kamarek merupakan anaknya, akan tetapi tidak seorangpun yang melihat atau menyaksikan bahwa pelaku pembakaran terhadap lahan milik H Pewa itu adalah Kemarek bin Ruslan.
Saksi tidak ada, kenapa kakek berusia 60 tahun itu dituding dan di persalahkan sebagai pelaku pembakaran bahkan dijatuhi vonnis 6 tahun penjara. Perlakuan terhadap kakek Kamarek itu merupakan perbuatan diskriminasi.
Bersama puluhan orang pengacara yang tergabung dalam Inhil Lawers Club (ILO) kita akan membantu Kamarek dan segera mengirimkan memori banding ke Pengadilan Negeri Kelas II A Tembilahan, ujar Zainuddin SH
Sebagaimana diketahui, pengacara yang tergabung dan menyatakan ikut bergabung membantu proses hukum Kamarek antara lain Zainuddin SH, Muhammad Arsyad SH MH, Yudhia Perdana SH CP L, Adi Indria Putra SH I, H Adison SH MH, Maryanto SH, Wandi SH MH, Muhsin SH MH, Hendri Irawan, SH MH, serta Akmal SH.
Kita akan bergabung bersama IKAMI, HMI,HIPMI dan berbagai ormas lainnya, melakukan demonstrasi menyuarakan hak masyarakat yang lemah agar dibebaskan dari jeratan hukum.
“Kita sudah koordinasi dengan berbagai organisasi masyarakat, agar bersama-sama menggelar demonstrasi di Kejaksaan Tinggi Riau pada 13 Maret 2020 mendatang,” kata Rudi Koordinator Daerah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Riau.
Menurut Rudi, pihaknya akan menurunkan aksi dalam skala besar menuntut keadilan, agar Kamarek di bebaskan. Sebab putusan yang dijatuhkan PN Tembilahan itu dianggap tidak tepat serta kabur, sehingga penegakan hukum di nilai merupakan perbuatan diskriminasi terhadap petani kecil.
Fakta yang terungkap kata Rudi, Kamarek adalah anak buah H Pewa (buron) si pemilik lahan yang terbakar, dan penangkapan Kamarek dilakukan dirumahnya, bukan tertangkap tangan dilokasi lahan yang terbakar.
Saat penangkapan, keluarga Kamarek tidak mengetahui Kamarek digiring ke kantor polisi. Secara administratif, itu menunjukkan salah satu kesalahan. Artinya, ketika dilakukan penangkapan, surat penangkapan tidak sampai kepada keluarga bersangkutan.
Majelis hakim dinilai tidak mempertimbangkan terkait dengan pertanggungjawaban pemidanaan Kamarek. Dan tidak melihat unsur hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa yang sudah tua renta. Lebih tragis lagi, Kamarek yang berasal dari suku Bugis, sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik selama persidangan, kata Rudi lagi. (Maurit Simanungkalit)