Sekda Papua : Pilkada Serentak Ubah Paradigma di Masyarakat Pedalaman

Loading

JAYAPURA (Independensi.com) – Provinsi Papua telah melewati Pemilukada Serentak Jilid II, diantaranya Kabupaten/Kota Jayapura, Puncak Jaya, Sarmi, Nduga, Lanny Jaya, Kep Yapen Intan Jaya, Dogiyai, Sarmi dan Tolikara. Namun diantara kabupaten yang mengikuti Pilkada masih banyak persoalan yang dihadapi, sehingga kepala daerahnya belum dilantik seperti di Kabupaten Jayapura, Puncak Jaya, Kep Yapen, Intan Jaya, Dogiyai dan Tolikara. Hal ini dipicu akibat kepentingan politik yang luar biasa turut menekan semua proses politik.

“Kemarin ada gesekan horizontal yang sangat luar biasa di Puncak Jaya. Ini merupakan konsekuensi logis dari politik. Selain itu juga ada beberapa daerah lain seperti Kabupaten Jayapura yang sampai hari ini belum PSU (Pemilihan Suara Ulang-red),”kata Sekda Papua, Hery Dosinaen di Jayapura, Senin (3/7/2017).

Sementara itu kepada wartawan, Sekda Dosinaen mengatakan Pilkada serentak saat ini ternyata ada perubahan paradigma. Khususnya masyarakat di pedalaman yang budaya politiknya masih parsial.

“Dulu dalam tatanan adat, orang perang karena berzinah. Sekarang modus beda perang karena pilkada. Ini sudah jadi ajang untuk potensi terjadi konflik sangat tinggi. Masyarakat menganggap sudah tidak bisa dibedakan antar saudara dengan yang lain. Ketika seorang sudah masuk atau memihak ke salah satu kandidat. Maka antar saudara juga bisa terjadi saling perang dan ini terjadi,”katanya.

Kata Sekda Dosinaen yang pernah selama puluhan tahun bertugas di daerah pedalaman Papua khususnya di wilayah Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya bahwa konsekuensi logis dari eksperimen politik Pemilukada langsung bagi masyarakat yang sangat parokial. Maka hal itu sangat bahaya.

Dengan budaya politik parokial dengan kearifan lokal yang notabene melekat pada kepemimpinan formal dan informal. Maka cost/anggaran politik menjadi tinggi.

Selain itu juga kandidat yang tentunya mempersiapkan biaya politik sangat tinggi. Dan juga pembiayaan yang harus disiapkan pemerintah daerah. Baik kabupaten maupun provinsi juga sangat tinggi.

“Ini yang harus dikaji secara komperhensif dengan semua pihak, sehingga kenapa tidak kita harus kembali ke UU Otonomi Khusus bahwa Pemilukada dipilih secara tidak langsung oleh DPR. Ini yang harus diperhatikan,”paparnya.

Menurutnya dengan adanya Pilkada secara langsung merupakan wadah atau ajang untuk perang sangat luar biasa. Karena potensi gesekan tinggi sekali. Sebab masyarakat sedikit disulut atau digoyang. Maka bisa langsung terjadi konflik.

Lebih jauh dijelaskannya, saat ini ada tiga budaya politik. Yakni pertama subjektif dimana orang yang tau politik, tetapi tidak ikut terlibat dalam politik.

Kedua budaya partisipan yakni orang yang tau politik dan ikut terlibat dalam politik.

Sedangkan budaya parokial yakni orang yang sama sekali tidak tau politik. Tetapi ikut terlibat dalam politik.

“Ini sangat melekat pada kearifan lokal kita. Kenapa di pedalaman harus sistem noken. Itu karena budaya politik parokial yang lebih dominan,”jelasnya.

Budaya politik parokial dari aspek pendidikan, sosial budaya. Dari aspek geografis sangat menentukan sistem noken harus dilakukan.

“Rata – rata ini terjadi hampir seluruh daerah di Papua secara keseluruhan. Belum lagi ada elit tertentu yang mempressure/menekan semua proses. Sehingga membawa potensi yang sangat besar dan berujung terjadinya gesekan,”tandasnya. (Odeodata h Julia)