Rekayasa Surat Panggilan Sidang. PTUN Jakarta mengeluarkan dua salinan surat bernomor sama, tapi isinya berbeda. Surat Panggllan Sidang dengan Nomor W2.TUN1-2160/HK.06/Vl/2017″ tertanggal 20 Juni 2017, berisi pemberitahuan pelaksanaan sidang untuk di hari yang sama. Surat tersebut baru diterima Penggugat pada 3 Juli 2017. Ada lagi Surat Panggilan Sidang untuk agenda sidang 20 Juni 2017, sedangkan Arsip yang dimiliki Panitera Pengganti untuk agenda sidang 4 Juli 2017.

Peradilan Sesat Oknum Hakim di PTUN Jakarta Lahirkan Radikalisme dan Terorisme

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dinilai telah merusak citra sebagai lembaga penegak hukum akibat ulah oknum-oknum hakimnya yang masih mempermainkan hukum dan bermental korup. Salah satu kasus aktual adalah rekayasa surat panggilan sidang dan pelaksanaan sidang fiktif dalam perkara No 68/G/2017/PTUN Jakarta.

“Hari gini kok masih ada oknum hakim PTUN Jakarta yang bermain-main dengan kasus hukum?  Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pengadilan yang sesat dan korup akibat ulah para penegak hukum PTUN tersebut,” kata Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (LKBH UTA’45) Jakarta, Rudyono Darsono di Jakarta, Senin (24/7/2017) menanggapi kasus permainan hukum oleh oknum hakim di PTUN Jakarta tersebut.

Menurut Rudy, kasus persidangan di PTUN DKI Jakarta tersebut direkayasa begitu brutal dan vulgar. Kasus ini menyangkut penyerobotan tanah sebuah perguruan tinggi yang notabene paham hukum, namun oknum hakim itu tampaknya sudah “mata gelap” dengan mempermainkan hukum secara telanjang. “Oknum hakim yang merekayasa panggilan sidang dan pengadilan fiktif itu termasuk kategori pejabat rakus dan bermental korup,” ungkapnya.

“Kalau untuk  yang paham hukum saja, oknum penegak hukum berani mempermainkan hukum atau melakukan jual beli hukum, dagang hukum, bagaimana dengan masyarakat yang tidak paham hukum? Bagaimana pemerintah bisa meyakinkan masyarakat soal penegakan hukum yang adil di negeri ini, kalau oknum penegak hukum  masih berperilaku busuk seperti itu,” kata Rudyono dengan nada keras.

Presiden Joko Widodo sedang gencar-gencarnya menyerukan  revolusi mental, implementasi Pancasila, menegakkan keadilan demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Seruan Presiden itu terkait dengan kasus radikalisme dan munculnya bibit-bibit terorisme karena ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kebencian, radikalisme dan terorisme itu sangat erat kaitannya dengan ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama bertahun-tahun.” Termasuk apa yang dipertontonkan oleh hakim PTUN Jakarta tersebut saat ini,” katanya.

Kalau ingin radikalisme dan terorisme diberantas, maka penegakan hukum itu harus dibenahi.  Akar kekisruhan di negeri ini adalah masalah penegakan hukum yang tidak tegak dan adil, melainkan masih sarat dengan permainan, dagang hukum dan jual beli kasus hukum oleh oknum aparat penegak hukum. “Maka sangat disayangkan apa yang mau dibereskan oleh Presiden Joko Widodo, tetapi di jajaran penegak hukum justru seperti menganggap angin lalu saja,” kata Rudyono.

Kalau kondisi  ini tidak segera berubah, maka kebencian, radikalisme dan terorisme akan terus bertumbuh subur di negeri ini. Oleh karena itu, aparat penegak hukum di bawah Menko Pohulkam harus segera betindak. Demikian pula Menteri Koordinator Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Puan Maharani harus kencang mengkampanyekan lagi revolusi mental supaya aparatur penegak hukum di negeri ini punya rasa malu, moral serta etika dan kejujuran. Kejujuran itu sudah menjadi barang langka, sehingga korupsi dan dagang hukum itu terus berlangsung.

Lebih lanjut Rudyono mengatakan, Sidang perkara No.68/G/2017/PTUN Jakarta itu selalu dihadiri mahasiswa/I Fakultas Hukum dan Ilmu Politik serta Ilmu Pemerintahan. Mahasiswa sangat tertarik dengan kasus hukum tersebut. Namun dalam perjalanannya, oknum hakim di PTUN Jakarta justru mempertontonkan permainan hukum yang bejat, tidak punya moral, tidak punya rasa malu. “Oknum penegak hukum seperti itu sebenarnya sebagai penghianat Pancasila, penghianat bangsa dengan menggunakan seragam aparatur negara,” katanya.

Hari ini, Senin (24/7/2017) puluhan mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA’45) kembali mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Para mahasiswa, yang datang bersama sejumlah dosen dan dekan, datang untuk menuntut keadilan terkait kasus penyusutan lahan di kampus mereka.

Sementara itu, Kuasa hukum UTA’45, Gelora Tarigan SH, MH, mengatakan civitas academica Kampus Merah Putih ini merasakan adanya ketidakadilan dalam proses persidangan di PTUN Jakarta. Pihak UTA’45 minta bertemu dengan Kepala PTUN Jakarta untuk menuntut penggantian majelis hakim yang dinilai tidak profesional.

“Kami kembali datang untuk meminta PTUN mengganti majelis hakim yang menyidangkan kasus ini. Ada sejumlah rekayasa yang merugikan kami sebagai penggugat,” kata Gelora di pelataran gedung PTUN.

“Sayangnya, kami kepala PTUN Jakarta tidak bisa ditemui karena sedang menjalani fit and proper test di pengadilan tinggi,” ujarnya.

Pekan lalu, para mahasiswa dan dosen UTA’45 juga sudah mendatangi kantor PTUN Jakarta. Waktu itu, mereka juga gagal bertemu dengan kepala PTUN Jakarta, Ujang Abdullah SH, Msi, karena yang bersangkutan sedang berhalangan hadir.

Kasus ini berawal dari terjadinya penyusutan lahan UTA’45 di kawasan Sunter, Jakarta Utara, yang menyusut 47.275 meter persegi pada 2010-2015 menjadi 16.171 meter persegi pada 2017. Penyusutan itu terlihat dalam surat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan.  UTA’45 kemudian menggugat Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (UPPRD) Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan nomor perkara 68/G/2017 / PTUN.JKT.

Penggugat menduga adanya rekayasa surat panggilan sidang dengan ditemukannya dua salinan surat bernomor sama, tapi isinya berbeda. Surat Panggllan Sidang dengan Nomor W2.TUN1-2160/HK.06/Vl/2017″ tertanggal 20 Juni 2017, berisi pemberitahuan pelaksanaan sidang untuk di hari yang sama. Surat tersebut baru diterima Penggugat pada 3 Juli 2017. Akibatnya, Penggugat tidak hadir di sidang.

Pihak Penggugat kemudian menemukan salinan surat dengan nomor yang sama yaitu W2.TUN1-2160/HK.06Nl/2017 dan tanggal penerbitan surat yang sama yaitu 20 Juni 2017. Tapi terdapat perbedaan pada isi suratnya. Pihak Penggugat menerima Surat Panggilan Sidang untuk agenda sidang 20 Juni 2017, sedangkan Arsip yang dimiliki Panitera Pengganti untuk agenda sidang 4 Juli 2017.

Untuk agenda sidang selanjutnya pada 4 Juli 201 7, pihak Penggugat sama sekali tidak menerima surat panggilan sidang.

“Hal ini jelas pelanggaran. Sesuai peraturan, seharusnya Penggugat dan Tergugat menerima surat panggilan sidang paling lambat tiga hari sebelum sidang,” kata Gelora yang juga menjadi pembina Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UTA’45 Jakarta. (kbn/loe)

One comment

  1. Marilah kita berubah kepada kebaikan untuk hidup kita di akherat yang kita kerjakan sejak saat ini. Marilah kita melakukan kebaikan saja.

Comments are closed.