Korupsi, Jangan Hilang Satu Tumbuh Seribu

Loading

IndependensI.com – Siapapun tidak menghendaki kegaduhan dalam kesehariannya, sebagaimana yang kita alami belakangan ini selama proses hukum yang menyangkut pengusutan, penyidikan dan penyidangan kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik e-KTP.

Dengan segala keberadaan KPK sebagai badan yang bertugas memberantas korupsi, selama menghadapi kasus e-KTP, muncul pertanyaan, apakah Negara kalah terhadap Korupsi? Apakah negara harus menyerah menghadapi perlawanan para terduga korupsi dan kroninya, simpatisannya, korps, partai maupun hubungan-hubungan lainnya termasuk hubungan hukum, yang sering memunculkan hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat, etika dan moral.

Kadang tidak mampu membedakan antara kedinasan, tugas, kewajiban sesuai dengan aturan hukum, etika dan moral di satu sisi dan perbuatan melawan dan melanggar hukum di pihak lain., karena sering memberikan penafsiran sempit dan mengabaikan keadilan.

Diantaranya, betapa dahsyatnya gempuran terhadap KPK dari sejak awal penyidikan terhadap kasus e-KTP, sampai-sampai terbentuknya Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK oleh DPR. Pembentukan Pansus itu saja sudah menimbulkan kegaduhan, apalagi dalam pengumpulan bahan tentang kinerja KPK.

Kegaduhan bertambah ketika BAPnya dicabut saksi Miryam Haryani di sidang pengadilan Irman dan Sugiharto. Kemudian penganiayaan terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan yang disiram dengan cairan zat kimia yang sampai sekarang belum terungkap , serta wafatnya saksi kunci pengadaan e-KTP Johannes Marliem di AS.

Perlawanan nyata menjadi terbuka dengan ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK, walau di luar dugaan hakim Praperadilan PN Jakarta Selatan Cepi Iskandar menyatakan penetapan sebagai Tersangka bagi Setnov (gelar populernya), karena penyidik menggunakan bukti-bukti yang dipakai dalam sidang Irman dan Sugiharto, yang terkait kasus yang sama.

Setnov yang dipanggil baik sebagai saksi maupun setelah ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya, sering berkelit tidak memenuhi panggilan, maka KPK-pun mencari Setnov di kediamannya untuk dijemput paksa, tetapi tidak ditempat. Setnov kemudian ditetapkan sebagai orang dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Nah, tiba-tiba ia muncul dalam suatu kecelakaan lalu lintas dan masuk rumah sakit Permata Hijau dan tertangkap KPK kemudian dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo. Setelah dirawat di rumah sakit “gudang” para dokter ahli se-Indonesia itu, Setnov katanya sudah sehat dan bisa diperiksa, maka dipindah ke Rumah Tahanan KPK Kuningan Jakarta Selatan.

Pertarungan masih panjang, sebab Setnov masih memraperadilankan statusnya sebagai Tersangka oleh KPK di PN Jakarta Selatan untuk kedua kalinya dan akan disidangkan tanggal 30 November 2017.

Persoalan tergantung pada Sang Hakim Tunggal yang mengadili Praperadilan itu, Kusno, bagaimana suara hati nuraninya serta ketaatannya pada Sumpah Jabatannya sebagai Hakim, dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana irah-irah putusannya “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Belajar dari pengalaman sekitar kasus korupsi e-KTP, kita sebagai bangsa untuk introspeksi diri dalam berbagai hal terutama berdemokrasi, memilih pemimpin, kesetiaan kepada bangsa dan negara termasuk penghayatan pada Sumpah dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari oleh setiap penyelenggara negara, kaum profesional baik politisi, dokter juga penasihat hukum.

Instrospeksi secara menyeluruh sebagai masyarakat, bangsa dan negara sangat perlu dan penting agar perlakuan negatif berkembang biak, harus dicegah jangan mati satu tumbuh seribu. Sebab apabila perlakuan yang menyimpang dari kepatutan dan kewajaran serta yang bertentangan dengan hukum, etika dan moral seperti yang kita saksikan selama ini sempat beranak-pinak, tidak dapat dibayangkan bangsa ini akan menjadi apa dan bagaimana.

Kita tidak bisa membantah, kalau ada yang mengatakan bahwa ternyata yang memiskinkan masyarakat kita adadalah pejabat kita sendiri. Dapat dibayangkan, proyek pengadaan e-KTP senilai Rp. 5,9 teriliun ternyata terkorupsi Rp. 2,3 triliun.

Kalau berbagai proyek yang ada selama ini atau masa lampau seperti itu, pembangunan akan menjangkau masyarakat sampai di pedalaman, diperbatasan dan di pulau-pulau terdepan.

Tantangan berat bagi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, dengan menelisik kasus-kasus korupsi yang sudah diputus dan sedang disidik, bahwa yang melakukan korupsi itu adalah pejabat negara dan pengusaha serta profesional.

Apakah proyek pembangunan yang sedang berjalan sekarang di era Jokowi-JK ini terbebas dari tindak pidana korupsi? Waktu yang akan menjawab, namun yang pertama dan utama adalah penguatan KPK sekaligus menghambat agar korupsi itu tidak “hilang satu tumbuh seribu. (editorial/Bch)