Independensi.com – Gejolak dunia sungguh luar biasa menanggapi Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donad Trump yang menyatakan akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Keputusan itu memancing reaksi keras dari masyarakat dan organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Indonesia aktif bersama Turki mengggalang solidaritas negara-negara Islam dan yang berpenduduk muslim terbesar untuk menghimpun dukungan agar AS mengurungkan niatnya memindahkan Kedubesnya ke Yerusalem, termasuk meminta negara-negara sahabat untuk tidak mengikuti prakarsa Donad Trump tersebut.
Peranan Indonesia dalam Konprensi Tingkat Tinggi (KTT) OKI di mana Presiden Joko Widodo hadir dan berperan aktif menunjukkan ke-cinta damai-an yang dimiliki Indonesia sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Melalui KTT OKI serta diplomasi yang dilancarkan Menlu RI Retno Marsudi termasuk membujuk negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk tidak mengikuti langkah AS, membuka mata dunia bahwa akibat dari pemindahan Kedubes AS itu akan menimbulkan perang yang tidak akan berkesudahan di Timur Tengah serta memunculkan radilakisme baru, tidak hanya bagi AS, tetapi juga akan menyibukkan negara-negara lain walaupun sasaran radikalisme itu bukan untuk negara yang bersangkutan.
Alasan utama dari reaksi dunia atas keputusan Presiden AS yang sering dalam keputusannya kontroversial itu, yang akan menimbulkan ketegangan baru dan berkelanjutan di Timur Tengah terutama antara Israel dengan Palestina yang sudah sejak lama dilanda konflik dengan memakan korban yang tidak terkira lagi jumlahnya baik jiwa maupun harta serta kerugian materil bagi kedua belah pihak.
Bahwa kota Yerusalem diklaim tiga agama sebagai kota suci bersama, Jahudi, Kristen dan Islam sehingga tidaklah adil menjadi ibukota Israel saja, yang dapat diidentikkan sebagai milik satu agama saja.
Akibat dari konflik berkepanjangan selama ini terlalu banyak janda, anak-anak yatim piatu serta kehidupan yang tidak manusiawi melanda rakyat Palestina.
Masalah Palestina dan Yerusalem sebenarnya adalah masalah kebangsaan sejak Israel berdirinya tahun 1948.
Karena kekejaman perang, termasuk pemahaman yang berlebihan maka persoalan kebangsaan Israel dan Palestina menjadi pelik dan rumit karena seolah persoalan agama, Islam dan Jahudi, dan di beberapa kawasan seolah Jahudi sering diidentikkan dengan Kristen.
Pemahaman yang melebar itu menimbulkan persepsi menyimpang dalam mencari cara dan dukungan guna terwujudnya perdamaian di Palestina. Konflik Palestina dan Israel bukan konflik agama, dapat kita ketahui dari pernyataan Dubes Palestina serta berbagai keterangan tokoh dunia, bahwa masalah Palestina dan Israel adalah masalah antara dua negara.
Donald Trump juga tidak pernah memperlihatkan bahwa dasar keputusan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem terkait masalah agama atau keyakinan.
Sehingga adalah keliru apabila Keputusan Donald Trump tersebut digunakan alat propaganda untuk konsumsi politik dalam negeri, kalaupun ada yang mencobanya kemungkinan tidak berhasil.
Pertama, karena Presiden Jokowi telah menunjukkan keberpihakannya untuk membela hak-hak rakyat Palestina yang telah terinjak-injak selama ini. Kedua, masyarakat juga sudah semakin mahfum bahwa urusan Palestina-Israel adalah urusan masyarakat, bangsa dan negara kedua negara dan tidak bukan urusan agama dan kepercayaan.
Penduduk Palestina bukan hanya Islam, ada yang beragama Jahudi dan Kristen, malah isteri Tokoh Legendaris Palestina Yasser Arafat, Suha Al-Tawil adalah Kristen.
Response Pemerintah Indonesia harus diapresiasi sebagai upaya bangsa Indonesia untuk menciptakan perdamaian dunia dalam hal ini antara Palestina dan Israel sebagai perwujudan Pancasila dan UUD 1945 karena Keputusan Presiden AS Donald Trump menurut hemat kita sebagai suatu keputusan yang tidak berperikemanusiaan, karena akan menimbulkan kericuhan baru di kawasan Timur Tengah serta eskalasi anti Amerika akan menyibukkan berbagai negara.
Pertanyaan muncul, apakah Donald Trump tidak sadar bahwa akibat dari keputusannya itu akan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit dan akan berkepanjangan? Kalau Trump terlihat gusar dengan uji coba nuklir oleh Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, apakah dia tidak sadar akibat keputusannya itu akan banyak orang yang jadi korban?
Apakah dia tidak sadar bahwa keputusannya itu tidak manusiawi? Sejarah akan mencatat, apakah Donald Trump sebagai berkat atau pembawa bencana. (editorial/bch)