Riau Butuh Pemimpin Sejati, Bersih, Berani dan Tidak Didikte Konglomerat

Loading

IndependensI.com  – Kemajuan pembangunan di Provinsi Riau seharusnya bisa jauh lebih pesat dari dari sekarang. Kenapa? Provinsi Riau merupakan provinsi terkaya di Indonesia. Mulai dari sumber daya alam seperti minyak, batu bara, hutan, kelapa sawit dan lainnya semua ada di Riau. Lalu kenapa Provinsi yang kaya raya ini tidak maju.

Dalam beberapa tahun terakhir, Kepala daerah di provinsi ini tersandung kasus korupsi. Sama seperti daerah lainnya yang pemimpinnya tersandung korupsi, maka daerah menjadi tidak maju. Korupsi membuat pembangunan tidak terlaksana dengan baik. Kekayaan daerah selama ini juga kebanyakan dinikmati oleh para pejabat dan aparat sipil negara. Kesejahteraan aparat sipil negara ataupun pejabat sangat baik di provinsi ini, sehingga mereka sering kongkow-kongkow ke luar negeri seperti ke Malaysia, Singapura dan Thailand.

Sementara itu, untuk kesejahteran masyarakat, termasuk masyarakat pertani dan pedalaman dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Pejabat di daerah Riau selama ini baru sebatas menyenangkan diri dan keluarga, sedangkan kesejahteraan masyarakat baru sebatas retorika. Apalagi ini menjelang pilkada, maka calon pejabat yang tampil paling jago memberi janji-janji kepada masyarakat. Mereka juga umumnya didukung oleh perusahaan konglomerat yang beroperasi di Riau, sehingga ketika menang nanti, akan dengan mudah didikte oleh pengusaha konglomerat tadi.

Padahal, Provinsi Riau dapat dibilang memiliki sumber daya alam yang sangat lengkap, sehingga sangat berpotensi membuat masyarakatnya sejahtera.   Namun sangat disayangkan, karena pemimpin yang tampil selama ini tidak berfikir untuk memajukan daerah dan mensejahterakan rakyat, melainkan ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaan.

Sebagaimana terjadi di daerah lain, tipe pemimpin seperti itu memang masih rata-rata atau kebanyakan. Karenanya mereka hanya gigih memperjuangkan kekuasaan dengan menjual janji-janji kosong. Setelah menang dan berkuasa, urusan lain lagi. Kepentingan rakyat hanya dipenuhi secara pragmatis. Yang peting masyarakat tidak protes. Menjelang pilkada berikutnya lagi, maka calon pejabat kembali menjual-jual janji dan setelah itu lupa lagi.

Mungkin sekarang inilah saatnya provinsi kaya raya ini keluar dari cengkraman pembodohan yang selalu dilakukan para pemimpinnya. Masyarakat harus bangkit dan berani untuk tidak sekadar menjadi penonton dari “pesta pora” pejabat, pengusaha dan investor dari hasil sumber daya alam yang melimpah itu.

Siapapun menjadi pejabat di Riau akan bersentuhan dengan pengusaha besar dan investor kelas kakap. Kalau pemimpin tidak punya integritas akan didikte dalam membuat kebijakan yang umumnya merugikan masyarakat. Sengketa pertanahan di Riau sangat luar biasa, baik untuk lahan pertambangan, lahan perkebunan maupun hak penguasaan hutan.

Bagaimana mungkin pengusaha yang baru datang dengan bermodalkan surat peta lokasi bisa mengusir penduduk yang sudah tinggal sejak zaman dulu atau tanah leluhurnya. Dan kalau pemodal versus rakyat, maka yang dikalahkan selalu rakyat. Wajar jika rakyat menjadi miskin.

Sebagai provinsi kaya dan memiliki banyak pendapatan dari minyak, batubara maupun perkebunan sawit, pemerintah Provinsi Riau banyak menikmati pendapatan daerah dari pajak dan juga kewajiban pengusaha memenuhi corporate social responsibility (CSR).

Persoalannya, seberapa besar dana proyek CSR itu dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat? Demikian juga dengan penerimaan pajak asli daerah. Kemana dana itu semua dikucurkan?  Kalau pemimpinnya jujur, maka dapat dipastikan Riau mungkin bisa menjadi salah satu Provinsi yang mampu menandingi ibu kota Jakarta dalam bidang pembangunan untuk mensejahterakan rakyat.

Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang sejati, cinta rakyat, bersih, berani dan tidak bisa didikte oleh pengusaha nasional maupun multinasional yang mencengkram Bumi Lancang Kuning tersebut.  Tahun 2018 ini, Riau akan memilih kembali calon pemimpinnya baik di level Gubernur dan juga Bupati.

Sebuah momentum yang tepat bagi rakyat Riau untuk menelisik siapa calon pemimpinnya untuk periode 2018-2023. Dalam Pilkada serentak 2018 ini, terdapat empat pasangan yang maju. Calon yang maju adalah Arsyadjuliandi Rachman-Suyatno (diusung PDIP, Golkar dan Hanura), Firdaus-Rusli Effendi (diusung Demokrat dan PPP), Lukman Edy-Hardianto (diusung PKB dan Gerindra) dan pasangan Syamsuar-Edy Nasution (diusung PAN, PKS, Nasdem).

Meskipun dalam Pilkada ini mungkin belum tampil calon pemimpin yang ideal  seperti yang diharapkan, tapi paling tidak masyarakat diharapkan bisa memilih yang terbaik dari yang terburuk. Mana diantara empat pasangan tersebut yang mendekati kriteria pemimpin yang lebih baik.

Berdasarkan informasi yang dihimpun IndependensI.com, jauh sebelum penetapan calon gubernur dan wakil gubernur,  sejumlah tokoh politik setempat sudah mencoba menawarkan tokoh yang ideal untuk Provinsi Riau. Namun apa daya, calon yang dijaring oleh partai politik berbeda dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.

Ibarat rakyat minta ikan, tapi di kasih kalajengking. Perumpamaan itu mungkin agak sadis, namun begitulah yang terjadi di hampir semua daerah. Masyarakat selalu disodorkan calon pemimpin yang tidak seperti yang diinginkannya. Ini menjadi pelajaran bagi semua partai politik ke depan. Masyarakat sudah semakin cerdas. Mereka paham bahwa  pilkada itu merupakan ajang kontestasi untuk menentukan pemimpin terbaik, seharusnya yang disodorkan partai politik adalah calon pemimpin yang terbaik versi masyarakat, sehingga siapapun yang terpilih, maka yang diuntungkan adalah masyarakat.

Nah, sekarang masyarakat tinggal menentukan pilihan dari empat pasangan calon tersebut. Mana pemimpin yang sekadar mencari kekuasaan dan mana yang benar-benar ingin mengabdi untuk kepentingan rakyat serta punya visi dan misi memajukan Provinsi Riau. Jangan sampai salah memilih pemimpin, karena efek buruknya akan berlangsung cukup lama. (berbagai sumber/kbn)