Listrik Murah tapi Batubara Membara, Bisa?

Loading

Oleh Edy Mulyadi*

Independensi.com – Pemerintah telah memutuskan harga listrik tahun ini, setidaknya sampai Maret 2018, tidak naik. Tentu saja, ini kabar baik dan menggembirakan. Kasihan rakyat, kalau tarif dasar listrik (TDL) kembali dikerek naik. Beban hidup yang sudah berat tentu bakal kian berat saja. Sekarang saja sebagian besar rakyat harus berokrabat menyiasati penghasilan yang pas-pasan di tengah terus melambungnya harga berbagai barang dan jasa.

Tarif listrik tidak naik. Rakyat senang. Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, pun mengantongi poin postif. Ini bisa jadi modal berharga untuk kembali berlaga di 2019. Ehm…

Tapi, bagaimana dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)? Ada kesan pabrik setrum pelat merah itu seperti dibiarkan berjibaku sendirian dalam menahan kenaikan harga dagangannya. Berjibaku sendirian? Ya. Pasalnya, amat minim, kalau tidak mau disebut nihil, keberpihakan Pemerintan untuk membantu PLN dalam menghadapi terus meroketnya harga batubara.

Buat PLN, kontribusi batubara dalam biaya produksi listrik lumayan gede. Begitu harganya naik, biaya untuk produksi listrik juga ikut melonjak. Tahun silam saja, biaya pokok produksi (BPP) PLN naik Rp16,18 triliun akibat melonjaknya harga batubara. Serem…

Harga batubara yang terus moncer dalam beberapa tahun silam, memang membuat perusahaan petambang lebih suka melego barangnya ke negeri orang. Hanya sebagian kecil dari produksi mereka yang dijual ke pasar domestik. Bayangkan, dari total produksi sekitar 437 juta ton pada 2017, lebih dari 80% atau sekitar 360 juta ton diekspor.

Setengah hati

Masih untung ada ketentuan yang mewajibkan petambang menjual sebagian batubaranya di pasar domestik. Seandainya kewajiban yang disebut domestic market obligation (DMO) sebesar 20% itu tidak ada, bisa dipastikan sebagian besar wilayah NKRI bakal gelap gulita. Sebab, PLTU-PLTU milik PLN berhenti beroperasi karena ketiadaan batubara sebagai bahan bakar.

Tapi, regulasi DMO ternyata cuma setengah hati. Pasalnya, DMO hanya mengatur volume batubara yang boleh diekspor. Sementara harga sepenuhnya diserahkan sesuai mekanisme pasar. Kalau di pasar internasional sedang terbang ke langit, harga DMO pun melonjak-lonjak. Kosekwensinya PLN pun harus merogoh kocek dalam-dalam. Artinya, BPP listrik ikut membengkak. Tapi, pada saat yang sama harga dagangan tidak boleh dinaikkan. Seru!

Pemerintah memang menaikkan royalti batubara sebagai bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun lalu, penerimaan PNBP dari royalti batubara naik Rp1,3 triliun. Jumlah itu sangat tidak berarti dibandingkan dengan kenaikan BPP listrik PLN yang mencapai Rp16,18 triliun.

Dirut PLN Sofyan Basir bukannya tidak berusaha mengatasi soal ini. Sejak beberapa waktu lalu dia sudah mengajukan usul soal DMO batubara untuk PLTU. Waktu itu Pemerintah menyatakan, regulasi soal ini bakal terbit awal 2018. Sekarang sudah Februari, wajar saja kalau PLN menagih janji tersebut.

Dalam usulannya, PLN mengajukan agar harga DMO batubara menggunakan skema biaya produksi ditambah keuntungan alias cost plus margin. Besar margin yang diusulkan sekitar 15%-25% dari biaya produksi. Dalam bisnis, apalagi skala besar, keuntungan 15%-25% jelas sangat menggiurkan.

Tapi namanya juga manusia, kalau bisa dapat banyak kenapa harus puas dengan yang sedikit? Jika keuntungan dari menjual batubara bisa superjumbo, kenapa pula harus manut dengan usulan PLN yang cuma 15-25%? Maka cerita selanjutnya jadi gampang ditebak, tentu saja mereka menolak usulan tersebut. Lalu, dengan sumber daya yang luar biasa, mereka terus melobi Pemerintah agar menepis usulan PLN tadi.

Lobi Tingkat Tinggi

Bagaimana hasil lobi-lobi tingkat tinggi itu? Secara prinsip, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sepakat dengan usulan PLN untuk menekan harga bahan bakar pembangkit listrik. Dia juga mendorong PLN terus meningkatkan efisiensi. Dengan begitu bisa dihasilkan tarif listrik yang bisa lebih dijangkau masyarakat.

Tapi, keterangan tertulis yang diterima awak melalui Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid, tidak seindah itu bunyinya. Di situ antara lain disebutkan tarif listrik yang makin terjangkau masyarakat harus menjadi kepedulian semua pihak. Namun untuk mewujudkannya harus tetap memperhatikan kelangsungan usaha dalam bentuk harga energi primer yang fair dan mendukung sustainabilitas industri terkait.

Kalimat-kalimat yang digunakan memang tidak jelas ‘jenis kelaminnya’. Tapi, dengan membaca sekilas, bisa diketahui arahnya. Simak kalimat terakhir yang berbunyi “…mendukung sustainabilitas industri terkait.” Paham maksud saya, kan?

Edy Mulyadi

Pertanyaannya kemudian, apakah kalimat-kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa PLN benar-benar harus berjibaku sendirian? Jawabnya bisa ya, bisa juga tidak. Tapi coba simak poin terakhir dari lima butir keterangan tertulis itu. Bunyinya begini, “Harga energi primer untuk pembangkit listrik adalah salah satu komponen penentu tarif listrik. Masih ada sejumlah komponen penentu tarif lainnya yang bisa diefisienkan oleh PT PLN untuk menghasilkan biaya produksi yang makin kompetitif dan tarif listrik yang makin terjangkau oleh masyarakat luas.”

Dalam logika awam, poin ke lima itu seolah-olah bermakna, sudahlah PLN tidak usah ngotot mengutak-atik minta harga khusus untuk batubara DMO. Kalian kan bisa menekan biaya dengan meningkatkan efisiensi di lini lainnya. Begitulah…

Efisiensi memang jadi harga mati yang harus dilakukan PLN. Tentu saja, sebagai nakhoda, Sofyan yang mantan bankir senior paham betul. Langkah itu, selain meningkatkan revenue, pula yang dia genjot ketika ditugaskan memimpin PLN.

Beberapa langkah efisiensi itu antara lain dengan berupaya menurunkan harga Power Purchase Agreement (PPA) dari pembangkit swasta. Ini memang bukan mudah, tapi bukan berarti mustahil. Negosiasi berlangsung alot dan melelahkan. Hasilnya, sudah ada beberapa yang setuju.

Menekan harga pembelian listrik swasta memang jadi hal krusial bagi PLN. Bayangkan, tiap penurunan US$ cents 1/KwH bakal menghemat fulus PLN hingga Rp1 triliun/1.000 KwH. Padahal, swasta dapat jatah membangun 25.000 MW dalam program listrik 35.000 MW sampai 2019. Artinya, PLN bakal bisa menekan biaya dari sini hingga Rp25 triliun/tahun

Mengajari Ikan Berenang

Sofyan juga terus meningkatkan efisiensi untuk berbagai biaya yang masih dalam rentang kontrol PLN. Selain itu, juga melakukan reprofiling pinjaman untuk manajemen likuiditas. Langkah ini sekaligus menurunkan biaya bunga dan memperpanjang waktu jatuh tempo pengembalian pokok pinjaman.

Jadi, tanpa bermaksud kasar, mungkin ada baiknya Pemerintah berhenti mengajari Sofyan dan jajarannya dalam efisiensi perusahaan. Jangan sampai bak mengajari ikan berenang.

Akan jauh lebih elok, bila Pemerintah lebih menunjukkan sedikit saja keberpihakan dalam hal harga batubara khusus untuk DMO. Bukan hanya untuk kepentingan PLN. Tapi keberpihakan ini untuk menghasilkan listrik yang lebih murah dan terjangkau rakyat.

Toh, dengan memberikan harga khusus DMO tidak akan membuat perusahaan tambang batubara rugi apalagi sampai bertumbangan. Untung mereka selama ini sudah sangat besar, kok. PT Adaro Energy Tbk, misalnya, sampai triwulan III-2017 saja berhasil meraup laba sebesar US$495 juta, naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dihitung dengan kurs Rp13.500, keuntungan itu setara dengan Rp 6,6 triliun.

Nasib mujur serupa kurang lebih juga dinikmati lebih dari 3.000 perusahaan tambang batubara swasta lainnya yang aktif. Termasuk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, satu-satunya BUMN Tambang Batubara, itu pun 35% sahamnya telah dimiliki publik. Kontribusi perusahaan ini hanya 6% atau sekitar 23 juta ton dari total 435 juta ton produksi nasional.

Ayolah, sudah saatnya Pemerintah menujukkan posisinya ada di mana. Mana mungkin listrik murah tapi harga batubara ‘membara’? PLN mungkin tidak serta-merta jadi bangkrut karena harga DMO batubara tetap berkembara di langit. Tapi, cepat atau lambat, perusahaan akan dihadapkan pada pilihan, menaikkan harga listrik atau terkapar dihajar tingginya harga batubara.

Tahun lalu, kebutuhan batubara PLN 85 juta ton. Tahun ini, diperkirakan naik menjadi 89 juta ton dan naik lagi 99 juta ton pada 2019. Tren naiknya kebutuhan batubara seiring dengan bertambahnya kebutuhan listrik sebagai bagian dari insfrastruktur utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak bisa dibayangkan, berapa dana yang harus dialokasikan PLN pada 2026 ketika kebutuhannya mencapai 153 juta ton jika regulasi DMO khusus batubara tidak kunjung jelas ‘jenis kelaminnya.’

Tapi ngomong-ngomong, kira-kira pada 2026 PLN masih ada tidak ya?

Jakarta, 1 Februari 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)