Ilustrasi. Morfin. (Ist)

Rasa Nyeri Berat pada Penderita Kanker, Morfin Jadi Pilihan?

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) telah merilis pedoman mengurangi sakit terhadap anak pasien kanker. Berdasarkan tingkat rasa nyeri, pemakaian parasetamol dan ibuprofen adalah obat nyeri dalam tahap ringan. Namun, bila rasa nyerinya parah, morfin menjadi pilihan.

“Rasa nyeri pasien kanker adalah nyeri hebat. Apalagi ketika sudah dinyatakan paliatif, dosisnya tak dapat diturunkan. Paliatif tanpa morfin bukan paliatif,” ujar dokter Edi Setiawan Tehuteru.

Sayangnya, penggunaan morfin untuk meredakan nyeri untuk anak pasien kanker kurang diminati di Indonesia. Masih banyak pasien kanker menderita sakit hebat karena dokter kurang sigap mengontrol nyeri pada pasiennya.

Akibatnya, kata Edi, Indonesia kerap dicap sebagai salah satu negara yang menelantarkan pasien dengan nyeri kanker.

Ada ketimpangan penggunaan morfin di dunia. Secara umum, total produksi opium, bahan pembuat morfin, mencapai 566 ton setara morfin (tons of morphine equivalent) pada 2016. Jumlahnya meningkat menjadi 669 ton pada 2017. Namun, permintaan untuk medis dan ilmu pengetahuan tak meningkat, hanya 420 ton sejak 2016.

Di Indonesia, kenyataannya makin jomplang. Menurut Badan Pengawas Narkotika Internasional (INCB), negara ini masuk jajaran peringkat rendah rata-rata konsumsi analgesik opium di Asia pada 2011-2013. Tingkat konsumsinya, yang kurang dari 100 dosis harian untuk keperluan statistik (S-DDD), dianggap “sangat tidak memadai.”

Salah satu penyebab kondisi itu, menurutnya, karena pengetahuan yang minim dari tenaga kesehatan, sehingga resep morfin dinomorduakan.

Meski semua dokter dapat meresepkan morfin untuk kebutuhan medis, faktanya ada rumah sakit yang hanya mengizinkan resep tersebut diberikan oleh dokter spesialis tertentu. Selain itu, morfin medis hanya dapat dijumpai di beberapa rumah sakit, dan menjadi barang langka di apotek karena restriksi yang ketat dalam aturan narkoba di Indonesia.

Selain itu, pasien maupun keluarga pasien kerap menolak resep morfin. Kebanyakan karena terkait pengetahuan yang minim plus anggapan terlarang menurut agama.

Edi pernah menangani pasien kanker otot polos. Ia meraung kesakitan tetapi tawaran penggunaan morfin medis ditolak oleh sang keluarga pasien. Si anak terus-menerus berteriak menahan sakit, sementara orangtuanya tampak tenang.

“Kita seharusnya bersyukur Tuhan memberikan morfin sebagai obat paling indah karena tak ada dosis maksimalnya,” ujarnya.

Pengobatan Medis Kanker pada Anak
“Tata laksana pengobatan kanker secara medis hanya ada tiga. Kemoterapi, radioterapi, dan operasi,” kata Edi, menegaskan bahwa pengobatan alternatif bukan solusi kesembuhan.

Meski begitu, mengapa hingga kini masih saja ada orangtua yang enggan melakukan terapi medis yang disarankan dokter?

Dokter Edi mengatakan bahwa kekhawatiran efek samping dari kemoterapi menjadi salah satu pendorongnya.

Rambut rontok, botak, muntah, kulit pecah-pecah, hingga badan yang mengurus—bayangan demikian yang menghantui keluarga dan pasien kanker.

Beragam dampak itu muncul akibat obat kemoterapi. Ia berfungsi menghambat pertumbuhan sel kanker, tetapi punya kelemahan: tidak dapat membedakan sel jahat dan sel baik.

Rambut rontok, misalnya. Meski bikin kepala plontos, toh bisa segera tumbuh lagi setelah obat kemoterapi dihentikan. Begitu pula kulit pecah-pecah. Efek lain seperti mual dan muntah lantaran obat kanker merangsang pusat mual pada otak. Untuk mengatasinya, dokter akan memberikan obat antimuntah.

Selain enggan kemoterapi, masih ada persoalan lain saat perawatan medis. Salah satunya beberapa obat kemoterapi dan morfin di Indonesia masih langka. Ini karena tak ada perusahaan dalam negeri yang memproduksinya. Akibatnya, pihak rumah sakit harus mengimpor beberapa jenis obat tersebut dari negara lain dengan masa tenggang yang agak lama.

“Penggunaan morfin untuk kesehatan juga masih jadi titik antipati di Indonesia. Banyak pasien belum terbebas dari rasa nyeri karena menolak obat dari tumbuh-tumbuhan tersebut,” ujar dokter Edi. (berbagai sumber/tirto/eff)