foto istimewa

Kementerian KLHK Lakukan Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Sebagai upaya pemulihan fungsi kawasan, penanganan kebakaran hutan dan lahan, serta pencegahan pembalakkan liar, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan melakukan Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hariadi Kartodihardjo, di Jakarta Senin 5 Maret 2018 mengatakan, revitalisasi ini akan menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat termasuk meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu dapat mewujudkan kepastian usaha yang berbasis hutan dan lahan termasuk harmonisasi hubungan usaha besar dan kecil.

Wilayah ekosistem Tesso Nilo berada di Provinsi Riau, meliputi tiga Kabupaten yaitu Kampar, Pelalawan dan Kuantan Singingi, termasuk kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan wilayah hutan produksi disekitarnya dengan total luas sekitar 916.343 Ha.

Hariadi menuturkan, saat ini dari areal TNTN seluas 81.793 Ha, telah terjadi perambahan pada areal seluas 44.544 Ha (54%), sedangkan areal eks perusahaan PT HSL seluas 45.990 Ha dan areal eks PT SRT seluas 38.560 Ha, juga telah dirambah seluas 55.834 Ha (66%).

“Selain itu, dari 13 hutan tanaman industri (HTI) dengan luas sekitar 750.000 Ha, yang terdapat disana, sembilan diantaranya terdapat klaim lahan. Hasil inventarisasi juga menunjukkan ada 11 pemegang HGU kelapa sawit seluas 70.193 Ha, dengan 15.808 areal kerjanya berada di dalam kawasan hutan”, jelas Hariadi.

Dalam wilayah ekosistem Tesso Nilo terdapat 23 desa, dan 4 desa diantaranya berbatasan langsung dengan kawasan TNTN. Kondisi ekosistem Tesso Nilo tersebut merupakan tipologi permasalahan yang cukup kompleks.

“Hubungan antara fungsi hutan, flora-fauna langka yang perlu dilindungi, dinamika sosial-ekonomi-politik masyarakat lokal, adat dan pendatang serta perusahaan-perusahaan besar telah terjalin dan perlu diurai. Selain perlu dipahami akar masalahnya, penyelesaian persoalan ini memerlukan proses sosial di lapangan secara intensif serta pemahaman dan komitmen berbagai pihak”, saran Hariadi.

Menyikapi kondisi ini, rangkaian kegiatan revitalisasi telah dilakukan sejak tahun 2016, oleh tim yang melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Selama dua tahun, tim melakukan identifikasi, inventarisasi, verifikasi areal dan permasalahan yang terjadi di lapangan, dan kemudian dihasilkan kerangka Revitalisasi Pengelolaan Ekosistem Tesso Nilo dengan Pendekatan Berbasis Masyarakat yang akan dijalankan oleh Tim Implementasi”, jelas Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono.

Mekanisme utama dalam pelaksanaan revitalisasi ini terdiri dari instrumen Perhutanan Sosial (PS) dan Reforma Agraria (RA), selain perbaikan tata kelola kebun sawit, serta membangun pasar dan infrastruktur. “Hal ini dilakukan untuk pengembangan ekonomi masyarakat, melalui manajemen pengelolaan di tapak dengan melibatkan semua komponen dan dukungan multi-pihak”, tutur Bambang.

Bambang juga menambahkan bahwa proses tersebut hingga saat ini terus berjalan, termasuk penegakan hukum. “Jadi simultan, penegakan hukum berjalan, Perhutanan Sosial berjalan, Reforma Agraria berjalan, dan pada akhirnya kesatuan ekosistem itu dapat dipulihkan. Akses legal, akses usaha, akses pendampingan pendidikan dan pelatihan yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akhirnya arahnya kesana”, lanjut Bambang.

Terkait hal tersebut, KLHK juga melakukan pendekatan bentang-alam yang dilaksanakan lintas yurisdiksi dan wilayah administrasi dengan melibatkan K/L, TNI, POLRI, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan LSM. Pendekatan bentang-alam dengan menyertakan kawasan hutan produksi juga, secara teknis, memungkinkan diterapkannya pengosongan secara bertahap, pemukiman dan kebun yang berada di dalam kawasan Taman Nasional.

“Pelaksanaan pemindahan rumah dan kebun (resettlement) ke lokasi hutan produksi telah disosialisasikan kepada sebagian masyarakat dan menyatakan bersedia. Pelaksanaan resettlement dan RA ini nantinya akan didelegasikan kepada Pemerintah Provinsi, setelah proses pemetaannya selesai”, jelas Bambang.

Sementara, Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, memandang proses pemindahan ini adalah voluntary resettlement. “Yang akan mendapatkan prioritas untuk pemukiman dengan pendekatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial adalah buruh tani yang miskin dan penduduk setempat yang memang selama ini mengelola tanah,” katanya.

Kerangka penyelesaian untuk menjalankan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo yang berbasis masyarakat ini diharapkan dapat digunakan sebagai formula untuk menyelesaikan masalah serupa di kawasan Taman Nasional di Indonesia.(humas klhk/wasita)