JAKARTA (Independensi.com) – Di Provinsi Kalimantan Tengah, ada nama Daerah Otonomi Baru (DOB) berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002, tanggal 10 April 2002, yakni Kabupaten Gunung Mas, pemekaran dari Kabupaten Kapuas.
Sebagaimana dikutip Borneonews.co.id, edisi Sabtu, 18 Maret 2017, Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung Mas, Suprapto Sungan, menceritakan asal mula nama Kabupaten Gunung Mas.
Tepatnya, di sekitar Desa Sumur Mas, Kecamatan Tewah, ada gunung yang disebut Gunung Mas. Dari situlah asal nama Kabupaten Gunung Mas. Gunung tersebut diberi nama Gunung Mas, karena di bawah gunung tersebut terdapat banyak kandungan emas yang menempel di batu.
Suprapto Sungan, mengklaim, Gunung Mas merupakan tempat penambangan emas milik Belanda ratusan tahun silam, saat Kerajaan Belanda masih menjadi penjajah di negeri ini.
Akan tetapi kalau dilihat dari motto Kabupaten Gunung Mas, menggunakan Bahasa Sastra (Sangiang) Dayak Ngaju, yaitu Habangkalan Penyang Karuhei Tatau”, ada ketidakkonsistenan di dalam mengungkapkan identitas daerah, sehingga dalam takaran tertentu patut diduga bentuk pelecehan terhadap identitas Suku Dayak.
Habangkalan, artinya kumpulan, himpunan, cita-cita yang menyatu menjadi satu kebulatan tekad; Penyang: kekuatan jiwa, semangat, spiritual dilandasi iman; Karuhei: daya usaha-upaya untuk mencapai suatu tujuan; Tatau: kesejahteraan, kebahagian, kejayaan
Secara lengkap “Habangkalan Penyang Karuhei Tatau” berarti: kumpulan, himpunan cita-cita yang menyatu atas dasar tekad dengan semangat yang tinggi dengan didasari agama dan keimanan dalam upaya bersama untuk membangun yang bertujuan mensejahterakan, membahagiakan dan kejayaan seluruh masyarakat di wilayah Kabupaten Gunung Mas.
Mestinya, kalau dari sisi motto menggunakan identitas lokal, nama kabupaten juga mesti menggunakaan identitas lokal, sebagaimana diatur di dalam Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), kemudian dijabarkan lebih teknis di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2006, tentang toponimi atau ilmu penamaan wilayah, atau pembakuan nama rupabumi.
Dimana digariskan, penyebutan atau atau penulisan nama wilayah administrasi pemerintahan dan atau penyebutan nama komunitas, harus sesuai sebutan bahasa daerah lokal, dan atau harus sesuai kearifan lokal, dan atau harus sesuai sejarah lokal, dan atau harus sesuai legenda lokal, sebagai wujud identitas lokal dalam integrasi nasioal dan internasional.
Kesalahan penyebutan dan atau kesalahan penulisan nama wilayah, artinya tidak sesuai bahasa daerah lokal, dan atau tidak sesuai kearifan lokal, dan atau tidak sesuai sejarah lokal, dan atau tidak sesuai legenda lokal, adalah bentuk kejahatan ilmiah yang dilakukan negara.
Selagi tidak ada inisiatif masyarakat lokal untuk mengusulkan perubahan penamaan wilayah yang tidak sesuai bahasa daerah lokal, dan atau tidak sesuai kearifan lokal, dan atau tidak sesuai sejarah lokal, dan atau tidak sesuai legenda lokal, maka selama itu pula terjadi pembiaran tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara.
Mengacu kepada moto menggunakan Bahasa Dayak Ngaju, mestinya tokoh elit di wilayah itu memutuskan nama kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kapuas itu, menggunakan Bahasa Dayak Ngaju atau Bahasa Dayak Uud Danum, sebagai penduduk mayoritas di wilayah itu.
Dalam legenda tahtum Dayak Uud Danum dan Dayak Ngaju, memang ada istilah Puruk Bulo dalam Bahasa Sangiang, tapi tidak tepat kemudian diterjemahkan secara harafiah ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Kabupaten Gunung Mas.
Demikian pula, penentuan nama Ibu Kota Kabupaten Gunung Mas yang sekarang disebut Kuala Kurun, justru mengacu kepada Bahasa Dayak Banjar, sementara dalam Bahasa Dayak Ngaju dan Dayak Uud Danum sebagai penduduk mayoritas di wilayah itu adalah Olung Kolon.
Mestinya dalam rangka menghargai indentitas lokal, kaum elit politik di wilayah itu melalui proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengusulkan perubahan nama Kabupaten Gunung Mas menjadi Kabupaten Puruk Bulo, dan ibu kota kabupaten dari Kuala Kurun menjadi Olung Kolon.
Itulah yang mendasari pemilihan nama Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) didasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2003, tanggal 18 Desember 2003. Bener Meriah dalam terjemahan harafiahnya adalah Damai Sejahtera.
Demikian pula, dalam rangka menjaga dan atau menghormati kesejarahan lokal, kemudian keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2014, tanggal 11 September 2014, tentang perubahan nama Kabupaten Pontanak menjadi Kabupaten Mempawah di Provinsi Kalimantan Barat.
Penentuan nama Kabupaten Benar Meriah dan perubahan nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah, didasarkan inisiatif masyarakat setempat, demi menjamin terjaganya keutuhan identitas lokal.
Sikap sembrono di dalam menentukan nama Kabupaten Gunung Mas di Provinsi Kalimantan Tengah, dalam takaran tertentu bisa menghambat tumbuhnya rasa nasionalisme kalangan Suku Dayak di Kalimantan.
Karena konsep nasionalisme, apapun alasannya harus dimulai dari kecintaan terhadap identitas diri, kecintaan terhadap kebudayaan sendiri. Karena kebudayaan nasional itu, berasal dari kebudayaan daerah yang diangkat dan disosialisasikan kalangan masyarakat lokal, sehingga nantinya diterima secara nasional dan internasional.
Pemilihan nama DOB Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan, sebagai gambaran umum kesemrautan penentuan nama wilayah. Sebut saja Sungai Mahakam di Provinsi Kalimantan Timur, sebutan benar adalah Sungai Bohokam, dan Sungai Barito di Provinsi Kalimantan Tengah, sebutan yang benar adalah Sungai Baritu.
Demikian pula, Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya di perbatasan Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah, penulisan yang benar di dalam Bahasa Dayak Uud Danum yang bermukim di wilayah itu adalah Taman Nasional Puruk Mokorajak.
Puruk Mokorajak diambil dari nama dua bukit yang berhadapan-hadapan, tapi artinya sama, cuma sebutannya saja yang berbeda. Di wilayah pemukiman Dayak Uud Danum disebut Puruk Mokorajak, dan bukit kedua di dekatnya yang berada di tengah pemukiman Dayak Limei, stramras Dayak Uud Danum disebut Bahkah, artinya besar.
Mengacu kepada sikap sembrono dalam penentuan nama wilayah, sangat tergantung dari kepekaan kalangan masyarakat Suku Dayak itu sendiri di Kalimantan. Kalau kesembronoan penyebutan nama wilayah dibiarkan berlarut-larut, berarti Suku Dayak di Kalimantan memang sengaja membiarkan identitas dirinya dilecehkan, dan dalam takaran tertentu bisa menghambat pembangunan di sektor kebudayaan nasional.
Karena penamaan DOB, idealnya pula sebagai sebuah jaminan penambahan kosa kata baru dalam Bahasa Indonesia. Karena kosa kata Bahasa Indonesia, selalu diadopsi dari Bahasa Daerah.
Ini tidak bisa dianggap sepele. Karena Kantor Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2016, misalnya, mengklaim Bahasa Dayak di Kalimantan yang sudah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia, baru mencapai 25 kosa kata. Ini terjadi lantaran kalangan elit Suku Dayak itu sendiri, kurang menghargai bahasa ibu dan atau identitas diri yang bertumbuh kepada kebudayaan sendiri.
Secara nasional, pertumbuhan kosa kata Bahasa Indonesia, masih terbilang minim, karena baru mencapai 600 ribu kosa kata. Ini kalah jauh dengan Bahasa Arah yang mencapi 2 juta kosa kata dan Bahasa Inggris yang mencapai 6 juta kosa kata.
Untuk menjaga terjaminnya identitas lokal di dalam penamaan wilayah, ada baiknya dipikirkan untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah.
Gugatan ke MK-RI, agar ditambahkan frasa yang menggariskan penamaaan calon DOB di Indonesia, harus mengacu kepada bahasa daerah lokal, dan atau mengacu kepada kearifan lokal, dan atau mengacu kepada kesejarahan lokal, dan atau mengacu kepada legenda lokal, sebagai wujud indentitas lokal dalam integrasi nasional. (Aju)
Sama hal nama ibukota kabupaten katingan harusnya “ONGKO SUNGAN” bukan kasongan
Dan juga desa Telok yang seharusnya TELUK