Rumah Betang Suku Dayak

Identitas Dayak, Pancasila dan Tumbang Anoi 2019

Loading

PALANGKARAYA (Independensi.com) – Aspek toponimi atau teknis penamaan wilayah yang sekarang disebut pembakuan nama rupabumi, dijadikan salah satu rekomendasi dalam Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019.

Dijadikan salah satu rekomendasi, karena menyangkut identitas Suku Dayak, sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, dimana hak-haknya dilindungi sebagaimana digariskan di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Nomor 65/295, tanggal 13 September 2007.

Dalam rekomendasi, sama sekali bukan menggariskan penulisan nama sebuah wilayah harus diubah seketika, karena tidak sesuai dengan sebutan bahasa lokal.

Tapi hanya memberikan kisi-kisi umum kepada masyarakat Suku Dayak di Pulau Borneo, tentang teknis pembakuan nama rupabumi, sebagaimana Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4 Tahun 1967, dan ditindaklanjuti secara lebih teknis di Indonesia, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2006.

Banyak sekali kesalahan penamaan wilayah di Pulau Borneo, tidak sesuai dengan sebutan masyarakat lokal Suku Dayak. Di antaranya nama Jongkhang sekarang disebut Kecamatan Jangkang, Sejiham disebut Sejiram di Kecamatan Seberuang, Baika disebut Kecamatan Bika, Sorabai disebut Kecamatan Serawai, Momaluh disebut Kecamatan Ambalau, Monukung disebut Kecamatan Menukung di Provinsi Kalimantan Barat.

Belum lagi, kesalahan penulisan nama wilayah serupa terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Utara, kemudian di Brunei Darussalam, Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.

Banyak kalangan elit Dayak, mengaku pasrah, terhadap pembakuan nama rupabumi yang salah di wilayahnya. Alasannya, karena nama itu, sudah digunakan turun-temurun.

Bahkan, tidak sedikit dari elit Dayak dengan polos menunjukan kualitas dosa terbesarnya, dengan terlalu berhambakan hasil produk literasi asing, tanpa ada rasa sikap peduli, melihat Kebudayaan Suku Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat, demi pelurusan teknis penulisan nama wilayahnya yang salah.

Karena melakukan perubahan terhadap nama wilayah yang salah, artinya tidak sesuai sebutan lokal, bukan berarti menggugurkan fakta sejarah yang menyertainya, tapi justru melengkapi fakta sejarah yang pernah terjadi di wilayah itu.

Karena nama wilayah hal yang prinsip di dalam identitas seseorang dan komunitas masyarakat. Seseorang bisa kehilangan segala-galanya, tapi tidak dengan identitas diri, yaitu nama.

Nama akan melekat di dalam diri seseorang, mulai dari masa kecil, beranjak remaja, dewasa, mencari pasangan hidup, menjadi orangtua, menjadi kakek dan nenek. Sampai ke liang lahat sekalipun pun, nama seseorang akan melekat di batu nisan.

Kejahatan ilmiah

Dalam pembakuan nama rupabumi, dianut sebuah pemahaman universal, yaitu, kesalahan penyebutan nama wilayah, dalam arti tidak sesuai kearifan lokal, tidak sesuai bahasa daerah lokal, tidak sesuai mitos suci lokal, tidak sesuai legenda suci lokal, adalah bentuk tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara.

Selagi tidak ada inisiatif masyarakat lokal mengambil inisitif untuk mengusulkan dilakukan perubahan nama wilayah yang salah, maka selama itu pula, terjadi tindak pembiaran terhadap tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara.

Faktor penyebab terjadinya kesalahan penyebutan dan atau penulisan nama wilayah di Pulau Borneo, di antaranya karena nama wilayah hanya ditentukan oleh oknum elit tingkat atas, termasuk hanya ditentukan oknum elit orang Dayak yang kurang memahami akan karakteristik masyarakat Dayak di wilayah yang akan ditentukan nama wilayahnya itu.

Padahal di dalam program pembakuan nama rupabumi, nama wilayah harus ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat (disesuaikan kearifan lokal), kemudian kesepakatan tertulis disampaikan ke tingkat kecamatan untuk ditindaklanjuti di bagian pemerintahan kesekretariatan pemerintahan otonom.

Terhadap usulan perbaikan perubahan nama yang salah, prosedur administrasinya juga sama. Hal ini sudah dilakukan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, dimana masyarakat memprotes penulisan nama Kecamatan Batu Datu dan sekarang diubah menjadi Kecamatan Pengkadan, dan terakhir Kabupaten Pontianak, dengan ibukotanya di Mempawah, sekarang telah diubah menjadi Kabupaten Mempawah di Provinsi Kalimantan Barat.

Apabila memang terbukti hal ini, terjadi, artinya nama wilayah hanya ditentukan oknum elit, maka implikasinya, oknum elit Suku Dayak itu sendiri, turut serta melakukan tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara, karena turut serta mengaburkan identitas salah satu komunitas sesamanya di lingkungan Suku Dayak.

Prinsip utama ilmu pembakuan nama rupabumi atau ilmu toponimi atau ilmu teknik penamaan wilayah geografi (termasuk nama fasilitas umum bentukan manusia: gedung, jalan dan jembatan) adalah menghargai keberagaman dan kearifan lokal, menghargai identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan internasional.

Bahkan sebelum turunnya Resolusi PBB Nomor 4 Tahun 1967, tentang Toponimi, Presiden Soekarno, telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Jadi, aspek toponimi sebagai salah satu daya dukung utama di dalam pengamalan Pancasila sebagai ideologi negara, karena hakekat ilmu toponimi adalah menghargai keberagaman.

Karena melalui konsep keberagaman, itulah, Presiden Soekarno, menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara yang disarikan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk disarikan dari kebudayaan Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo.

Melalui Program Revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak lewat Seminar Internasional dan Ekspesidi Napak Tilas Tumbang Anoi, 22 – 24 Juli 2019, dijadikan momentum bagi masyarakat Suku Dayak, untuk kembali kepada jatidiri, termasuk di antaranya mengkritisi kesalahan penulisan nama wilayah.

Jadi, sejarahnya, idelogi Pancasila bukan dilahirkan dari Kebudayaan Suku Bangsa Arab yang melahirkan Agama Islam. Pancasila bukan dilahirkan dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi yang melahirkan Agama Katolik dan Agama Kristen. Pancasila, bukan pula dilahirkan dari kebudayaan India yang melahirkan Agama Hindu.

Ideologi Pancasila, seratus persen dilahirkan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia. Dengan demikian, model paling sederhana mengamalkan ideologi Pancasila, adalah mencintai, menghargai, dan menjunjung tinggi kebudayaan sendiri, termasuk bagi orang Dayak adalah mencintai, menghargai dan menjunjung tinggi Kebudayaan Suku Dayak, secara jujur dan bermartabat.

Jadi, melakukan revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, dengan melihat kebudayaan Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat, dimana ada aspek religi di dalamnnya yang mencakup legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak yang membentuk karakter dan jatidiri Dayak beradat (berdamai dan serasi dengan leluhur, alam sekitar dan sesama) adalah bentuk paling tepat di dalam mengamalkan ideologi Pancasila.

Dengan demikian, apabila kita orang Dayak turut serta di dalam melakukan kesalahan dalam pembakuan nama rupabumi (tidak menghargai kearifan lokal), kemudian melihat Kebudayaan Suku Dayak semata-mata dari sumber keyakinan iman, maka di situlah terjadi praktik pengingkaran terhadap Kebudayaan Dayak, pengingkaran terhadap jatidiri Dayak.

Itu pula sebagai bentuk pengingkaran terhadap karakter orang Dayak yang dimaknai pula sebagai bentuk potensi pengingkaran dari oknum orang Dayak dimaksud terhadap ideologi Pancasila.

Makna keberagaman

Penentuan penulisan nama wilayah, memang tidak sederhana yang dibayangkan. Kalangan sesama sub Suku Dayak, saja misalnya, harus bersikap ekstra hati-hati di dalam menentukan nama wilayah.

Contohnya, kalangan Suku Dayak Uud Danum di Provinsi Kalimantan Barat, tidak boleh hanya lantaran sesama Suku Dayak Uud Danum, merasa paling berhak terlibat di dalam menentukan nama wilayah di lingkungan pemukiman Suku Dayak Uud Danum di Provinsi Kalimantan Tengah.

Demikian pula, kalangan Dayak Ngaju, tidak bisa pula dengan pertimbangan sesama Suku Dayak, merasa paling berhak turut menentukan nama wilayah di wilayah pemukiman Suku Dayak Uud Danum, karena akan ada perbedaan penyebutan. Tumbang Anoi adalah sebagian besar dimukimi komunitas Suku Dayak Uud Danum.

Demikian pula seterusnya. Nama sungai disebut sungei di dalam Suku Dayak Bakatik dan Suku Dayak Banyadu di Provinsi Kalimantan Barat, tidak boleh dipaksakan menjadi sungai, setelah wilayah itu ditetapkan menjadi nama wilayah administratif pemerintahan.

Itulah makna dari Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi, 22 – 24 Juli 2019.

Kita orang Dayak, setelah 125 tahun kemudian (1894 – 2019) diingatkan kembali untuk kembali menghargai keberagamaan internal, sebagaimana di Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894.

Di Tumbang Anoi pada 125 tahun silam, dengan keberagamanan yang ada, ribuan tokoh Dayak, mampu menunjukkan persatuan, kebersamaan, dengan menelurkan 96 pasal kesepakatan, dijabarkan dalam 96 pasal, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusia. (Aju)