Sudirman Said Lakukan Pengkhianatan Dalam Negosiasi Dengan Freeport

Loading

SEMARANG (IndependensI.com) – Mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said terbukti tidak memiliki integritas dan kredebilitas menjadi seorang pemimpin. Rakyat tidak lupa dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Sudirman Said sebagai Menteri ESDM terhadap bangsa Indonesia. 

Pemecatan terhadap Sudirman Said yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo disebabkan kegagalan melakukan negosiasi dengan PT Freeport sehubungan dengan pembatasan konsesi tambang emas perusahaan tambang emas Amerika Serikat itu di Timika, Papua pada bulan Maret 2017 lalu. Sudirman Said tidak berani memperjuangkan kepentingan nasional dan tunduk pada kemauan manajemen Freeport.

“Sudirman Said ini seorang mantan pejabat publik yang tidak nasionalis dan telah berkhianat pada NKRI. Namun karena dikenal banyak uangnya dan didukung sekelompok orang untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Tengah. Sudirman Said sedang menguji kecerdasan rakyat Jawa Tengah. Dikirain rakyat Indonesia, khususnya di Jawa Tengah lupa pengkhianatannya itu. Padahal sejarah telah mencatatnya, Sudirman Said ingin Freeport tidak mematuhi UU Minerba,” kata Imam Budi Sanyoto, Mantan Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) di Semarang, Selasa (20/03/2018).

Ia menyatakan karena sejak awal Presiden Joko Widodo tidak mengenal kompromi, maka perselingkungan Sudirman Said dengan perusahaan tambang emas Amerika tersebut bisa dipatahkan dengan memecat Sudirman Said dari kursi Menteri ESDM.

Imam menegaskan Presiden Joko Widodo ingin segera mengakhiri kontrak karya PT Freeport yang sudah berlangsung sejak 1967 dan segera berakhir 2017. Pertimbangannya adalah, kehadiran Freeport tidak memberikan keuntungan bagi rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua. Sementara itu Freeport masih ingin mengeruk keuntungan dari tambang emas milik rakyat Papua itu sampai 2021.

Dalam prosesnya, perundingan antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia tak kunjung menemui titik temu. Situasi bahkan kian memanas setelah Freeport memberi tenggat 120 hari kepada pemerintah untuk mengurus negosiasi masalah status kontrak sebelum dibawa ke pengadilan internasional atau arbitrase.
Salah satu pangkal persoalan yang dianggap menjadi pemantik konflik saat itu adalah surat yang diterbitkan Sudirman Said saat masih menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya. Surat yang ditandatangani Said itu mengizinkan Freeport melanjutkan kegiatan operasi sesuai Kontrak Karya hingga 30 Desember 2021.

Lemahkan Pemerintah

Sebelumnya, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan saat itu, surat dari Sudirman Said itu melemahkan posisi pemerintah yang kini menghendaki Freeport untuk berstatus Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Syarat itu harus dipatuhi Freeport jika mereka mau menjadi perusahaan tambang yang punya izin ekspor.

“Jadi Pak Sudirman Said kirim surat ke Freeport dulu. Seolah-olah PTFI akan diperpanjang setelah 2021. Ini justru melemahkan posisi Indonesia dalam menghadapi PTFI,” kata Fahmy saat itu.

Said mengirim surat itu pada 7 Oktober 2015 kepada Freeport McMoran Inc. Dalam surat itu, Said menyatakan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan investasi asing di Indonesia.

Hanya saja, hal tersebut masih perlu disesuai dengan aturan di Indonesia sehingga persetujuan perpanjangan kontrak Freeport akan diberikan setelah hasil penataan peraturan dan perundingan.

“Sebagai konsekuensi atas persetujuan tersebut, PTFI berkomitmen untuk menginvestasikan dana tambahan US$18 miliar untuk kegiatan operasi PTFI selanjutnya,” tulis Said dalam surat tersebut.

Surat tersebut merupakan balasan dari permohonan operasi Freeport pada 9 Juli 2015. Dalam balasan surat, Said juga menyebut pemerintah Indonesia akan menata ulang regulasi agar lebih menarik investasi dalam bidang sumber daya alam di Indonesia.
Kendati demikian, Fahmi menilai Freeport hanya punya potensi peluang lebih kecil untuk menang karena mereka belum mematuhi pembangunan smelter sebagaimana yang disyaratkan dalam undang-undang.

“Peluang kita itu 70 persen, dia 30 persen. Karena yang dilakukan pemerintah agar PTFI ini bangun smelter kan dasar Undang-Undang (UU), selama dasarnya UU, itu jadi pertimbangan kuat,” ucap Fahmy.

Freeport dianggap hanya akan mendulang rugi yang lebih tinggi jika nantinya kalah dalam arbitrase, yang bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.
Sepanjang masa itu, Freeport otomatis wajib menghentikan operasionalnya sementara. Sehingga, perusahaan tak akan mendapatkan pendapatan sedikitpun.
“Nah begitu dihentikan, tidak produksi, tidak ada pendapatan, harga saham pun turun. Kalau diteruskan bisa bangkrut kan,” katanya.

Sementara, jika pemerintah Indonesia kalah, maka pemerintah hanya perlu mengubah isi Undang-Undang yang diinginkan oleh Freeport. Di mana, melalui PP Nomor 1 Tahun 2017, pemerintah mewajibkan PTFI berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kontrak Karya (KK). “Atau kalau Indonesia kalah harus izinkan PTFI ekspor konsentrat tanpa diolah di smelter,” ujar Fahmi.