Debat kandidat Wali Kota Bekasi diselenggarakan KPU setempat, Rabu (11/4/2018). (jonder sihotang)

KPU Gelar Debat Kandidat Wali Kota Bekasi

Loading

BEKASI (IndependensI.com)- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, Rabu (11/4/2018), selenggarakan debat calon wali kota dan wakil wali kota yang akan berlaga di Pilkada serentak Juni 2018. Debat dibuka Ketua KPU setempat Ucu Asmara Sandi.

Debat kandidat  melibatkan dua pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bekasi. Menjadi pokok bahasan klimaksnya pada segmentasi kelima tentang pembahasan situasi sosial kemasyarakatan setempat.

Sesi kelima pada debat di Gedung Pertemuan Al Muhajirin Jalan Cut Meutia, Bekasi Timur itu merupakan sesi tanya jawab dari masing-masing pasangan yakni Rahmat Effendi-Tri Adhiyanto yang merupakan pasangan nomor urut 1 dan petahana dengan Nur Supriyanto-Adhy Firdaus pasangan nomor urut 2.

Rahmat Effendi calon Wali Kota Bekasi petahana menyatakan komitmennya untuk memperkuat toleransi di tengah kehidupan warga Kota Bekasi yang heterogen.

‎”Yang harus dibangun adalah pemahaman Kota Bekasi sebagai kota yang heterogen. Kesolehan dan kearifan membangun budaya dan keimanan sangat penting. Yang dibutuhkan sekarang adalah rasa aman dan warganya tidak mempertentangkan suku maupun agama dalam kearifan lokal,” kata Rahmat.

Pernyataan tersebut kemudian direspons oleh Calon Wali Kota Bekasi Nur Supriyanto yang mengkritisi kebijakan pemerintahan Rahmat Effendi pada kurun waktu 2015-2016 terkait pendirian tempat ibadah yang dianggap dirinya belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga terjadi konflik sosial.

“Hari ini kita masih teringat, fakta konflik sosial di Bekasi Utara ada kasus Gereja Santa Clara, di Jatisampurna ada kasus Kalimiring dan di Bantargebang ada kasus Ciketing. Ini tidak boleh terjadi lagi. Saya sepakat dengan komitmen toleransi ini, namun fakta digital tidak demikian,” kata Nur.

Menurut  politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, Rahmat terkesan acuh pada golongan masyarakat yang kontra terhadap dikeluarkannya izin mendirikan bangunan ibadah tersebut melalui pernyataan pribadi Rahmat ke sejumlah media massa perihal kesediaannya ditembak di bagian kepalanya terlebih dahulu sebelum mencabut izin yang sudah dikeluarkan oleh pihaknya itu.

“Bahkan saat itu ada yang mau ditembak kepalanya (kalau harus mencabut izin),” kata Nur.

Pernyataan itu memicu reaksi Rahmat Effendi dengan mengklarifikasi atas pernyataan pasangan nomor urut 2 tersebut.

“Saat terjadi konflik perbedaan pendapat di Jatisampurna, saya berkonsultasi kepada Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu (politisi PKS). Beliau sebagai wakil saya memberi masukan untuk melakukan kebijakan sesuai ketentuan dan norma hukum yang berlaku,” kata Rahmat.

Menurut dia, seorang pemimpin yang adil harus berdiri di semua kaki umatnya, sebab di Kota Bekasi saat ini masih terjadi ketimpangan penyediaan fasilitas tempat ibadah dengan populasi pemeluk agama.

Berdasarkan data Pemkot Bekasi pada 2016, populasi pemeluk agama Islam sebanyak dua  juta jiwa lebih dengan jumlah masjid mencapai 1.200 unit lebih dan mushola 1.786 unit lebih.

Pemeluk agama Kristen Protestan sebanyak 195.000 jiwa lebih dan Katolik sebanyak 65.000 jiwa lebih dengan penyediaan tempat ibadah gereja hanya 120 unit hingga 2016.

“Kalau statmen saya di media tentang tembak kepala, itu ada yang terhapus (tidak dipublikasikan secara utuh). ‎Saya cabut (izinnya) kalau sudah ada kekuatan hukum tetap,” katanya.

Rahmat menambahkan, di Kota Bekasi saat ini terdapat sekitar 324.000 jiwa warga nonmuslim yang harus diayomi oleh pemimpinnya agar memenuhi rasa keberadilan.

Kegiatan debat  yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Bekasi serta dipandu oleh Luluk Lukmiyati itu berlangsung meriah dengan dihadiri ribuan pengunjug. Namun KPU membatasi jumlah pengunjung yang masuk karena keterbatasan tempat. (ant/jonder sihotang)