ilustrasi

Kegalauan Oposisi di Balik Pembentukan Koopsusgab TNI Tumpas Teroris

Loading

Oleh Aju

JAKARTA (IndependensI.com) – Kontroversi dari berbagai pihak akan keberadaan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut menangani tindak pidana terorisme, pasca pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tentang Tindak Pidana Terorisme, disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Jumat, 25 Mei 2018, harus dipahami bagian dari turbulensi politik menghadapi Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019.

Keberadaan Koopsusgab TNI segera dibahas materi Peraturan Presiden (Perpres) bersama DPR RI usai Perayaan Idul Fitri 1439 Hijriah atau 15 – 16 Juni 2018, telah dijadikan amunisi kalangan oposisi untuk menuding Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), akan melakukan tindakan represif terhadap berbagai pihak yang berseberangan dengan Pemerintah, dengan dalih memberantasan terorisme.

Ini merupakan salah satu bentuk kegalauan kalangan oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di dalam menghadapi sikap tegas pemerintah di dalam memberantas tuntas tindak pidana terorisme, yang selalu berawal dari dua komponen mendasar, yaitu intolerans dan radikalisme.

Memang ada kesan, aksi intolerans dan radikalisme, patut diduga selalu mendapat perlindungan dari oknum tertentu di DPR, apabila muncul tindakan dan sikap tegas, dengan terlalu mudah menuding, bentuk kriminalisasi ulama dan atau penindasan terhadap umat Islam.

Lihat saja ulah anggota fraksi partai oposisi yang juga sebagai Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Kharis Almasyhari. Abdul Kharis, mengiingatkan Pemerintah agar tak sembarangan melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme.

“Pengaturan ini penting untuk memastikan keterlibatan TNI ini terukur dan terarah, dengan target yang jelas. Apakah satuan khusus atau bagaimana? Peraturan itu diharapkan detail dan jelas, jadi terukur, jangan menepuk nyamuk dengan meriam,” ujar Abdul Kharis, Minggu, 27 Mei 2018.

Abdul Kharis menambahkan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sedianya telah memiliki landasan hukum dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni terkait operasi militer selain perang. Pelibatan TNI kembali ditegaskan dalam Undang-undang Antiterorisme yang ke depan akan diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Namun, Abdul Kharis meminta pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tetap mengedepankan HAM dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan. “TNI dapat dilibatkan ketika kualitas dan kuantitas teror sudah sistematis, bersenjata dan membahayakan negara dan masyarakat,” lanjut Abdul Kharis.

Amanat undang-undang

Padahal, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menuturkan bahwa pembentukan Koopsusgab merupakan implementasi peran dan fungsi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang TNI. Pelibatan TNI di dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, merupakan amanat undang-undang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, TNI juga memiliki peran dalam menanggulangi aksi terorisme sebagai bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP), di antaranya menangani terorisme.

Menurut Hadi, ketika Koopsusgab telah resmi dibentuk melalui Perpres, maka satuan elite memiliki peran pencegahan, penindakan hingga pemulihan terkait aksi terorisme.

“Operasi TNI dalam rangka mengatasi aksi terorisme itu utuh mulai dari pencegahan, penindakan dan pemulihan. Monitoring, cegah dini, deteksi dini sampai pada penindakan. Jadi semuanya itu akan dilaksanakan dalam satu kegiatan Operasi Militer Selain Perang atau OMSP,” ujar Hadi saat ditemui seusai rapat dengan Komisi I, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 24 Mei 2018.

Hadi menjelaskan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme nantinya tergantung dari skala atau tingkat ancaman yang timbul dari suatu aksi teror.

Artinya, Koopsusgab hanya akan diterjunkan melalui operasi khusus untuk menghadapi aksi teror tingkat tinggi. Misalnya, upaya TNI dalam operasi pembebasan sandera pesawat Garuda Indonesia pada tahun 1981 dan pembebasan kapal kargo yang dibajak oleh perompak Somalia, 16 Maret 2011.

Skala atau tingkat ancaman, kata Hadi, akan diatur secara detail dalam Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Perpres akan diterbitkan setelah disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Operasi khusus, ketika sangat-sangat teroris tingkat tinggi dan operasi khusus, itu kita lakukan. Salah satu contoh pada waktu pembebasan kapal yang ada di Somalia tahun 2011, pembebasan pesawat Garuda Indonesia Woyla di Bangkok, Thailand tahun 1981. Mungkin ada operasi lain yang mirip seperti itu,” tutur Hadi. “Jadi nanti dari Perpresnya akan kita bisa memilahkan,” kata Hadi.

Tiga tugas TNI
Ada tiga ayat mengatur Tugas TNI di dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tiga tugas TNI, yaitu, ayat 1 (satu), Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Ayat 2 (dua), perincian tugas pokok TNI sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 (satu). Pada ayat 3 (tiga), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Khusus pada ayat 2 (dua) tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: (a) Operasi militer untuk perang; dan (b) Operasi militer selain perang, yaitu untuk: (1) mengatasi gerakan separatisme bersenjata; (2) mengatasi pemberontakan bersenjata; (3) mengatasi aksi terorisme; (4) mengamankan wilayah perbatasan; (5) mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.

Kemudian, (6) melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; (7) mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya; (8) memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; (9) membantu tugas pemerintahan di daerah; (10) membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.

Di samping itu, (11) membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; (12) membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; (13) membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta terakhir, yaitu (14) membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Menghadapi dinamika politik yang tumbuh dan berkembang pasca pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tentang Tindak Pidana Terorisme, Pemerintahan Presiden Jokowi, diharapkan, bisa melakukan komunikasi politik yang baik, karena permasalahan TNI terlibat di dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, memang sudah ada di dalam ketentuan sebelumnya.

Di sinilah tim Pemerintahan Persiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, diuji untuk mampu memberikan penjelasan dan atau jaminan kepada semua pihak, bahwa pelibatan TNI di dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sama sekali tidak terkait dengan semakin dekatnya Pemilihan Umum Presiden tahun 2019, sehingga tidak mesti menimbulkan turbulensi politik, lantaran ada kecerugiaan berlebihan, dan permasalahan krusial di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlalu dipolitisir.

TNI Buru Teroris di Poso

Pelibatan TNI melalui Koopsusgab, mestilah dilihat langkah pemerintahan untuk mendukung tugas Polisi Republik Indonesia (Polri) di dalam memberikan rasa aman di dalam masyarakat.

Apalagi Polri sebelumnya, sudah mengakui, selama inipun sebelum pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tentang Tindak Pidana Terorisme, kelembagaan TNI sudah diminta Polri untuk dilibatkan di dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, kendatipun dilakukan secara diam-diam.

Untuk memburu komplotan teroris yang terbukti tengah melakukan latihan militer di tengah hutan belantara, misalnya, hanya keunggulan tempur dimiliki TNI yang mampu menanganinya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mengungkapkan, TNI sebetulnya sudah terlibat dalam pemberantasan terorisme tanpa harus memasukan unsur pelibatannya ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

“TNI itu sudah berperan. Yang menembak pentolan teroris paling dicari di Poso, yaitu Santoso itu siapa, yang menembak itu TNI. Yang dapatkan Santoso di Poso itu TNI. Jadi enggak ada masalah,” ujar Setyo Wasisto usai menghadiri diskusi soal terorisme di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 3 Juni 2017, satu tahun seilam.

TNI dengan Undang-undangnya saat ini, mempunyai peran menangani terorisme jika ada kondisi tertentu di mana kepolisian tidak mampu mengerjakannya. “Jadi kalau sudah melebihi kapasitas kemampuan kepolisian, TNI harus berperan di situ, itu TNI harus ikut,” kata Setyo Wasisto.

Setyo memaparkan, polisi tidak memiliki kemampuan untuk mengejar teroris hingga ke gunung dan hutan belantara. Kemampuan di medan-medan seperti itu, hanya dipunyai TNI. “Kemampuan kepolisian di gunung dan hutan, kita tidak punya kemampuan itu, kemampuan itu yang punya TNI,” ujar Setyoa Wasisto.

Pengamat dukung TNI

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, menilai pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme akan banyak membantu pihak kepolisian, selama setiap instansi itu bergerak dalam bidangnya masing-masing.

“TNI membantu dalam bidang taktikal saja,” kata Ridwan di Jakarta, Sabtu, 17 Maret 2018.

Adapun maksud bidang taktikal, menurut Ridwan, adalah TNI membantu dalam penangkapan teroris di medan yang cukup berat dan polisi tidak bisa menjangkaunya.

Misalnya di pegunungan, hutan lebat, atau vegetasi gelap. Sedangkan untuk penangkapan teroris di dalam kota dan proses interogasi, Ridwan menilai hal tersebut merupakan tugas dan bidang pihak kepolisian.

Persoalan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme menjadi salah satu poin yang diperdebatkan di dalam pembahasan RUU Terorisme. Namun, akhirnya, pada Senin, 12 Maret 2018, pelibatan TNI akan diserahkan langsung kepada Presiden Joko Widodo.

Keputusan presiden itu akan tertuang dalam peraturan presiden yang akan mengatur peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menentukan skala ancaman terorisme.

Ridwan mengatakan aturan soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme akan melegalkan peran instansi tersebut. Misalnya ada penyanderaan seperti kasus Abu Sayyaf, bukan Densus 88 yang akan dikerahkan, melainkan TNI. “Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang TNI Pasal 7 soal tugas operasi militer selain perang,” kata Ridwan Habib.

Ridwan optimistis masuknya TNI akan membuat pemberantasan terorisme semakin efektif. Selama, kata Ridwan Habib, kepolisian tetap bergerak di ranah penegakan hukum dan TNI di ranah pembantuan teknis. (*)

Penulis adalah wartawan senior Independensi.com