JAKARTA (IndependensI.com) – Berbagai inovasi dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terhadap penyebaran paham radikal terorisme. Setelah menjalankan program Duta Damai Dunia Maya sejak 2015 lalu, di pertengahan 2018 ini, BNPT giliran merangkul para pembuat konten kreatif, terutama di kanal YouTube atau lebih keren disebut Youtubers.
Sebanyak 42 konten kreator itu dikumpulkan dalam forum Sarasehan Pencegahan Terorisme Bersama Konten Kreator di Yogyakarta, 4-7 September. Selama empat hari, mereka akan berkolaborasi dengan tim media sosial Pusat Media Damai (PMD) BNPT untuk menyamakan persepsi, berupa diskusi dan sharing pembuatan konten-konten video kreatif yang mendukung upaya pencegahan radikalisme dan terorisme.
“Adik adik ini diharapkan melakukan pencegahan terorisme melalui narasi dan konten berupa video dan sebagainya. Kami berharap kreativitas para Youtubers ini bisa mengajak dan membentengi masyarakat, terutama anak muda dari penyebaran radikalisme dan terorisme, terutama di media sosial,” kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, saat membuka Sarasehan Pencegahan Terorisme Bersama Konten Kreator di Yogyakarta, Selasa (4/9/2018) malam.
Hamli melanjutkan bahwa peran penggiat dan pembuat konten kreatif di dunia maya ini sangat penting. Pasalnya, konflik yang terjadi di Timur Tengah, itu berawal dari radikalisme yang kemudian memuncak menjadi terorisme, berawal dari perang konten, baik itu konten berita maupun konten video di media sosial.
Salah satunya di Suriah, negara yang dulunya mirip dengan Indonesia. Suriah negara yang indah yang terdiri dari bermacam-macam agama dan etnis. Namun mereka akhirnya terlibat konflik. Disitulah kelompok radikal masuk memperkeruh suasana dengan melakukan berbagai cara seperti berita bohong (hoax) dan adu domba dengan isu SARA.
Kondisi ini juga pernah terjadi di Indonesia yaitu saat konflik Poso dan Ambon. Di sana, para pelaku radikalisme juga masuk sehingga kasus itu sangat sulit diselesaikan. Begitu juga di negara tetangga Filipina, tepatnya di Marawi yang harus ditangani dengan operasi militer.
“Intinya kelompok radikal selalu mencari daerah konflik untuk melakukan jihad, buat mereka jihad itu perang, bukan yang lain. Padahal dalam islam, jihad itu tidak hanya perang, tapi jihad dengan menuntut ilmu dan mencari nafkah,” jelas Brigjen Hamli.
Ia menegaskan bahwa akar terorisme biasanya berasal dari konflik wilayah yang membuat kondisi suatau negara menjadi tidak stabil. Disitulah terorisme bisa tumbuh subur. Ia juga menegaskan bahwa yang namanya terorisme itu bukan isapan jempol atau rekayasa, tapi kenyataannya memang ada. Seperti di Indonesia dengan serangkaian teror bom dari tahun 2000 sampai sekarang.
Pada kesempatan, Hamli memaparkan berbagai fenomena terorisme, terutama di Indonesia. Diawali potensi ancaman di Indonesia. Menurutnya, potensi ancaman radikalisme di Indonesia sangat besar karena Indonesia terdiri dari berbagai macan agama, suku, ras, dan lain-lain. Hal ini harus terus direduksi dan salah satunya dengan penyebaran konten positif di media sosial.
Mengutip hasil penelitian almarhum Prof. Sarlito Wirawan tahun 2012 terkait pelaku jihad ke Afghanistan, jelas Hamli, dari 100 responden dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, hasilnya 45,5 persen karena ideologi agama dan pemahaman agama yang keliru. Kemudian solidaritas komunal yang negatif sebanyak 20 persen, kemudian 12,7 persen militan, sedangkan 9 persen karena kondisi nasional negaranya.
Begitu juga hasil dari survei Wahid Foundation tentang potensi radikalisme, kata Hamli, 72 persen orang Indonesia menolak radikalisme, 7,7 persen bersedia melakukan aksi radikalisme, dan 0,4 persen pernah melakukan aksi radikalisme dan terorisme. Ironisnya dengan hanya 0,4 persen atau sangat kecil, kelompok radikal ini justru berani melakuan aksi.
Dengan keterlibatan para konten kreator ini, diharapkan mampu mereduksi hasil penelitian itu. “Marilah yang 72 persen ini kita terus perbanyak, sekaligus kita pengaruhi yang 7,7 persen agar masuk kelompok 72 persen. Ingat 7,7 persen itu banyak sekitar 11 juta orang dari total penduduk Indonesia yang 250 juta jiwa,” tutur Hamli.