Presiden Soekarno, dan Ancaman Referendum Sabah – Sarawak

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Berbicara masalah Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, tidak bisa terlepas dari kiprah Presiden Republik Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966).

Presiden Soekarno, pernah memutuskan perang melawan kepentingan Inggris di Malaysia, sebagai bentuk protes Sabah dan Sarawak, bergabung dengan Federasi Malaysia, 1963.

Dalam perjalanan kemudian, terutama sejak 2015, berhembus kencang keinginan partai oposisi di Sabah dan Sarawak untuk tuntut referendum, keluar dari Federasi Malaysia.

Penggerak oposisi di Sabah, Presiden Partai Solidaritas Tanah Airku (Star), Datuk Jefrrey G Kitingan, terang-terangan ancam ke luar dari Ferederasi Malaysia, jika konsistensi mekanisme royalti bagi hasil sumberdaya alam sejak 1963, tidak direalisasikan Kuala Lumpur.

Di Sarawak, ratusan anggota masyarakat pekan lalu, menggelar aksi demonstrasi di Kuching menggelar aksi unjukrasa menyatakan ancaman keluar dari Federasi Malaysia.

Ihkwal tuntutan Sarawak dan Sabah di Pulau Borneo, karena selalu dianaktirikan di dalam penjabaran program pembangunan. Sabah dan Sarawak mengeluhkan jadi korban diskriminasi dan marjinalisasi Kuala Lumpur.

Sabah dan Sarawak mengklaim kondisi pembangunan di Semenanjung dengan wilayah Federasi Malaysia di Pulau Borneo, bagaikan bumi dan langit.

Mereka masih teringat keinginan Presiden Soekarno, bahwa Sabah dan Sarawak, harus menjadi dua negara yang berdiri sendiri, terpisah dari Kuala Lumpur, pusat pemerintahan Negara Federasi Malaysia.

Tahun 1945
Pada 13 Agustus 1945, para pemimpin nasionalis Malaya bertemu dengan Presiden Indonesia Soekarno dan Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta di Gunseikanbu, Taiping, Perak.

Encik Ibrahim Yaakob, Burhanuddin, dan pemuka rakyat Malaya ingin menggabungkan Malaya dengan Indonesia Raya. Namun Dwitunggal Indonesia (Soekarno – Hatta) tidak dapat membuat keputusan begitu saja.

Karena merupakan sesuatu yang belum pernah dibicarakan sebelumnya. Rakyat Malaya kemudian mengambil keputusan sendiri. Tiga hari berturut-turut (15, 16 dan 17 Agustus 1945) mereka menyelenggarakan Kongres Rakyat Malaya di Kuala Lumpur.

Hasilnya, keputusan berjuang demi kemerdekaan dan bersatu dengan Indonesia. Keputusan dipelopori Burhanuddin, kemudian didukung Onn bin Jafar. Kemudian, Encik Ibrahim Yaakob berangkat ke Singapura untuk menarik Giyungun menjadi tentara kebangsaan.

Juga akan dikirim utusan ke Jawa untuk mengatur penggabungan Semenanjung Malaya dengan Republik Indonesia.

Namun rakyat Malaya yang penuh harap itu akhirnya maklum dan terharu berhadapan dengan kenyataan bahwa Republik Indonesia yang terdiri dari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, ternyata hanya meliputi wilayah Hindia Timur Belanda saja.

Jadi, adanya tuduhan seakan-akan Indonesia ingin mencaplok Malaysia dan Kalimantan Utara, tidak benar sama sekali. Hal yang saat itu ditentang secara habis-habisan oleh Presiden Soekarno adalah neokolonialisme, yaitu ketika Federasi Malaysia sudah mau didikte Inggris.

Inggris ketika itu berdalih, untuk sekedar menggunakan haknya sebagai pemegang kedaulatan formal atas Malaysia, dan Inggris tidak mau diganggu hal itu. Inggris mempunyai konsep sendiri, di satu pihak harus mengikuti arus dekolonisasi dunia, dan di pihak lain ingin terus mempertahankan hegemoni ekonominya di kawasan bekas jajahannya.

Gagasan membentuk Federasi Malaya menjadi Malaysia, dicetuskan Lord Bruscy, Direktur North Borneo Company. Bruscy mengusulkan kepada Pemerintah Inggris untuk mempersatukan tanah dan Straits Settlement (Malaka, Singapura dan Penang) dalam suatu gabungan yang luas.

Ide Lord Bruscy kemudian dikembangkan oleh Malcolm McDonald, The British Hight Commisioner untuk jajahan Inggris di Asia Tenggara. Inggris akhirnya terpaksa memberikan kemerdekaan kepada Malaysia (31 Agustus 1957) dengan Singapura di dalamnya.

Sedangkan Sarawak, Sabah dan Brunei diatur dalam suatu federasi lain. Tapi akhirnya lahirlah suatu negara federasi baru yang bernama Malaysia, 16 September 1963.

Sejumlah tokoh Partai Rakyat Semenanjung Malaya pernah mencetuskan gagasan Federasi Indonesia – Malaya berdasarkan etnologis ras Melayu.

Tetapi pada 27 Mei 1961, Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman ketika berhadapan dengan The Foreign Correspondent’s Associations of South East Asia di Singapura, menyatakan, “Dewasa ini Malaya sebagai suatu bangsa menyadari bahwa dia tidak dapat berdiri sendiri. Cepat atau lambat Malaya harus punya saling pengertian dengan Inggris dan rakyat-rakyat Singapura, Kalimantan Utara, Brunei dan Sarawak.”

Penggabungan Malaya dengan daerah bekas jajahan Inggris lainnya menjadi penting terutama bagi etnis Melayu, karena jumlah penduduk etnik Melayu dan China berada dalam jumlah yang saling bersaing.

Dengan adanya penyatuan maka posisi etnis Melayu akan lebih aman, sekaligus dapat mencegah masuknya komunisme yang diimungkinkan masuk melalui sebagian etnis China.

Alasan itu tampaknya dibangun di atas pemikiran rasistis. Karena pada kenyataannya tidak semua etnis China di kawasan itu pro komunis. Apalagi kemudian terbukti, pergolakan di Kalimantan Utara sama sekali tidak didukung secara fisik oleh Republik Rakyat China.

Alasan rasis seperti itu sebenarnya merupakan keinginan politik pribadi Tengku Abdul Rahman yang berusaha memasukkan Sabah, Sarawak dan Brunei ke dalam Federasi Malaya. Apalagi penduduk di daerah itu masih terkebelakang dan mudah dipengaruhi.

Alasan bagi Inggris, gagasan Federasi Malaysia perlu didukung, karena didasarkan pada pertimbangan ekonomi maupun pertahanan. Dengan menguasai Malaysia, maka Inggris tetap dapat menguasai tambang timah dan perkebunan karet.

Sedangkan di Singapura, Inggris berharap tetap bisa menguasai sejumlah perusahaan dagang, dan di Brunei dapat tetap menguasai tambang minyak. Ini dari aspek ekonomi.

Dari aspek pertahanan, Malaya merupakan mata rantai penting dari garis pertahanan yang membentang dari Inggris melalui Gilbraltar dan Aden terus ke Singapura. Apalagi, Tengku Abdul Rahman dikenal sebagai sosok yang pro Barat, sehingga sebuah Federasi Malaysia yang dilahirkan akan menjadi tetap pro Barat.

Pada Juni 1961 diadakan konferensi The Commonwealth Parliementary Association yang berlangsung di Singapura. Pada forum itu untuk pertama kalinya diberi kesempatan kepada semua wakil rakyat dari kelima daerah (Malaysia, Singapura, Sabah Sarawak dan Brunei) untuk membicarakan gagasan Federasi Malaysia secara bersama-sama.

Pada Oktober 1961, Perdana Menteri Inggris McMillan mengundang Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman ke London. Kala itu Parlemen Malaya yang cenderung memberi persetujuan, meski keberangkatan Tengku Abdul Rahman ditentang oleh Pan Malayan Islamic Party, The Socialist Front, dan The Progressive Party.

Kedua Perdana Menteri itu sepakat bahwa kedua belah pihak menyetujui penggabungan antara Singapura dengan Malaya. Juga menyetujui pertahanan Inggris – Malaya diperluas hingga meliputi daerah-daerah lain yang akan masuk ke dalam Federasi Malaysia.

Kesepakatan dilanjutkan dengan kehadiran The Cobblad Comission of Enquiry for Borneo Territories di Sarawak pada Februari 1962. Komisi ini kemudian membuat laporan yang menjadi dasar Perdana Menteri Inggris untuk mendirikan Federasi Malaysia, 16 September 1963.

Sekitar dua bulan sebelumnya, 9 Juli 1963, perwakilan dari Malaya, Singapura dan Sabah – kecuali Brunei – menandatangani dokumen persetujuan. Brunei yang saat itu diwakili oleh Sultan Brunei Omar Ali Syaifuddin mengajukan syarat agar penggabungan dalam federasi itu dilakukan dengan sukarela.

Dewan legislatif yang seluruhnya terdiri dari anggota Rakyat Brunei yang dipimpin A.M. Azahari menolak konsep Federasi Malaysia, sehingga Inggris menjadualkan pembicaraan dengan mereka pada tanggal 5 Desember 1962.

Namun dibatalkan sepihak. Para patriot Brunei kemudian mengambil langkah tegas untuk memproklamirkan kemerdekaan nasional Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU), 8 Desember 1962. Tapi kemudian dengan mudah ditumpas Inggris.

Situasi politik di Sabah dan Sarawak, Federasi Malaysia, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana, bisa menjadi ancaman serius atas stabilitas keamanan regional Association of South East Asian Nation (Asean). (Aju).