Sejarah rapat damai Suku Dayak di Tumbang Anoi tahun 1894

Tumbang Anoi, Jatidiri Dayak dan Pancasila

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Sabtu, 1 Juni 2019, masyarakat di Indonesia, memperingati Hari Lahirnya Pancasila, sebagai ideologi negara.

Tapi paling tidak, ada tiga tanggal berkaitan dengan hari lahir Pancasila, yaitu tanggal 1 Juni 1945, tanggal 22 Juni 1945 dan tanggal 18 Agustus 1945. Akhirnya tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.

Karena pada 1 Juni 1945, kata Pancasila, pertama kali diucapkan Soekarno di sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang saat itu belum diangkat menjadi Presiden.

Pada 1 Juni 1945, di dalam salah satu ruangan gedung yang kini dikenal sebagai Gedung Pancasila, Soekarno, berpidato menawarkan gagasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka.

Di hadapan sekitar 65 anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)saat itu, untuk kali pertama Soekarno menawarkan istilah Pancasila sebagai dasar negara.

Di situ ada yang namanya ruang konstitusi. Di situlah sebenarnya para pendiri republik memikirkan konstitusi kita. Lahirnya Pancasila di situ. Karena Pancasila bagian dari konstitusi kita maka disebut Gedung Pancasila.

Dalam pidato yang sekarang dikenang sebagai Hari Lahir Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan perdebatan yang meruyak di antara para anggota BPUPKI mengenai dasar negara merdeka.

Benturan peradaban

Pancasila lahir, di tengah-tengah tajamnya benturan peradaban antara dua negara adidaya.

Yaitu, benturan peradaban antara penganut ideologi liberalis dimotori Amerika Serikat (AS) beranggotakan Inggris, Perancis, Selandia Baru, Belanda, Australia, dan lain-lain dengan ideologi sosialis dimotori Union of Soviet Socialist Republics (USSR) yang sekarang bernama Federasi Rusia, di antaranya beranggotakan Republik Rakyat China (RRC).

Soekarno melahirkan Indonesia, berurat-berakat ideologi sosialis, tapi sudah disesuaikan dengan alam dan budaya internal, yaitu ideologi Pancasila. Jadi, Pancasila adalah jatidiri Bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai jatidiri Bangsa Indonesia, karena Pancasila dilahirkan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk di antaranya Pancasila dilahirkan dari Kebudayaan Suku Dayak, sebagai salah satu penduduk asli di Indonesia.

Sebagai salah satu negara di Asia, kebudayaan berbagai suku Bangsa di Indonesia, termasuk Suku Dayak, menganut trilogi peradaban kebudayaan Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu peradaban sosial, peradaban ekonomi dan peradaban politik. Pranata peradaban sosial, ada aspek religi di dalamnya sebagai doktrin agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk Suku Dayak, dengan sumber doktrin: legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat.

Trilogi peradaban kebudayaan Asia, membentuk karakter manusia dari berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk Suku Dayak, untuk menjadi manusia beradat: berdamai dan serasi dengan leluhur, alam semesta dan sesama.

Ketika Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) meledakkan Gerakan 30 September (G30S) 1965, dengan memanfaatkan konflik internal di tubuh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), antara Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Ahmad Yani dan Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Mandau, Bengkayang, Kalimantan Barat, Brigjen TNI Soepardjo, jatidiri Bangsa Indonesia, porak-poranda.

Karakter Bangsa Indonesia yang sedianya mengacu kepada konsep pemahaman peradaban berdamai dan serasi dengan leluhur, alam semesta dan sesama sebagaimana disarikan menjadi ideologi Pancasila, untuk menciptakan kemandirian bangsa, anti-kolonialisme, berubah total menjadi anti-komunisme.

Karakter dari anti-kolonialisme menjadi anti-komunisme, dampak dari kejatuhan Presiden Soekarno terhitung 22 Juni 1966 untuk digantikan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Soeharto terhitung 1 Juli 1967 – 21 Mei 1998.

Karakter atau jatidiri Bangsa Indonesia beralih dari anti-kolonilisme menjadi anti-komunisme, memiliki dampak sangat serius. Masyarakat yang berbeda sikap politik lantas dituduh komunis.

Lucunya lagi, sejak era pemerintahan Presiden Soeharto, 1 Juli 1967 sampai sekarang, 2019, Pemerintah Indonesia, telah menempatkan diri sebagai institusi Pemerintahan Tuhan, karena merasa berhak menentukan sumber keyakinan iman masyarakat.

Di antaranya, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Agama Republik Indonesia, membuat kriteria sebuah institusi agama, dengan mengacu kepada kelembagaan agama impor yang jaringan infrastrukturnya sudah mapan.

Dampaknya, agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk agama asli Suku Dayak dengan sumber doktrin: legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, dinilai bukan agama, sehingga pemeluknya langsung dicap komunis.

Karena komunis selalu dijadikan persepsi politik, masyarakat terpaksa harus memeluk salah satu agama impor, dan meninggalkan doktrin agama asli sebagai sumber keyakinan iman.

Momentum Tumbang Anoi

Dalam melihat situasi perkembangan politik di tanah air pasca pengumuman hasil Pemilihan Umum Presiden, Rabu, 22 Mei 2019, masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, mesti didjadikan momentum untuk kembali kepada jatidiri Suku Dayak.

Momentum kembali kepada jatidiri bersumber dari doktrin agama asli Dayak, yaitu legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, adalah Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019.

Pada 125 tahun silam, bertempat di Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, ribuan tokoh adat Dayak se Pulau Borneo, menggelar pertemuan difasilitasi Inggris dan Belanda, dengan menelurkan 96 pasal kesepakatan sebagai Tonggak Sejarah Pedoman Arah Suku Dayak.

Dari 96 pasal kesepakatan, dua di antaranya sangat monumental, yaitu sepakat menghentikan budaya perbudakan (jipen) dan potong kepala manusia (mengayau).

Momentum Tumbang Anoi, sekaligus menjadi bahan refleksi bagi Suku Dayak di dalam merevitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, kembali kepada jatidiri Dayak sesungguhnya dengan doktrin manusia Dayak beradat: berdamai dan serasi dengan leluhur, alam semesta dan sesama.

Kembali kepada jatidiri Suku Dayak, sejatinya, adalah bukti paling konkret atas pengamalan Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Pancasila digali dari nilai-nilai budaya segenap lapisan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk digali dari dalam nilai-nilai budaya Suku Dayak.

Kembali kepada jatidiri Suku Dayak, mestilah dibarengi pemahaman aplikatif, bahwa agama yang dianut, termasuk bagi orang Dayak, adalah sumber keyakinan iman, sedangkan doktrin agama asli Suku Dayak sebagai filosofi dan etika berperilaku Suku Dayak.

Jadi, antara sumber keyakinan iman dan doktrin agama asli Suku Dayak sebagai ideologi dan filosofi, mesti dimaknai dalam konteks yang berbeda, sehingga terbebas dari anggapan mencampur-adukkan ajaran agama.

Karena seorang Suku Dayak yang sudah memeluk Agama Katolik, misalnya, tidak otomatis berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran doktrin Agama Katolik berurat-berakar dari legenda suci Suku Yahudi, mitos suci Suku Yahudi, adat istiadat Suku Yahudi dan hukum adat Suku Yahudi.

Sementara status kedayakan manusia Dayak, akan melekat di dalam diri orang Dayak, sampai akhir hayat.

Karena kehancuran jatidiri orang Dayak, apabila orang Dayak tanpa disadari atau tidak, selalu melihat dan atau memahami hakekat Kebudayaan Suku Dayak dari sumber keyakinan imannya.

Menghayati ideologi Pancasila, berarti harus menghayati kebudayaan Suku Dayak dengan hati. Memaksakan melihat Kebudayaan Suku Dayak, semata-mata dari doktrin sebuah sumber keyakinan iman seorang Suku Dayak, maka dari situlah titik awal kehancuran identitas dan jatiridiri orang Dayak itu sendiri.

Sumber peradaban Suku Dayak adalah hutan. Hutan sebagai sumber religi, terbukti, mampu membuat Suku Dayak tetap eksis berabad-abad, dengan doktrin: berdamai dan serasi dengan leluhur, alam semesta dan sesama.

Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Tumbang Anoi, 22 – 24 Juli 2019, agar dapat dijadikan gerakan kolektif untuk mendeklarasikan Hutan Adat Dayak sebagai kawasan pariwisata religi sebagaimana digariskan tentang status situs pemukiman dan situs pemujaan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.

Kemudian, dijadikan momentum bagi Suku Dayak secara intelektualitas dan bermartabat, menyampaikan sikap sehubungan rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Pulau Borneo. (Aju)