Tobias Ranggie

Dayak Tuntut Otonomi Khusus Kebudayaan di Pulau Borneo

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Praktisi Hukum dan Lingkungan Alam Sekitar di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Ranggie, menilai, Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, memiliki posisi tawar cukup strategis dan paling menentukan di dunia internasional.

“Kalau saja Suku Dayak tidak mau mensukseskan Program Heart of Borneo atau HoB, sebagai kesepakatan Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia sejak 12 Februari 2007, maka berdampak langsung terhadap terus menaiknya pemanasan global, karena Pulau Borneo sebagai salah satu paru-paru dunia, terus mengalami kerusakan serius,” ujar Tobias Ranggie, Selasa (25/6/2019).

Menurut Tobias Ranggie, seratus persen areal HoB berada di wilayah pemukiman Suku Dayak di Pulau Borneo seluas 23 juta hektar, dan 16 juta hektar di antaranya di wilayah Indonesia, membentang lurus pada Pegunungan George Muller dari Provinsi Kalimantan Utara – Provinsi Kalimantan Barat, serta membentang lurus pada Pegunungan Schwaner dari Provinsi Kalimantan Tengah – Provinsi Kalimantan Barat.

Selebihnya, HoB berada di Kerajaan Brunei Darussalam, serta Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia. Di Kerajaan Brunei Darussalam dan Malaysia, areal HoB juga berada di wilayah pemukiman Suku Dayak.

Tobias Ranggie, mengatakan, visi ingin dicapai melalui inisiatif Heart of Borneo adalah terwujudnya pengelolaan dan konservasi yang efektif di kawasan hutan hujan ekuator Heart of Borneo, melalui jejaring kawasan lindung, hutan produksi dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, yang memberi manfaat bagi masyarakat dan alam, melalui kerjasama internasional yang dipimpin oleh masing-masing pemerintah negara di Borneo, yang didukung oleh industri dan upaya global yang berkelanjutan.

“Harus ada Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Borneo, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berideologi Pancasila, sebagai wujud kesungguhan Suku Dayak mensukseskan Program HoB. Kalau saja Suku Dayak menarik diri, tidak mau terlibat dalam Program HoB, pemanasan global terus naik, karena berimplikasi pada posisi Pulau Borneo sebagai paru-paru dunia, akan mengalami kerusakan terus-menerus,” ungkap Tobias Ranggie.

Tobias Ranggie mengatakan, untuk melibatkan peran aktif Suku Dayak di dalam mensukseskan Program HoB, maka aplikasi di lapangan harus mengadopsi Kebudayaan Suku Dayak di dalam melestarikan lingkungan hidup, melalui pemberlakukan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak.

Dikatakan Tobias Ranggie, Program HoB diluncurkan, mengingat dampak buruk pengeksploitasian sumberdaya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem, termasuk eksploitasi sumberdaya alam di Pulau Borneo telah menyebabkan pemanasan global.

Dampaknya, adalah musibah pemanasan global atau global warning dengan adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfir, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir.

International Panel of Climate Change (IPCC) merilis, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.

G8 adalah Group of Eight, koalisi delapan negara maju di dunia: Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya (Inggris), Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Peristiwa penting dalam G8 adalah pertemuan ekonomi dan politik tahunan yang dihadiri para kepala negara dan pejabat-pejabat internasional, meski selain itu masih ada pertemuan-pertemuan dan penelitian-penelitian kebijakan lainnya yang lebih kecil.

Pada 30 November – 11 Desember 2015, diadakan United Nations Conference on Climate Change (UNCC) di Paris untuk membahas isu perubahan iklim yang dihadiri oleh pemimpin negara dan delegasi dari 190 negara.

“Pada konferensi tersebut, mereka membahas masalah ini secara lebih serius dan meminta komitmen semua negara peserta untuk turut serta dalam menangani masalah perubahan iklim, dimana sepakat menurunkan pemanasan global sekitar 1,5 derajat celcius,” ungkap Tobias Ranggie. (Aju)