Produksi Garam Nasional Meningkat 1 Juta Ton/Tahun

Loading

CIREBON (IndependensI.com) – Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman, Agung Kuswandono menyatakan bahwa, produksi garam industri telah mengalami peningkatan produksi.

“Saat ini kita sudah menambah sebanyak 1 juta ton per tahun, dari yang awalnya 2,2 juta ton sekarang sudah 3,2 juta ton per tahun. Banyak disuplai sebagian besar juga dari Indonesia Timur, ada PT Garam yang sudah beroperasi disana, ada 4 – 5 perusahaan. Lahan seluas 400 – 500 hektar sudah berjalan dan sebentar lagi akan panen dan Presiden Jokowi direncanakan akan menyaksikan panen raya garam di sana. Kemudian 3720 hektar ini baru selesai permasalahan lahannya, sebentar lagi kita akan buka lahan baru,” ujar Deputi Agung saat meninjau ladang garam berteknolgi prisma, yaitu teknologi yang tidak terpengaruh oleh cuaca dan bisa panen setiap tahun, di wilayah Bungko Lor, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/8/2019).

Dalam peninjauannya tersebut, Deputi Agung yang mewakili Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan yang berhalangan hadir karena harus mengikuti Ratas bersama Presiden Joko Widodo. Menurutnya, peninjauan ini untuk membuktikan bahwa garam bisa menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dan dapat dikembangkan dengan teknologi yang relatif sederhana.

“Jadi, hasil produksinya tidak hanya garam, tetapi bisa menghasilkan produk turunan seperti halnya isotonik, artemia atau pakan udang dan kapur CaC O3, dan ini yang kita lihat pada hari ini dan bisa juga diproduksi menjadi garam spa dan garam kesehatan dan harganya menjadi melonjak,” jelasnya.

Deputi Agung mengatakan, peninjauan ini sekaligus ingin mengenalkan dan mengajak para petani garam di seluruh Indonesia, untuk menerapkan teknologi serupa yang dapat memanen garam sepanjang tahun, tanpa terkendala cuaca dan bisa menghasilkan produk turunan yang bernilai ekonomi tinggi.

“Kami ingin mengajak petani garam di seluruh Indonesia untuk melakukan teknologi sepanjang tahun seperti kita lihat sekarang ini, akan tetapi kita tidak bisa menerapkan teknologi seperti ini kalau lahan garamnya kecil, karena lahan garam yang cocok untuk teknologi ini idealnya 400 hektar. Jadi intinya kita ingin mengenalkan ini kepada masyarakat agar bisa dikembangkan bersama. Beberapa hal yang harus dibenahi terlebih dulu, seperti suplai air tuanya, kita perbaiki alur airnya, cara pemanenannya dan lain sebagainya,” imbuh Deputi Agung.

*BUMD Untuk Mendukung Koperasi Petani Garam*

Lebih lanjut Deputi Agung mengatakan, untuk menyiasati keterbatasan lahan milik para petani garam, pihaknya mendorong para petani garam untuk berkumpul dan bermufakat, guna membentuk sebuah koperasi garam yang nantinya akan didukung oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

“Petambak garam harus berkumpul dan membuat kelompok atau koperasi, dan nanti akan kita dukung untuk bekerjasama dengan investor dan Pemda dalam bentuk BUMD. Jadi, sifatnya kemitraan dan para petambak itu akan seperti pemegang sahamnya,” ujarnya.

Deputi Agung menjelaskan, permasalahan lahan ibarat masalah ‘klasik’ yang memerlukan penaganan seksama. Masalah tumpang tindih lahan masih menjadi hambatan untuk membuka ladang garam baru. Namun demikian, pemerintah, lanjut Deputi Agung akan terus berupaya untuk menuntaskan permaslahan tersebut, di antaranya untuk menutup celah impor garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.

“Ini ada potensi untuk menutup celah impor. Dalam waktu singkat kita ingin hal ini dapat terwujud, sebab ada masalah lahan disini dan ini tidaklah mudah sebab ada masalah tumpang tindih perizinan, tetapi apapun masalahnya dalam tahun ini kita akan menambah banyak sekali ladang-ladang garam baru,” jelasnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) Enya Listiani menuturkan, bahwa untuk menerapkan teknologi ini di membutuhkan lahan seluas 400 hektar, ini sudah diterapkan di negara-negara lain semisal di Australia.

“Kenapa kita butuh 400 hektar? karena kita membutuhkan 90 persen untuk proses evaporasi, dan 10 persen lahan kristalisasi. Dengan jalan seperti itu semisal petambak berkumpul dan membentuk suatu koperasi, dan BUMD yang mengelolanya, akhirnya para petani garam akan bisa mendapatkan seperti plasma sawit. Jadi ada skalanya, ada skala 40 ton dan 60 ton misalnya. Jadi ini yang harus dibuat, bila sudah terintegrasi, kita tinggal membuat pabriknya dan hasilnya nanti 97 persen sudah pasti di tangan,” ujarnya.

Garam yang kadar NaCl-nya plus _impurities_ nya mendekati garam industri adalah garam dengan Kualitas Level 1 (K1), Garam dikeluarkan dari Perpres 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sehingga HPP-nya tidak bisa dijaga oleh pemerintah.
Kemenko Maritim lantas mengusulkan agar garam kembali dimasukkan ke dalam kategori barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan melalui pertimbangan Kementerian Perindustrian dan Badan Pusat Statistik serta K/L terkait lainnya.

Adapun, pasokan garam terbesar untuk industri terbesar ada dari Pantura, Madura dan Indonesia Timur seperti dari NTT. (Chs)