Mangkraknya Pembangunan Pelabuhan, Menghambat Efisiensi Logistik Nasional

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Setelah pemerintahan Joko Widodo periode pertama cukup agresif menggelontorkan anggaran untuk infrastruktur dan masih berlanjut hingga tahun ini, selanjutnya pemerintah perlu membangun konektivitas antar daerah, kota dan pulau untuk memangkas biaya logistik, yang pada akhirnya diharapkan mampu mempercepat arus barang dan jasa di dalam negeri.

Pembangunan infrastruktur yang cukup massif dilakukan sejak 2015 hingga tahun ini, tidak lagi Jawa sentris namun sudah semakin merata dari Aceh hingga Papua. Bahkan sebagai negara kepulauan, Jokowi sangat konsen dengan kehadiran toll laut termasuk pembangunan pelabuhan sebagai sarana transportasi yang lebih cepat bagi arus barang dan jasa.

Sayangnya efisiensi logistic nasional masih jauh dari harapan, karena masih ada beberapa pembangunan pelabuhan yang terkendala karena pemerintah belum mampu menciptakan kepastian hukum bagi investor yang terlibat dalam pembangunan pelabuhan.

Ekonom Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih memaparkan kepastian hukum masih menjadi masalah bagi investasi di Indonesia, meski dalam Ease of Doing Business (EoDB) peringkat Indonesia mengalami perbaikan, namun Indonesia masih kalah dibanding Thailand dan Malaysia yang sudah masuk dalam kategori ‘very easy’.

‘’Meski peringkat Indonesia sudah naik, namun dalam kenyataannya pengusaha dan swasta belum merasakan sekali komitmen pemerintah dalam menciptakan kepastian hukum berinvestasi, pemerintah masih perlu melakukan perbaikan,’’ papar Lana di Jakarta, Sabtu (10/8/2019). Padahal minat investor swasta lokal maupun asing untuk berinvestasi ke sektor yang berkaitan dengan logistic terus meningkat, jadi pembangunan pelabuhan sebenarnya perlu menjadi prioritas pemerintah, tambah Lana.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) selama Januari – Juni 2019, tumbuh sebesar 16,4% secara tahunan, lebih besar dibanding realisasi penanaman modal asing (PMA) yang tumbuh sebesar 4%. Sektor usaha dengan nilai realisasi terbesar diantaranya transportasi, gudang dan telekomunikasi mencapai Rp 71,8 triliun; Listrik, gas dan air mencapai Rp 56,8 triliun, konstruksi sebesar Rp 32 triliun , industri makanan sebesar Rp 31,9 triliun, serta perumahan, kawasan industri dan perkantoran sebesar Rp 31 triliun.

PT Karya Citra Nusantara, salah satu perusahaan swasta lokal yang dimiliki oleh PT Karya Tekhnik Utama dan PT Kawasan Berikat Nusantara, telah mendapat persetujuan untuk membangun pelabuhan Marunda mulai dari pier I, II dan III pada 2005. Namun karena PT KBN, yang adalah badan usaha milik negara (BUMN), tidak mampu mengurus proses perijinan, KCN pun mengambil alih penyelesaian seluruh proses perijinan agar pembangunan dapat segera diselesaikan.

Akibat keterlambatan proses perijinan tersebut, pekerjaan konstruksi pembangunan pelabuhan yang sejatinya ditargetkan selesai pada 2012, akhirnya molor dan diperkirakan akan selesai pada 2023. Saat pembangunan telah dimulai pada 2011, KBN yang memegang 15% saham PT KCN, meminta kenaikan porsi saham menjadi mayoritas dan menggugat KCN atas perjanjian konsesi yang dianggap melawan hukum.

Dengan segala permasalahan hukum yang masih membelenggu, PT KCN tetap konsisten membangun pelabuhan pier I yang sudah beroperasi sejak 2012, dan hingga saat ini sudah menyelesaikan 70% pembangunan pier II, dengan menelan biaya konstruksi sekitar Rp 3 triliun tanpa menggunakan dana APBN maupun APBD. ‘’Kami tetap berkomitmen menyelesaikan pembangunan pier II dan pier III, meski memang aktivitas bongkar muat di pier I sudah turun 60%, akibat berbagai permasalahan hukum yang sedang kami hadapi,’’ kata Direktur Utama KCN Widodo Setiadi. Saat ini KCN tengah menanti keputusan kasasi dari Mahkamah Agung atas kasus hukum yang membelitnya.

Sejak mencuatnya kisruh pelabuhan Marunda ini, investor yang terlibat dalam pembangunan pelabuhan di seluruh Indonesia telah menolak untuk menggunakan skema konsesi karena khawatir akan mengalami hal yang sama. Hingga saat ini hanya ada 19 proyek kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha pelabuhan (BUP) yang menggunakan skema konsesi.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad memaparkan, Indonesia masih membutuhkan kehadiran pelabuhan khusus untuk bongkar muat barang yang mampu melayani kapal diatas 3500 TEUs, karena kapasitas pelabuhan yang ada saat ini masih terbatas. Selama 2015 – 2018, sudah dibangun 120 fasilitas pelabuhan dan 18 rute konektivitas laut.

‘’Minat investor untuk membangun pelabuhan sebenarnya masih tinggi, namun beberapa investor mundur perlahan karena tidak ada kepastian hukum,’’ kata Tauhid. Investasi pelabuhan sifatnya jangka panjang, sehingga perlu komitmen jangka panjang juga untuk menciptakan iklim yang kondusif, tambahnya. (Chs/rilis)