Merevitalisasi Kolaborasi Penyair dan Perupa

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Beberapa waktu lalu Semesta’s Gallery menggelar acara bertajuk Sastra Semesta. Kegiatan tersebut digagas oleh seorang perupa/pelukis Ireng Halimun. Selain mengundang penyair untuk membacakan sajak/puisi karya mereka, dalam acara yang baru untuk pertama kalinya digelar di galeri tersebut, juga diundang para perupa/pelukis dan pembaca puisi.

Kolaborasi antara penyair dan perupa sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu terutama di Eropa dan Amerika khususnya Amerika Latin. Sehingga, apa yang digelar di Semesta’s Gallery tersebut, bukan sesuatu yang baru. Namun, karena kegiatan tersebut jarang dilaksanakan – atau tepatnya tidak pernah sama sekali ada yang menggagasnya – maka perhelatan bertajuk Sastra Semesta tersebut menjadi sangat menarik.

Bahkan, beberapa pekan sebelum Sastra Semesta dihelat, di mana Sanggar Garajas dalam merayakan HUT-nya yang ke-45 menggelar pameran bersama di Museum Seni dan Keramik Kota Tua Jakarta bertajuk Pameran Lukisan Puisi, ada banyak pengunjung yang baru “ngeh”; Bahwa lukisan puisi itu bukan huruf demi huruf yang tertera di sebuah judul puisi yang dilukis – melainkan puisi yang dijadikan bahan rujukan atau ide dan kemudian dituangkan oleh sang pelukis di atas pemukaan kanvas dengan berbagai ukuran.

Perlu diketahui bahwa penggagas acara tersebut – baik saat Sanggar Garajas merayakan HUT-nya yang ke-45 maupun gelaran Sastra Semesta yang berlangsung di Semesta’s Gallery beberapa waktu lalu- adalah Ireng Halimun, pelukis yang namanya juga tercatat sebagai anggota Sanggar Garajas yang dulu ber-homebase di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan yang kini lebih dikenal dengan sebutan Gelanggang Bulungan.

Tema yang Beragam

Upaya meng-”hidup”-kan kembali kalaborasi penyair dan perupa/pelukis patut diapresiasi siapa pun penggagasnya. Paling tidak agar di kemudian hari semakin banyak orang yang “ngeh” dengan lukisan puisi.

Kenapa? Karena, diakui atau tidak, apabila di kemudian hari semakin banyak pribadi lepas pribadi yang peduli, bukan tidak mungkin akan bermunculan pelukis-pelukis muda yang “tidak akan berhenti di tengah jalan gara-gara kehabisan ide”.

Dan, penulis menggarisbawahi pernyataan budayawan Radhar Panca Dahana, yang tampil sebagai pembicara dalam acara HUT Sanggar Garajas ke-45 beberapa waktu lalu di Museum Seni & Keramik Kota Tua, Jakarta. Radhar menyatakan bahwa kalaborasi antara penyair/penulis sajak/puisi dan perupa/pelukis akan melahirkan tema lukisan yang beragam dan tidak monoton!

Apa yang dikatakan budayawan pendiri Federasi Teater Indonesia terbukti benar, dan hal tersebut dapat dilihat saat perhelatan Sastra Semesta berlangsung.

Ketika beberapa pembaca puisi dan penyair yang hadir dalam acara tersebut membacakan puisi karya WS Rendra dan penyair itu sendiri membacakan karyanya yang berlangsung di dalam ruangan, sementara beberapa pelukis yang hadir yang berada di luar ruangan menggoreskan kuas berlumur cat dan menggoreskannya di permukaan kanvas; Terjadilah sebuah kalaborasi yang sangat intens, dan ketika perhelatan Sastra Semesta berakhir terciptalah sebuah lukisan yang sangat indah hasil karya Novandi, Alief, Ireng dan Andra Semesta – yang tak lain lain adalah putra pemilik Semesta’s Gallery: Ria Pasaman.

 

Multitafsir

Seperti diketahui, Andra Semesta, adalah pelukis muda bertalenta besar yang karya lukisnya hasil dari “kalaborasi” dengan para pemusik dan komponis ternama di dunia. Saat pelukis muda itu berkarya dia harus mendengarkan musik/lagu karya komponis ternama di dunia seperti misalnya The Bee Gees dan yang lainnya.

Bukan faktor kebetulan pula bahwa pada saat perhelatan Sastra Semesta berlangsung yang hadir tak hanya sebatas pada para pembaca puisi dan penyair, akan tetapi hadir juga pemain arkodeon, pelantun puisi dengan iringan gitarnya serta group musik Empang yang pada setiap penampilannya selalu membawakan lagu-lagu yang berasal dari puisi karya penyair ternama di Indonesia. Dengan demikian Andra Semesta pun ikut “performance” unjuk kebolehannya.

Terlepas dari masalah berkualitas atau tidak lukisan karya mereka, itu semua tergantung dari sudut pandang mana kita menilainya. Yang jelas, perhelatan bertajuk Sastra Semesta — sebagai sebuah upaya untuk merevitalisasi sesuatu yang pernah “hidup” pada satu setengah atau dua abad yang lalu — itu, membuat orang awam yang hadir berdecak kagum.

Sementara pelukis yang telah berusaha keras menafsir puisi yang dibacakan — baik oleh pembaca puisi yang piawai maupun oleh penyairnya sendiri — mengaku bahwa mereka hanya mendengarkan “diksi” dan “bunyi” yang di-”lantun”-kan oleh para pembaca dan tidak membacanya secara langsung.

“Yang pasti, apa yang saya dengarkan tadi, menurut saya, bersifat multi tafsir. Jadi, yaaa inilah penafsiran saya atas semua judul puisi yang tadi dibacakan, juga puisi yang dinyanyikan,” kata Alief, pelukis kelahiran Demak, Jawa Tengah pada 13 Maret 1976, yang kini tinggal di Depok, dan dari perhelatan Sastra Semesta berhasil membuat lukisan berjudul Manusia dan Semestaberukuran 85X120 cm2, Acrylic on Canvas. (Like Wuwus)