Jurnalis yang menyampaikan aspirasinya, pagi tadi, Kamis, 18 Januari 2018, tidak kurang 50 orang wartawan berkumpul di perempatan jalan Lambung Mangkurat Banjarmasin melakukan aksi damai dengan mengumpulkan tanda tangan dari masyarakat. Foto: wartaniaga.com

Meratus dan Ancaman Bencana Ekologi di Kalimantan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Bencana ekologi tengah mengancam masyarakat Suku Dayak di Pulau Kalimantan, sehubungan keluarnya izin pertambangan batubara di sumber resapan air Pegunungan Meratus yang sudah dideklarasikan menjadi Geopark atau Taman Bumi Meratus oleh Gubernur Kalimantan Selatan, Syabirin Nor, Minggu, 24 Februari 2019 di Kiram Park, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar.

Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Nomor 441.K/30/DJB/2017, tanggal 4 Desember 2017, tentang penyesuaian tahap kegiatan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara MCM jadi tahap operasi produksi atas nama PT Mantimin Coal Mining (MCM), mencakup tiga kabupaten , yakni, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Balangan dan Tabalong.

Sisi lain Pegunungan Meratus

Selama ini, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, satu-satunya daerah yang tak terdapat perizinan pertambangan maupun perkebunan sawit.

Luasan izin tambang batubara 1.398,78 hektar merupakan hutan sekunder, pemukiman 51,60 hektar, sawah 147,40 hektar, dan sungai 63,12 hektar, di hamparan Pegunungan Meratus. Di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, sendiri, PT. MCM menguasai lahan seluas 5.900 hektar.

Gugatan Ditolak

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.

Akan tetapi, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur memutuskan gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) soal izin pertambangan PT Mantimin Coal Mining (MCM), tak dapat diterima, atau niet ontvankelijke verklaard (NO), karena dinilai gugatan mengandung catat formil, Senin, 22 Oktober 2018.

Sebelum majelis hakim memutuskan perkara, pada Juli 2018, ada pemeriksaan lapangan. Sidang bergulir sejak 4 April 2018.

Demonstrasi besar-besaran penolakan dari segenap elemen masyarakat, tentang keberadaan perusahaan pertambangan batubara di sumber resapan air Pegunungan Meratus, kini, silih berganti.

Argumentasi masyarakat Suku Dayak, apabila ada sumber resapan air digali, maka ancaman bencana ekologi berupa banjir, pasti menimpa masyarakat sekitar yang mustahil mampu diantisipasi.

“Minimal kita akan pantau untuk melakukan langkah lebih lanjut. Ini jelas pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat, sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007,” kata Yulius Yohanes, Ketua Bidang Pelayanan Publik Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Rabu pag, 27 Nopember 2019.

Menurut Yulius Yohanes, MHADN, memiliki cara tersendiri di dalam melakukan advokasi. Di antaranya bisa saja membawa permasalahan kontroversi rencana penambangan batubara di wilayah tanah adat masyarakat adat Suku Dayak di Kalimantan Selatan di forum internasional.

Keindahan alam sungai di kawasan Pegunungan Meratus

Satu-satunya harapan masyarakat Suku Dayak untuk terbebas dari ancaman bencana ekologi adalah Gubernur Kalimantan Selatan, Syabirin Nor.

Karena sampai sekarang, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, mengklaim, lebih memahami aspirasi yang tumbuh dan berkembang, sehingga belum memikirkan mengeluarkan dokumen Analisa Dampak Lingkungan (Amdal), untuk syarat beroperasinya PT MCM.

“Saya akan turuti keinginan masyarakat. Karena itulah, saya memutuskan menjadikan kawasan Pegunungan Meratus sebagai areal konservasi, melalui mendaftarkan Geopark Meratus ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) ,” kata Syabirin Nor, Gubernur Kalimantan Selatan, Selasa, 30 Oktober 2019.

Geopark Meratus meliputi 36 geosite yang tersebar di 10 kabupaten/kota terbanyak berada di kawasan pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah.

Adapun geosite yang ditetapkan berupa hutan, gua, air terjun, danau, perbukitan, pegunungan karst, lembah, dan sebagainya. Termasuk kawasan pendulangan intan Cempaka Kota Banjarbaru.

Pengertian Geopark adalah sebuah kawasan yang memiliki unsur-unsur geologi di mana masyarakat setempat diajak berperan serta untuk melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam, termasuk nilai arkeologi, ekologi dan budaya yang ada di dalamnya.

Istilah Geopark merupakan singkatan dari “Geological Park” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Taman Geologi atau taman bumi.

Sisi lain keindahan alam sungai di Kawasa Pegunungan Meratus

Geopark oleh UNESCO dikembangkan dan difasilitasi dengan membentuk organisasi Global Geopark Network (GGN) pada tahun 2004 agar mampu menampung anggota lebih banyak lagi dari negara-negara yang ada di dunia.

Tahun 2004, UNESCO menyebutkan, “Geopark adalah sebuah kawasan yang memiliki unsur-unsur geologi terkemuka (outstanding) – termasuk nilai arkeologi, ekologi dan budaya yang ada di dalamnya – di mana masyarakat setempat diajak berperan-serta untuk melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam.”

Geopark dengan taman nasional memiliki bentuk pengelolaan yang hampir sama. Bedanya taman nasional melakukan konservasi dan bertanggung jawab untuk melakukan usaha-usaha untuk membuat program konservasi menjadi lancar.

Taman nasional melakukan konservasi dengan pemberdayaan masyarakat, terutama melakukan penguatan ekonomi agar tidak ada lagi perusakan hutan, perburuan liar, dan yang lainnya.

Sementara program geopark harus memiliki konsep dan salah satu syarat dalam pengelolaan harus ada konservasi dan pemberdayaan masyarakat.

Meratus merupakan kawasan pegunungan yang berada di tenggara Pulau Kalimantan serta membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua.

Pegunungan Meratus membentang sepanjang sekitar 600 kilometer dari arah baratdaya-timurlaut dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur.

Titik tertinggi di rangkaian Pegunungan Meratus adalah Gunung Halau-halau yang memiliki ketinggian 1.901 meter dari permukaan laut (Mdpl).

Secara geografis kawasan Pegunungan Meratus terletak di antara 115°38’00″ hingga 115°52’00″ Bujur Timur dan 2°28’00″ hingga 20°54’00″ Lintang Selatan.

Pegunungan Meratus menjadi bagian dari 8 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kabupaten Tabalang, Kabupaten Kota Baru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Banjanr dan Kabupaten Tapin.

Sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur mencangkup Kabupaten Paser, Kabupaten Paser Penajam Utara dan Kabupaten Kutai Barat bagian selatan. Sementara di Provinsi Kalimantan Tengah meliputi sebagian kecil Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Timur.

Pegunungan Meratus merupakan sebuah pegunungan ofiolit yang sejak Paleogen telah terletak di sebuah wilayah yang jauh dari tepi-tepi konvergensi lempeng.

Pegunungan Meratus mulai terangkat pada Miosen Akhir dan efektif membatasi Cekungan Barito di sebelah baratnya pada Plio-Pleistosen.

Titik tertinggi di rangkaian Pegunungan Meratus adalah Gunung Halau-halau atau Gunung Besar atau Gunung Meratus yang memiliki ketinggian 1.902 Meter dari permukaan laut (Mpdl) di perbatasan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan.

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Banjarmasin menyerukan aksi media sosial untuk menolak eksploitasi tambang di Pegunungan Meratus, di Banjarmasin, Minggu, 17 Maret 2019. Foto: kamminews.com

Gunung-gunung lainnya adalah Gunung Kahung (1.458 Mpdl), Gunung Walungan (1.184 Mpdl), Gunung Lima (1.245 Mpdl), Gunung Rorokoan (1.210 Mpdl), Gunung Huluwani (1.660 Mpdl), Gunung Banyutawar (1.560 Mpdl), Gunung Bibitanbainah (1.580 Mpdl), Gunung Sarempaka (1.210 Mpdl) dan Gunung Tindihan (1.200 Mpdl).

Sejumlah sungai yang berasal dari Pegunungan Meratus, di antaranya Sungai Riam Kanan (Sungai Martapura), Sungai Riam Kiri, Sungai Negara, Sungai Asamasam, Sungai Kintap, Sungai Satui, Sungai Sebanban, Sungai Kukusan, Sungai Batulicin, Sungai Cantung.

Kemudian, Sungai Sampanahan, Sungai Durian (Sungai Manunggu), Sungai Cengal, Sungai Pasir, Sungai Long Kali, Sungai Riko, Sungai Tapin dan Sungai Sepaku. Terdapat Waduk Riam Kanan di pegunungan di pegunungan ini yang menjadi waduk terbesar di Provinsi Kalimantan Selatan yang ada di Aranio, Banjar.

Kerak Samudera

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mendaftarkan Geoprak Pegunungan Meratus ke UNESCO sebagai salah satu upaya untuk melindungi Pegunungan Meratus dari perusakan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Ofiolit merupakan penggalan kerak samudera dan lapisan mantel atas di bawahnya yang telah terangkat atau terpindahkan dan tersingkap di bagian tepi kerak benua. Kata ofiolit berasal dari Bahasa Yunani ophios (ular) dan lithos (batu).

Istilah ofiolit pada awalnya digunakan oleh Alexandre Brongniart (1813) untuk menyebut susunan batuan hijau (serpentin dan diabas) di Pegunungan Alpen.

Steinmann (1927) mengubah penggunaan istilah ini sehingga mencakup serpentin, lava bantal, dan rijang (Trinitas Steinmann); sekali lagi berdasarkan pengamatan di Pegunungan Alpen (membentang dari Austria dan Slovenia di timur, melalui Italia, Swiss, Liechtenstein, dan Jerman, sampai Perancis di barat).

Istilah ini sangat jarang digunakan sampai sekitar akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Sejak saat itu ofiolit sudah dianggap sebagai kerak samudera yang merupakan hasil pemekaran lantai samudera.

Identifikasi ini berdasarkan pada dua penelitian penting: Pertama, pengamatan pita anomali magnetik pada lantai samudera, sejajar dengan sistem pemekaran samudera, yang menurut penafsiran Vine dan Matthews (1963) mewakili pembentukan kerak baru pada pematang samudera dan dan kerak lama yang bergerak menjauhi pematang itu.

Kedua, pengamatan atas kompleks dike berlapis pada Ofiolit Troodos di Cyprus oleh Gass dan kawan-kawan (1968), yang haruslah dibentuk oleh 100 % terobosan magma baru, karena tidak ada batuan dinding yang lebih tua terawetkan di dalam kompleks tersebut.

Moores dan Vine (1971) menyimpulkan bahwa kompleks dike berlapis di Troodos hanya dapat terbentuk oleh proses yang sama dengan pemekaran kerak samudera sebagaimana diusulkan oleh Vine dan Matthews (1963).

Cekungan Samudera

Nilai penting ofiolit berhubungan dengan keterdapatannya di dalam sabuk pegunungan seperti Alpen atau Himalaya, dimana ofiolit tersebut mendokumentasikan pernah adanya cekungan samudera yang sekarang telah dimakan oleh proses penunjaman (subduksi).

Pandangan ini merupakan salah satu pembangun dasar Teori Tektonik Lempeng, dan ofiolit selalu memainkan peran penting dalam teori tersebut.

Ofiolit dapat terbentuk sebagai “nappe” (intact thrust sheet) atau sebagai melange (campuranfragmen tektonik). Pada tumbukan sabuk orogenik, ofiolit umumnya berada dibawah kerak benua tua.

Pada Sirkum Pasifik Sabuk Orogenik, ofiolit umumnya berada dibawah kompleks akresi muda. Misalnya, kompleks akresi “Jurassic Tamba” yang ditindih oleh “Late Paleozoic Yakuno Ophiolites”, yang pada gilirannya digantikan oleh “Early Paleozoic Oeyama Ophiolites” serta Ofiolit muda “Mikabu dan Setogawa-Mineoka Ophiolites” mendasari kompleks akresi Jurassik di daerah pesisir Pasifik.

Selain terbentuk pada “mid-oceanic ridges”, ofiolit juga dapat terbentuk pada zona “supra-subduksi” yaitu pada busur kepulauan dan cekungan marginal. Ofiolit yang terbentuk pada kedua zona ini biasa disebut sebai “Ofiolit MOR” dan “Ofiolit SSZ”.

Macam-macam jenis ofiolit diidentifikasi berdasarkan komposisi kimia dari batuan dan mineralnya. Mantel peridotit adalah residu refraktori setelah terjadi ekstraksi basaltik yang mencair melalui proses pelelehan parsial dalam mantel.

Akumulasi Ofiolit kebanyakan menunjukkan variasi sistematis dalam urutan kristalisasi mineral yang sesuai dengan keragaman batuan dari mantel peridotit yang mendasarinya.

Contohnya dari kristalisasi mineral olivin, selanjutnya dari plagioklas melalui klinopiroksen ke ortopiroksen yang dapat diartikan bahwa telah terjadi peningkatan derajat pelelehan.

Provinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 kilometer persegi dengan populasi hampir 3,7 juta jiwa, tersebar di 11 kabupaten dan 2 kota. (Aju)