JAKARTA (Independensi.com)
Pemerintah dalam waktu dekat akan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan kepada para wakil rakyat di DPR RI.
Kedua RUU Omnibus Law ini disiapkan pemerintah guna memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia. khususnya menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Namun langkah pemerintah itu mendapat sorotan sejumlah pihak termasuk dari praktisi dan akademisi hukum Suhardi Somomoeljono saat berbincang-bincang dengan Independensi.com, Senin (30/12/2019)
Menurut Suhardi idealnya ada kajian akademis sebelum RUU Omnibus Law dibuat yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan menggambarkan UU yang sudah ada memang sudah tidak layak digunakan untuk percepatan pembangunan nasional khususnya dalam bidang ekonomi.
“Dari kajian akademis itulah kemudian kebijakan dalam mempersiapkan RUU Omnibus Law dilaksanakan eksekutif,” ucap Suhardi.
Dia menegaskan kebijakan atas RUU Omnibus Law tidak akan banyak bermanfaat jika tidak dilandasi kajian akademis yang benar-benar akurat dan dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan teorisasi ilmiah.
“Setidaknya mengacu kepada teori dan konsep statistik sosial dengan memanfaatkan metode baik yang bersifat kwantifikasi maupun kwalifikasi,” kata Dosen
Pasca Sarjana Universitas Matla’ul Anwar, Banten ini.
Disebutkannya juga pihak eksekutif jangan sampai terjebak dengan metode yang bersifat pragmatisme sehingga kehilangan standarisasi yang bersifat ilmiah.
“Jangan sampai terulang lagi pemerintah impor beras besar-besaran dari luar negeri pada akhirnya sampai di dalam negeri nyaris karena faktor-faktor bersifat pragmatisme akhirnya beras membusuk dan dibuang yang menimbulkan kerugian keuangan negara ratusan miliar,” tuturnya.
Dia pun menyebutkan terkait arah kebijakan politik hukum pemerintah terhadap RUU Omnibus Law maka yang jadi pertanyaan mendasarinya adalah bukankah selama ini kebijakan legislasi nasional sudah lebih memihak kepada pemilik modal.
Dia mencontohkan misalnya pemberian ribuan bahkan jutaan hektar tanah Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh Pemerintah kepada para pemilik modal.
“Baik untuk perusahaan dalam negeri maupun perusahaan asing,” kata mantan Ketua Umum DPP Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) ini.
Dikatakannya juga bukankah pemerintah lebih memilih memberikan kemudahan kepada pengusaha pemilik modal dibandingkan pemihakan kepada rakyat yang dalam banyak kasus telah kehilangan lahan untuk mata pencaharian sehari-hari demi HGU dan HPH.
“Dari contoh itu apakah RUU Omnibus Law dalam politik hukumnya lebih memilih atau berpihak kepada pengusaha atau rakyat atau kedua-duanya akan lebih diuntungkan,” ucap Suhardi.
Oleh karena itu, tuturnya RUU Omnibus Law secara politik hukum idealnya harus ditentukan terlebih dahulu tujuan pembangunan yang hendak dicapai oleh pemerintah.
“Mengingat kehadiran Undang-Undang Omnibus Law tidak boleh juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat,” katanya.
Disebutkan Suhardi dari hipotesisnya jika RUU Omnibus Law disetujui DPR dan jadi UU kemudian dilaksanakan maka pemerintah justru sebaliknya kesulitan dalam mengejar perkembangan ekonomi nasional.
“Itu terjadi jika kajian akademis terhadap RUU Omnibus Law tidak dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah akademis yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan ekononi nasional,” ucapnya.
Sebaliknya hipotetisisnya tidak demikian jika kajian akademis sebelumnya dilakukan secara proporsional berdasarkan kaidah-kaidah akademik.
“Semoga Presiden Jokowi melalui pembantu-pembantunya benar-benar secara sungguh-sungguh telah berani dan siap mempertanggung jawabkan kepada rakyat Indonesia dengan segala kemungkinan yang terjadi atas diberlakukannya UU Omnibus Law,” ucap advokat senior ini.(muj)