JAKARTA (Independensi.com) – The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) atau The Institut Analisis Kebijakan Konflik, memperingatkan Pemerintah Republik Indonesia, untuk mewaspadai jaringan The Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) yang memiliki hubungan dengan jaringan teroris Afganistan di wilayah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Hal itu terungkap dalam rilis IPAC berjudul: “Learning From Extremists in West Sumatra” atau “Belajar Dari Ekstremis di Sumatra Barat”, Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.
Pemerintah Republik Indonesia, mesti memahami atau mewaspadai, bagaimana kelompok studi lingkungan di Indonesia berubah menjadi sel pro-ISIS dengan tautan ke Afghanistan dapat menawarkan petunjuk tentang strategi yang efektif untuk melawan ekstremisme.
Direktur IPAC, Sydney Jones, menyebutkan, pihaknya telah meneliti bagaimana dua kelompok di kota Padang dan Bukittinggi memperluas jaringan mereka selama satu dekade melalui jaringan perdagangan dan migrasi, paparan langsung ke ulama radikal, dan proses melarikan diri ke daerah baru untuk menghindari polisi.
“Studi di Sumatera Barat mempertanyakan kebijaksanaan pendekatan Pemerintah Indonesia dalam memperlakukan radikalisme sebagai masalah kurangnya nasionalisme, dapat disembuhkan dengan indoktrinasi dalam ideologi negara, Pancasila,” kata Sidney Jones, Direktur IPAC.
“Masalahnya di sini lebih konkret: sebuah masjid yang menjadi tempat diskusi ekstrimis selama lebih dari satu dekade tanpa perhatian dari otoritas lokal dan orang-orang yang dideportasi dari Turki yang kembali ke rumah tanpa pengawasan yang memadai.”
Laporan ini melacak bagaimana kedua kelompok berevolusi secara berbeda dari asal yang sama. Keduanya bermula sebagai cabang dari kelompok advokasi pro-syari’ah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Keduanya, menurut Sydney Jones, memiliki anggota yang pindah ke Jakarta untuk melakukan bisnis di pasar kain terbesar di Asia Tenggara di Tanah Abang, Jakarta, di mana mereka berhubungan dengan ulama terkemuka hari itu dan mengundang mereka kembali ke Sumatra.
Namun, para pemimpin individu mengarahkan kelompok-kelompok itu ke arah yang berbeda, dan perselisihan sering terjadi, yang mengakibatkan keretakan. Kelompok Padang ingin melakukan serangan, kelompok Bukittnggi kurang tertarik pada kekerasan di rumah.
Seorang pria di Bukittinggi memiliki kontak di al-Qaeda, jadi meskipun anggota ingin bergabung dengan ISIS, mereka menemukan diri mereka di Idlib, Suriah dengan Front al-Nusra. Seorang lelaki Padang pada tahun 2017 menjadi penghubung ISIS di Khorasan, “provinsi” ISIS di Afghanistan, mendorong orang Indonesia lainnya untuk bergabung dengannya.
Orang yang dideportasi memainkan peran utama dalam cerita ini. Sebuah rumah perlindungan di Turki untuk orang Indonesia yang menunggu untuk menyeberang ke Suriah menjadi simpul penting yang menghubungkan Sumatra Barat ke lingkaran yang lebih luas dari para ekstremis.
“Program rehabilitasi, reintegrasi dan pemantauan yang efektif untuk orang yang dideportasi, sekarang berjumlah lebih dari 550, masih kurang di Indonesia,” kata Jones.
“Mengetahui bagaimana orang-orang yang dideportasi telah bernasib kurang baik, bahkan beberapa tahun setelah kepulangan, mereka dapat membantu dalam pengembangan program-program untuk para migran yang kembali di masa depan,” tambah Sydney Jones. (Aju)