Sel Teroris ISIS Terus Bermunculan di Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), mengklaim, dukungan untuk The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menurun di antara ekstremis Indonesia, dan Jemaah Ansharul Daulah (JAD), yang pernah menjadi kelompok pro-ISIS terbesar di negara itu, sebagian besar menjadi tidak aktif.

Kendati demikian, media sosial memiliki kontribusi menumbuhkan sel-sel baru teroris ISIS di Indonesia yang siap melakukan aksinya, apabila aparat keamanan lengah. Sel-sel baru teroris ISIS di Indonesia, merupakan sel tidur, dan langsung bergerak jika situasinya kondusif. Mereka bisa muncul dalam bentuk sel teroris baru.

“Mereka sudah sangat sulit bergerak, ketika Pemerintahan Presiden Indonesia, Joko Widodo, melakukan langkah terpadu melalui produk hukum yang mengikat di dalam penanganan radikalisme, intolerans, ekstrimisme dan terorisme,” kata Sidney Jones, Director of the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Minggu malam, 24 Januari 2021.

Payung hukum adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai payung hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena ingin mengganti ideology Pancasila dengan paham khilafah, dimana kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Kemudian terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dimana diatur secara lebih tegas, Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Menteri/Pejabat Tinggi Negara, Rabu, 30 Desember 2020 , berupa larangan berbagai bentuk aktifitas Front Pembela Islam (FPI) dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021, tanggal 6 Januari 2021, tentang: Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme, 2021 – 2024, membuat ruang gerak teroris di Indonesia, semakin sempit sehingga dukungan kepada ISIS otomatis menurun drastic.

“Pada saat yang sama, proses pengelompokan kembali dan pemisahan menghasilkan sel-sel baru, dan beberapa orang Indonesia percaya bahwa sumpah setia mereka kepada para pemimpin ISIS mengharuskan mereka untuk terus berjuang dengan cara apa pun yang mereka bisa,” ujar Sidney Jones.

Gambaran keseluruhannya adalah tentang ancaman yang dapat dikelola, bahkan saat kemunculan kelompok-kelompok kecil yang tidak terlatih dengan niat untuk melakukan kejahatan tidak akan berakhir.

“Tidak ada kelompok ekstremis yang beroperasi di Indonesia saat ini yang memberikan ancaman serius bagi stabilitas Indonesia atau yang berada di luar kemampuan polisi untuk mengelolanya,” kata Sidney Jones, Director of the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).

The Decline of ISIS in Indonesia and the Emergence of New Cells, Penurunan ISIS di Indonesia dan Munculnya Sel Baru”, laporan terbaru dari pemeriksaan status organisasi besar pro-ISIS di Indonesia dan beberapa organisasi kecil lainnya untuk memahami dinamika yang telah melemahkan mereka dan menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakpuasan.

Penangkapan banyak pemimpin top pro-ISIS (mencantumkan lebih dari 70) telah menyebabkan gangguan dalam jajaran dan perasaan di antara beberapa anggota bahwa biaya keterlibatan terlalu tinggi.

“Kesulitan untuk mencapai Suriah atau drama jihad lainnya telah menghilangkan daya tarik ISIS yang kuat. Dalam beberapa kasus di mana para pemimpin ekstremis utama telah diyakinkan untuk melepaskan diri, anggota biasa mengikuti,” ujar Sidney Jones.

Namun, sel-sel baru terus bermunculan, termasuk beberapa yang terbentuk melalui media sosial dan di daerah yang tidak memiliki sejarah kekerasan ekstremis.

Sebagian besar lemah, dalam arti hanya memiliki sedikit keterampilan, sumber daya atau strategi, tetapi kelemahan tidak pernah menjadi pencegah kekerasan di Indonesia. Banyak teroris mencamkan pepatah, “Lebih baik menjadi singa sehari dari pada domba seumur hidup.”

Laporan tersebut mencatat bahwa banyak kelompok pro-ISIS muncul dari kelompok ekstremis yang ada yang berkomitmen untuk menjadi Negara Islam di Indonesia. Bahkan jika beberapa orang kembali ke fokus sebelum ISIS, mungkin dengan ideologi yang lebih keras dan visi negara yang dibentuk oleh propaganda ISIS.

Pintu putar penjara di Indonesia tetap menjadi perhatian, dengan sekitar 250 narapidana pelaku terorisme dijadwalkan dibebaskan pada tahun 2021. Banyak yang ditangkap dalam “serangan pencegahan” menyusul penerapan undang-undang anti-terorisme yang diperkuat pada tahun 2018.

“Sementara kapasitas pengawasan dan pemantauan polisi telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, bahaya tetap bahwa beberapa dari mereka yang dirilis akan kembali ke jaringan lama mereka,” ujar Sidney Jones.

Dikatakan Sidney Jones, laporan tersebut diakhiri dengan sepuluh rekomendasi kebijakan konkrit bagi pemerintah Indonesia, mulai dari perhatian yang lebih besar pada sekolah hafalan Al-Qur’an untuk anak-anak di daerah ekstremis yang dikenal hingga mengubah struktur insentif di kepolisian untuk menghargai upaya pelepasan yang berhasil.(aju)