Istana Negara Federasi Malaysia

Malaysia Bantah Kudeta Raja

Loading

PETRA JAYA (Independensi.com) – Istana Negara Federasi Malaysia, membantah keterlibatan Raja Malaysia Yang di-Pertuan Agong Sultan Abdullah yang terlalu jauh dalam pemilihan Perdana Menteri Federasi Malaysia yang diilustrasikan sebuah kudeta seorang raja, sebagaimana dilansir Harian The Guardin, London, Inggris, 3 Maret 2020.

Raja Malaysia Yang di-Pertuan Agong Sultan Abdullah memilih mantan Menteri Dalam Negeri, Muhyiddin Yassin, sebagai Perdana Menteri yang baru, menggantikan Mahathir Mohammad yang mundur terhitung Senin, 24 Februari 2020, karena ada konfliik dengan sesama koalisi, Anwar Ibrahim.

Keputusan ini cukup mengejutkan karena sebelumnya Mahathir yang mendapat dukungan oleh mayoritas anggota parlemen Dewan Rakyat, meskipun keputusan terakhir ada di tangan Raja, bukan di legislator.

Dalam pernyataannya, Istana Negara mengungkap, Muhyiddin Yasin, dilantik sebagai Perdana Menteri Malaysia kedelapan, Minggu, 1 Maret 2020, pukul 10.30 waktu setempat.

Istana mengumumkan hal ini setelah Raja menerima perwakilan dari dua pihak pada Sabtu pagi hingga siang, 29 Februari 2020, yakni pendukung Mahathir dan Muhyiddin.

Pengawas keuangan Rumah Tangga Kerajaan Istana Negara, Datuk Ahmad Fadil Shamsuddin, sebagaimana dikutip Kantor Berita Nasional Bernama, Minggu, 8 Maret 2020, mengatakan, Istana Negara pertama-tama dan terutama berterima kasih kepada warga Malaysia baik di Malaysia maupun di luar negeri atas tanggapan cepat terhadap artikel tersebut.

Ahmad Fadil mengatakan dukungan kuat dan tegas yang diberikan oleh semua orang Malaysia akan mendorong Istana Negara untuk bekerja lebih keras dalam melaksanakan tugasnya, konsisten dengan ketentuan Konstitusi Federal.

“Sebagai Pengawas Keuangan Rumah Tangga Kerajaan Istana Negara, saya terkejut dengan tingkat ketidaktepatan dan nada menyesatkan dari editorial ini oleh outlet media terkenal yang berbasis di Inggris, terutama mengingat fakta bahwa subjek, Demokrasi Parlemen Malaysia didasarkan pada sistem Westminster.”

“Editorial menyajikan laporan yang menyimpang dari proses dimana Yang Mulia Yang di-Pertuan Agong dari Malaysia menunjuk Perdana Menteri baru,” kata Ahmad Fadil.

Demi menjelaskan ketidakakuratan yang jelas ini, Ahmad Fadil mengatakan ia ingin menunjukkan yang berikut. Bahwa Yang Mulia Yang di-Pertuan Agong terikat dengan Pasal 43 Konstitusi Federal Malaysia untuk memilih dan menunjuk seorang Perdana Menteri setelah pengunduran diri Perdana Menteri dan Kabinetnya.

Karena itu, ketika Perdana Menteri saat itu, Tun Dr Mahathir Mohamad memberi tahu Yang Mulia pada sore hari tanggal 24 Februari 2020 bahwa ia tidak lagi menikmati kepercayaan mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan mengajukan pengunduran dirinya, Yang Mulia diwajibkan oleh Pasal 40 (2) (a) Konstitusi Federal Malaysia untuk melaksanakan kebijaksanaannya dalam menunjuk Perdana Menteri.

Yang Mulia juga diwajibkan oleh Pasal 43 (2) (a) Konstitusi Federal untuk menunjuk Perdana Menteri sebagai anggota DPR yang dalam penilaiannya cenderung memerintahkan kepercayaan mayoritas anggota Dewan tersebut.

“Jelas, Istana Negara melampaui kewajibannya dengan menemui semua Anggota Dewan yang terhormat dan para pemimpin berbagai partai politik, sebelum Yang Mulia tiba pada kesimpulan apa pun.”

“Jelas, Yang Mulia memberi perhatian besar pada masalah yang serius ini,” kata Ahmad Fadil.

Ahmad Fadil menambahkan bahwa hanya setelah proses konsultasi yang ketat dan terbuka ini, sepenuhnya sesuai dengan Konstitusi Federal, Yang Mulia melaksanakan kebijaksanaannya di bawah Konstitusi Federal untuk menunjuk Perdana Menteri baru.

Oleh karena itu, Ahmad Fadil, menggarisbawahi bahwa proses ini tidak dapat dianggap sebagai “kudeta kerajaan” sebagaimana dipertanyakan oleh Guardian, menambahkan bahwa harian tersebut menggunakan miring yang sangat partisan dalam editorialnya.

Istana Negara juga menyampaikan rasa terima kasih dan terima kasihnya kepada Wisma Putra (Kementerian Luar Negeri Malaysia) dan Komisi Tinggi Malaysia di London atas tanggapan cepat mereka atas bantahan terhadap The Guardian.

“Saya juga bangga dengan inisiatif luar biasa yang diambil oleh orang Malaysia dari semua ras dan afiliasi politik, termasuk politisi senior dan Anggota Parlemen, yang menanggapi langsung The Guardian. Tindakan individu ini merupakan ekspresi kemarahan publik atas ketidakakuratan dan niat jahat dari artikel.”

“Karena itu kami berharap bahwa The Guardian, dan outlet media terkemuka lainnya akan lebih berhati-hati dalam editorial mereka, dengan fokus terutama pada fakta dan objektivitas,” kata Ahmad Fadil.

Pergantian seorang Perdana Menteri baru kali ini di Malaysia, tanpa melalui sebuah Pemilihan Umum (Pemilu).

Dalam Pemilu 2018, Mahathir Mohammad yang berkoalisi dengan tokoh oposisi Anwar Ibrahim, berhasil mengalahkan Perdana Menteri Najib Tun Razak dari Untied Malay Nation Organziation (UMNO), sebuah partai politik yang berkuasa selama 60 tahun.

Ketika itu, Mahathir Mohammad bertekad menumbangkan UMNO, karena dinilai dipimpin Perdana Menteri Datuk Najib Tun Razak, sebuah rezim pemerintahan yang korup, dan berjanji akan menyerahkan kekuasaan kepada Anwar Ibrahim, setelah menjabat paling lama selama dua tahun.

Belakangan Anwar Ibrahim terus menuntut janji Mahathir Mohammad untuk mundur, sehingga mengguncangkan pemerintahan yang baru dua tahun berkuasa. Dampaknya Mahathir memilih mundur, untuk membentuk pemerintahan baru, dengan menutup peluang kembali berkoalisi dengan Anwar Ibrahim.

Di tengah-tengah harapan Mahathir Mohammad ingin berkuasa lagi, dengan dukungan anggota parlemen (tanpa Anwar Ibrahim), ternyata Raja Malaysia memilih Muhyidin Yasin menjadi Perdana Menteri, demi meredam terus memanasnya situasi politik di Malaysia.

Mahathir Mohammad mengilustrasikan pemilihan Muhyidin Yasin sebagai Perdana Menteri Malaysia, sangat tidak tepat, karena mantan Menteri Dalam Negeri, itu, dicap sebagai figur politisi pengkhianat.

Para analis menilai, merosotnya dukungan luar negeri, menjadi salahs atu penyebab ambruknya pemerintahan Mahathir Mohammad, sehingga membuat situasi perekonomian di dalam negeri bergerak stagnan.

Bahkan pada 14 Januri 2020, India, menyetop impor minyak mentah kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 4,4 juta ton tiap tahun dari Malaysia, setelah tanpa dilengkapi data dan dokumen lengkap, Mahathir Mohammad secara terbuka mengecam berbagai tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas Islam di Khasmir, India.

Berbagai spekulasi lain muncul di balik tumbangnya UMNO dalam Pemilu di Malaysia tahun 2018, karena kembalinya Mahathir berkuasa, disebut-sebut membuka peluang semakin menggeliatnya kelompok radikal di Malaysia.

Akan tetapi, dibandingkan Mahathir Mohammad, orang di sekitar Anwar Ibrahim, dinilai lebih konservatif, sehingga demi Federasi Malaysia yang terbuka dan modern, Raja Malaysia, memilih Muhyidin Yasin menjadi Perdana Menteri Malaysia, tanpa melewati proses Pemilu. (Aju)