Didi Kempot (Foto: Dokumentasi)

Mengenang Didi Kempot

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Selasa 5 Mei 2020 bisa dikatakan sebagai hari “ambyar nasional”  bagi para penggemar Didi Kempot yang dikenal sebagai komunitas #sobatambyar.

Diakui atau tidak, sepanjang sejarah dunia seni musik (hiburan) di Indonesia baru kali ini ada seorang penyanyi sekaligus pencipta lagu campursari yang mampu menembus tertorial dan kultural.

Fenomena tersebut hadir berkat adanya perkembangan teknologi utamanya teknologi informasi yang sangat pesat yang membuat segala sesustu yang bersifat lokal akhirnya menjadi meng-global.

Namun, terlepas dari masalah ada atau tidak dukungan tersebut, yang jelas ketika di negerinya sendiri kehadiran Didi Kempot hanya dipandang sebelah mata – karena Didi Kempot sangat konsisten dengan kultur Jawa yang membesarkannya – kehadiran Dinosius Prasetyo (lahir 31 Desember 1966 di Solo) di luar negeri khususnya di Suriname justru sangat ditunggu-tunggu.

Hal tersebut dibuktikan bahwa selain diakui keberadaannya sebagai “representatif” wong Jowo yang dengan ke-”Jawa”-annya menjadi kondhang kaonang-onang (terkenal dan berhasil menembus lintas batas teritorial dan kultural), Didi Kempot juga sempat membuat album di koloni Prancis tersebut.

Konsistensinya terhadap budaya Jawa yang membesarkannya memang dapat dikatakan sebagai sebuah keuntungan tersendiri bagi Didi Kempot sehingga dia selalu ditunggu-tunggu kehadirannya di Suriname.

Ke-”untung”-an itu adalah kemampuan Didi Kempot dalam membangun komunikasi interaktif menggunakan bahasa Jawa – kromo hinggil (bahasa Jawa halus) dan ngoko (bahasa Jawa sehari-hari yang “egaliter”) saat dia tampil di panggung. Sehingga suasana nostalgik merasuk ke dalam hati sanubari kaum “ urban” (yang memiliki sejarah kelam kenapa akhirnya mereka sampai ke Suriname) dari Tanah Jawa dan telah beranak-pinak serta cucu dan cicit di koloni Prancis tersebut.

Menurut pengamat Seni Filsafat dan Dosen Universitas Al Azhar Indonesia, Dr Tb Djodi Antawidjaja SEAk, MM, MHum, CA, Didi Kempot – The Godfather of Broken Heart adalah tokoh fenomenal yang agak beda perannya dengan Ayah dan Kakaknya.

Sang Ayah, almarhum Ranto Edi Gudel dan sang kakak, almarhum Mamiek Prakoso ditakdirkan sebagai penghibur masyarakat lewat lawakan  Srimulat.

Sedangkan Didi Kempot, yang semula hanya musisi jalanan – pengamen trotoar di Solo dan berkawan dengan rakyat kecil yang semula hanya agar ingin bisa makan, tak pernah bermimpi menjadi besar.

“Tapi, justru dengan latar belakang karier dari jalanan itulah yang membuat sang maestro tumbuh mengakar dari rakyat bawah.”

“Karena pada moment dan waktu yang tepat .. saat jiwa masyarakat terutama kaum muda millenial haus akan simbol-simbol pelampiasan kesedihan .. dan kebetulan lagu-lagu Didi Kempot lirik dan arransemennya yang pas mengena di hati. Saat itulah massa makin terpenuhi kebutuhannya,” kata Djodi — panggilan akrabnya — yang di masa mudanya dikenal sebagai pemain sekaligus sutrada teater yang andal.

Djodi Antawidjaja

Djodi menegaskan, itulah sebabnya berita kematian Didi Kempot pada Selasa, 5 Mei 2020 pukul 07.30 WIB – sangat mengagetkan masyarakat “gila dalam sedih” dari para #sobatambyar. “Massa yang mendekat ke rumah sakit, anak muda yang menunggu di Jalan Solo – Ngawi menangis sesenggukan,” kata Djodi.

Dan, kesedihan massal di zaman susah serta sedih seperti sekarang ini – saat di mana masyarakat sedang dicekam ketakutan dan frustrasi dari ancaman Covid 19; Fenomena kesedihan massal anak muda #sobatambyar tersebut seakan tak peduli dengan “ancaman” Covid 19 untuk menyatakan kesedihan mereka terhadap tokoh kesayangannya.

Menjawab pertanyaan lagu apa yang paling disukai, Djodi segera menyahut: “Pamer Bojo.”

Lebih jauh Pengamat Filsafat Seni dan Dosen di Universitas Al Azhar Indonesia tersebut mengungkapkan bahwa kelebihan lagu-lagu ciptaan dan sekaligus dinyanyikan Didi Kempot justru kontradiksi antara lirik dan arransemennya. “Lirik yang ironis, satire, sedih dan menyentuh kemudian dilanjutkan alunan yang seakan ‘masa bodoh’ yang mengalun enak untuk menghentakkan kaki dan jadi ‘orang gila’ untuk bergoyang.

“Itulah kelebihan lagu Didi Kempot yang menjadi kenangan sepanjang zaman dan menjadi siulan orang di jalan-jalan,” kata Djodi.

Tidak “Jaim”

Proses perjalanan hidup Didi Kempot memang berliku dan mengundang simpati dan haru.

Dan, terlepas dari keberhasilannya di dunia panggung hiburan di kemudian hari, yang jelas Didi Kempot tidak ingin menjadi bayang-bayang almarhum Ayah (Ranto Gudel) dan Kakaknya (Mamiek Prakoso) yang dikenal sebagai pelawak andal.

Menyadari betul tentang siapa dirinya, sehingga membuat orang yang mengenal dan pernah kerja bersama Didi Kempot, mengungkapkan bahwa Didi Kempot orangnya sangat rendah hati.

“Mas Didi Kempot orangnya tidak ‘jaim’ sebagaimana umumnya pribadi artis terkenal lainnya di negeri ini,” kata Rik A Sakri yang berprofesi sebagai Penata Artistik, Sutradara Film dan Teater, yang pernah menyutradarai Didi Kempot dalam FTV bergenre komedi.

Rik A Sakri

Dalam film teve yang disutradari Rik A Sakri, Didi Kempot sebagai Bintang Tamu. “Bukan pemeran utama, dan jauh-jauh datang dari Solo … begitu pesawat yang ditumpanginya mendarat di Bandara Soekarno Hatta, bersama temannya, mas Didi langsung naik taxi menuju lokasi di sebuah perkampungan kaum urban di sebuah gang di kawasan Senen – Jakarta Pusat,” Rik A Sakri bertutur.

Dan, begitu sampai di lokasi shooting, kata Rik lebih jauh, mas Didi Kempot bilang terus terang kalau dia baru untuk pertama kalinya dilibatkan dalam produksi film teve. “Saya mau diapakan saja sama mas Rik, saya pasrah bongkokan,” kata Rik menirukan ucapan Didi Kempot.

Kemudian, setelah briefing, pengambilan gambar pun dimulai. Sadar kalau memaksakan kehendaknya pengambilan gambar tidak akan berjalan lancar seperti yang diharapkan, Rik A Sakri, sebagai sutradara mengambil keputusan agar Didi Kempot tidak perlu menghafal skenario, “Tapi, saya mempersilakan mas Didi berimprovisasi saja. Yang penting adegan komedi yang dituntut di skenario terpenuhi dan tercapai kelucuannya,” kenang Rik A Sakri. “Ternyata hasilnya jauh lebih bagus mas Didi bermain tanpa skenario, karena dia lebih memiliki kebebesan untuk mengeksplor karakter tokoh yang diperankannya,” tambah Rik, menegaskan.

Ide untuk memberi kesempatan kepada Didi Kempot ber-acting tanpa skenario, karena Rik A Sakri tahu bahwa ayah (Ranto Gudel) dan kakaknya (Mamiek Prakoso) Didi Kempot adalah pelawak andal. “Dan, nggak mungkin mas Didi nggak bisa berimprovisasi … Ternyata saya tidak keliru,” sela Rik A Sakri. “Meskipun begitu saya — sebagai sutradara — tentu saja harus mengontrol permainan mas Didi agar tidak ngombro-ombro bebas tanpa kendali,” tambah Rik menegaskan.

Stasiun Balapan

Sutradara serba bisa asli Cirebon yang bertempat tinggal di Jalan Kangkung – Kebayoran Lama, Jakarta Selatan ini mengaku tidak hafal semua lagu campursari yang didendangkan Didi Kempot.

Tapi, seperti halnya publik yang kehilangan dengan meninggalnya Didi Kempot pada Selasa 05/05/2020 lalu, Rik A Sakri mengaku bahwa dia suka dengan lagu berjudul Stasiun Balapan dan lagu yang hit di komunitas #sobatambyar.

Seperti diketahui film teve bergenre komedi yang disutradarai Rik A Sakri tersebut berada di bawah pengawasan dari Arswendo Atmowiloto sebagai produser. “Film tivi tersebut disiarkan setiap hari  Minggu di Trans … FTV tersebut kejar tayang sehingga selain saya ada juga Greg adik mas Arswendo yang menyutradarai film tivi bergenre komedi tersebut. Karena itulah maka saya tidak pernah menjalin komunikasi dengan mas Didi Kempot,” ujar Rik A Sakri.

Menjawab pertanyaan, apakah sejak menyutradari Didi Kempot – Rik A Sakri sering menjalin komunikasi dengan Dinosius Prasetyo yang lahir di Solo pada 31 Desember 1966 tersebut, “Terus terang hingga tiba akhir hayatnya, saya tidak pernah berkomunikasi dengan mendiang mas Didi Kempot,” tukas Rik A Sakri. “Meskipun begitu, kenangan menyutradarai orang terkenal yang baru pertama kali membintangi FTV sebagai bintang tamu, tidak akan pernah terhapus dalam ingatan saya, Mas,” kata sutradara yang low profile ini kepada IndependensI.com.

Apa Adanya

Popularitas Didi Kempot, selain tidak bisa dilepaskan dari era di mana hampir tiga perempat warga negeri ini memiliki sarana untuk selalu meng up date segala bentuk informasi (dari yang dapat dipertanggungjawabkan fakta dan datanya hinga yang hoax sekalipun menjadi “makanan” sehari-hari) juga berkat kemampuan mengekpresikan kebahagiaan sekaligus penderitaan masyarakat ke dalam bentuk lagu yang syairnya sederhana tidak nlimet dan mudah dicerna dan dipahami.

“Bagi saya Didi Kempot adalah salah satu dari seniman dan budayawan yang opo anane (apa adanya). Tetapi justru dari opo anane yang jadi pilihan syair lagunya itulah yang menjadi penguat bahasa Jawa itu lekat dengan kepribadian bangsa Indonesia meski tidak hanya Jawa,” kata Na Dhien — seorang panggurit atau penyair yang menulis puisi (dalam bahasa Indonesia) atau geguritan (dalam bahasa Jawa).

Na Dhien

“Didi Kempot bicara prasajaning urip itu tidak perlu muluk-muluk. Di sanalah opo anane itu menjadi lebih jero maknanya. Oleh karena itulah maka syair lagu yang diciptakan dan sekaligus dinyanyikan sendiri oleh Didi Kempot mewakili seluruh rasa kita tanpa menggurui semua kalangan. Tanpa kecuali,” tegas Jeng Na Dhien.

Panggurit yang sering tampil sebagai pembicara dalam diskusi dan seminar yang berhubungan dengan sastra Jawa di berbagai kota di Indonesia tersebut, sebagai orang Jawa mengaku sangat bangga dengan Didi Kempot — meski yang lebih dulu mengapresiasinya justru orang Jawa dengan para keturunannya yang ada di Suriname.

Jeng Na Dhien berharap semoga kiranya Didi Kempot sebagai pemantik pelestari budaya Jawa bagi kaum millenial sehingga mereka punya krenteg melanjutkan menjaga bahasa Jawa dengan kreatifitas mereka yakni Jawa yang nJawani.