Gedung KPK

KPK New Normal, Semoga Bukan Menjadi Peredam Korupsi!

Loading

Independensi.com – Bagi penggemar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemunculan Ketua Dewan Pengawas KPK (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean baru-baru ini mengingatkan ke masa jaya dan kecemerlangan badan anti rasuah itu, walaupun dengan “buah” yang berbeda.

Masa lalu, sempat ada berita tentang KPK di televisi – apalagi breaking news, pasti mata  akan terpatri ke layar televisi, siapa yang ter-OTT, berapa jumlah hasil tangkapan dan lain-lain.

Penampilan Tumpak Hatorangan di media beberapa hari lalu ditunggu-tunggu sejak pelantikannya 20 Desember 2019 lalu, ternyata yang diumumkan adalah selesainya Kode Etik KPK dan penangangannya oleh Dewas. Beberapa izin yang dikeluarkan termasuk Izin  Penyadapan sebanyak 34.

Kalau dulu tidak ada Dewas, pokoknya ada yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) digelandang ke KPK, ditayangkan TV mulai dari daerah sampai di gedung megah KPK. Sampai muncul istilah ‘Jumat Kramat”.

Penggemar pemberantasan korupsi sering gemas menunggu televisi, munculnya juru bicara KPK dan satu, dua Komisioner atau Ketua KPK mengumumkan hasil buruannya berupa lembaran uang serta petugas yang memegangnya pakai penutup kepala dan wajah, walaupun cara itu kurang berarti.

Itu masa lalu, sekarang KPK sudah berubah sesuai dengan perturan perundang-undangan. Maka untuk sementara menunggu kita anggap sebagai “KPK New Normal”, mengambil istilah terkait dengan covid-19, bahwa masyarakat mau tidak mau, setuju atau tidak setuju harus menjalani hidup baru “new normal”, bagaimana penerapannya mudah saja disiplin, ikuti protokol kesehatan, dengan berkat Tuhan tidak akan terpapar virus korona.

Kira-kira demikianlah kita terhadap KPK, karena KPK “bukan yang dulu lagi” seperti lirik lagu Dewi Yul, kalau disimak kayak gegitulah, bagaimana kerinduan terhadap KPK, kau bukan yang dulu lagi, di mana kerjamu, di mana garangmu dan lain-lain, dan lain-lain.

Kita mengemukakan itu ada alasannya, sebagaimana dikemukakan Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan, sejak 20 Desember 2019 telah dikeluarkan izin Penyadapan sebanyak 34 dan telah berhasil satu, sesuai yang diumumkan, yaitu menangkap Karyawan Universitas Jakarta (UNJ) bekerja sama dengan Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari kasus itupun hasilnya “disangka harimau ternyata musang”.

Akhirnya diserahkan ke Polda, karena tergolong “teri”, sesuai peraturan perundang-undangan kewenangan KPK, tidak sesuai jumlah uangnya. Sudah jumlah uangnya sedikit dan tidak pula melibatkan penyelenggaran negara, artinya kelas pungutan liar (pungli).

Itupun kita syukuri, karena masih digunakan kewenangan KPK itu untuk menyadap, hanya saja mendengarnya saja gemas, penggunaannya ibarat “golok mengiris bawang”, bawangnya hancur tangan berlumuran darah, atau lebih besar pasak daripada tiang.

Mudah-mudahan KPK itu tetap Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menjadi Komisi Peredam Korupsi saja. Sebab melihat kondisi sekarang, KPK itu hanya sebagai pemenuh syarat seperti pengawas anggaran dan proyek serta LKPN untuk calon pejabat, tanpa tindakan pro justisia apa bedanya dengan BPKP dan Insipektur Jenderal yang ada di kementerian.

Di era Orde Baru begitu besar harapan terhadap Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun memang lama-kelamaan, segarang-garangnya harimau menyesuaikan diri juga dengan lingkungannya.  Kelihatannya keberadaan KPK juga seolah ter-netraliser oleh kekuatan politik, KPK itu ditempatkan di posisi nyaman di sudut netral.

Harus diakui di masa lalu, KPK sungguh berwibawa, namun sangat menentukan dan menakutkan, tapi mungkin bagi sebagian pihak hampir tak terkendali, seolah-olah “tergantung” arahnya angin.

Sekarang eranya sudah berubah, mungkin tidak tepat penggunaan istilah KPK New Normal, tapi sejarah telah mencatat, kerinduan terhadap KPK “yang dulu” pasti ada. Kalau dari dulu kita ketat seperti era Joko Widodo sekarang, mungkin kelas kita sudah naik, tidak semua serba import.

Mungkin setelah masa penyesuaian dengan UU baru selama enam bulan ini, kita menunggu kiprah KPK New Normal itu. Sehingga tidak perlu dipertanyakan, bagaimana perasaan Presiden Joko Widodo melihat KPK saat ini. Apakah keberadaan KPK sudah sesuai dengan niat DPR dengan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket untuk KPK yang pernah dibentuk, menjadi tugas bersama.

Bagaimana perasaan Tumpak Hatorangan, Artidjo Alkostar dan Albertina Ho sebagai Ketua dan Anggota Dewan Pengawas KPK, ketiga tokoh itu menjadi idola anti korupsi dengan geliat KPK yang diawasinya, mungkin bagaikan menjaga “anak anteng” sesuai fungsi, tugas, dan tanggung jawab menurut UU. Selamat bekerja. (Bch)