Isu Kebangkitan PKI Bentuk Ketidakberdayaan Kadrun

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Praktisi hukum dan politik di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Ranggie (Panglima Jambul) dan Erizely Bandaro, pegiat media sosial, menilai isu bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak lebih dari bentuk ketidakberdayaan oposisi terhadap partai yang sekarang tengah berkuasa, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Kasihan kalangan oposisi, tidak mau introspeksi diri. Mereka tidak akan dapat apa-apapa. Isu kebangkitan PKI, itu, tidak lebih dari bentuk ketidakberdayaan patut diduga kadal gurun alias kadrun dan para pendonornya,” kata Tobias Ranggie, Sabtu, 27 Juni 2020, dan kemudian secara garis besar dibenarkan Erizely Bandaro di dalam akun facebook-nya, Jumat, 26 Juni 2020.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2014), selalu diserang dengan isu PKI dan antek-antek China, karena menjadi Presiden Indonesia dua periode, lewat PDIP dan partai pengusung lainnya.

PDIP, dicatat di dalam sejarah, melahirkan memimpin nasional dari masyarakat biasa, Joko Widodo (59 tahun, kelahiran, 21 Juni 1961), sebagai tukang kayu, kemudian menjadi Wali Kota Solo (28 Juli 2005 – 1 Oktober 2012), Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (15 Oktober 2012 – 16 Oktober 2015), dan Presiden Indonesia (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024).

Wujud ketidakberdayaaan oposisi di dalam membendung kekuatan massa PDIP, menggunakan komplotan manusia berlagak kearab-araban, tukang tebar hoax, tukang fitnah, patut diduga mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibubarkan didasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.

Mantan patut diduga eks anggota HTI, sekarang patut diduga bermetamorfosa menjadi Persaudaraan Alumni 212, sebuah sebutan kelompok yang menggelar aksi unjukrasa kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Jakarta, 2 Desember 2016.

Aksi politisasi agama, berhasil menempatkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan, seorang keturunan Arab, sebagai pemenang, dalam Pemilihan, Rabu, 17 April 2017, sehingga menjadi 2017 – 2022.

Ahok sendiri, kemudian dipenjara 2 tahun karena dinilai melakukan penistaan agama, tapi sekarang sebagai Komisaris Utama Pertamina, untuk membersihkan praktik mafia minyak bumi dan gas di perusahaan pelat merah, itu.

Pegiat media sosial, seperti Denny Siregar, Permadi Arya, Ade Armando, Ninoy K Karundeng, menilai manusia yang patut diduga berlagak kearab-araban, ini, dengan sebutan kadal gurun alias kadrun.

Bahkan Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Arief Pouyono di dalam akun youtube channel Eko Kuntadhi, berjudul: Banyak Kadrun di Gerindra, mengklaim, memang banyak kadrun di Partai Gerindra.

Terminologi kadrun di kalangan Partai Gerindra versi Arief Pouyono, diperluas, yaitu oknum politisi yang kerjanya hanya tukang tebar berita bohong, hoax dan fitnah.

“Tidak ada manfaatnya aksi pembakaran bendera PKI dan bendera PDIP yang dilakukan demonstrans PA 121 di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020. Justru secara strategi politik, akan membuat kader PDIP di seluruh wilayah di Indonesia menjadi solid, dan bisa jadi akan kembali sebagai pemenang dalam Pemilihan Umum tahun 2024, sebagaimana sudah diprediksi kalangan lembaga survey akhir-akhir ini,” kata Tobias Ranggie.

Menurut Tobias Ranggie, semua orang tahu, sejumlah aktor intelektual berada di balik aksi para pihak yang kemudian patut disebut kadal gurun alias kadrun. Karena setelah aksi demonstrasi di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020, para pentolannya terekam menggelar rapat dengan figur tertentu yang kemudian bisa ditebak dari pihak-pihak yang membiayai aksi tersebut.

“Oposisi yang saya maksudkan, selain dari partai politik yang berada di luar pemerintahan, juga sejumlah pihak yang kepentingan bisnisnya terganggu akibat praktik mafia diberantas Presiden Joko Widodo, seperti pembersihan habis-habisan di Pertamina, sekarang, ini,” ujar Tobias Ranggie.

Diungkapkan Tobias, isu kebangkitan PKI, diyakini tidak akan mampu mengalahkan solidaritas masa pendukung PDIP di dalam Pemilu tahun 2024 mendatang. Isu PKI memang sengaja ditiup para pihak oposisi yang selama ini memperalat patut diduga kadrun.

Erizely Bandaro mengulas, mengapa ada organisasi massa Islam yang sangat membenci PKI. Bahkan saking bencinya mereka memvisualkan PKI yang sudah dibubarkan sejak 12 Maret 1966 dalam bentuk photo, demonstrasi dan ujaran kebencian yang tak ada habis-habisnya.

Yang anehnya, kebencian kepada PKI itu tertuju kepada China, bukan ke Vietnam yang juga komunis atau Korea Utara. Padahal komunisme itu sumbernya adalah Rusia. Bukan itu saja, kalaulah mereka membenci komunisme atas dasar agama, kenyataanya di beberapa negara Islam, ada partai komunis.

“Tidak ada masalah. Saya sebetulnya sudah banyak membahas soal ini. Namun saya akan tulis melalui pendekatan psikologi. Kalau dikaitkan ini dengan politik, ya terserah saja. Karena kebencian yang terstruktur dan sistematis memang kerja politik. Orang awam tidak mungkin bisa lakukan itu,” ujar Erizely Bandaro.

Dalam ilmu psikologi ada penyakit kejiwaan yang namanya inferiority complex, yaitu sebuah kondisi psikologis (tingkat alam bawah sadar), ketika suatu pihak merasa inferior/lemah/lebih rendah dibanding pihak lain, atau ketika ia merasa tidak mencukupi suatu standar dalam sebuah sistem.

Bisa saja terjadi, pihak yang menggelar demonstrasi membakar bendera PKI, dan kemudian membakar bendera PDIP, maupun oknum di luar yang membiayai aksi demonstrasi di Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020, bentuk rasa rendah diri mereka terhadap PDIP dan Pemerintah.

Diungkapkan Erizely, kondisi kejiwaan ini biasanya berujung kepada kompensasi atau pemujaan yang berlebihan pada suatu pencapaian atau tendensi untuk mencari pengakuan atau apresiasi dari suatu pihak.

“Semua tahu bahwa gerakan primordial Islam dari waktu ke waktu kehilangan nilai jual. Karena zaman berubah sejak ulama pakai pajero dan moge. Ukuran kehormatan bukan lagi sorban tinggi tetapi fulus. Pada waktu bersamaan mayoritas umat Islam hidup terperangkap dalam kemiskinan. Sementara etnis China yang ada di Indonesia hidup mapan secara ekonomi.”

“Bukan itu saja. Di luar negeri, negara yang penduduk mayoritas Islam kalah telak dengan China yang komunis. Bahkan Turki yang menjadi simbol gerakan khilafah ternyata bersenggama dengan China. Jangankan menggunakan emas sebagai mata uang, malah Turki ikut sistem mata uang China. Arab yang merupakan penjaga dua kota suci, juga berpelukan erat dengan China.”

Di Indonesia, menurut Erizely Bandaro, walau riak menggema sangat keras dalam Pemilu, ternyata gabungan partai Islam tidak ada yang bisa mengalahkan PDIP yang tidak membawa bendera Islam. Bahkan Calon Presiden yang diusung dan didukung fatwa ulama juga keok berhadapan dengan Joko Widodo yang di usung oleh PDIP.

Dikatakan Erizely Bandaro, lantas apa yang tersisa untuk mereka banggakan? Tidak ada. Yang ada adalah semakin dalamnya sikap inferior complex. Dan kalau ada gerakan bela Pancasila seraya mendiskreditkan PDIP dan anti PKI, serta ikut menyuarakan anti tenaga kerja asing China, itu harap maklumi saja.

Dijelaskan Erizely Bandaro, orang yang terjebak dalam inferior complex selalu merasa insecure dan selalu paranoid. Apalagi jika dilihat rekam jejak digital kelompok ini di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013, berkemundang suara lantang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan paham khilafah, tapi kelompok ini juga di Jakarta, Rabu, 20 Juni 2020, berdemonstrasi sok Pancasilais, saat memprotes Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP).

“Makanya mereka berusaha melakukan hal yang bisa menunjukan aktualisasi dirinya lewat demonstrasi, sekedar melipur diri dalam kekalahan dan kekecewaan. Dan jangan berharap mereka akan intropeksi diri. Jadi kembali kita harus maklumi. Kasihani mereka,” kata Erizely Bandaro, mengingatkan, supaya bisa memahami posisi kadrun yang memang hanya diperalat. (Aju)