Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina (kotak hijau) dalam webinar “Potensi dan Strategi Pengembangan Lahan Kering dan Sumber Daya Pangan Lokal untuk Kedaulatan Pangan Wilayah Kepulauan” yang digelar Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) Komda Maluku, Selasa (30/6). (Ist)

Pangan Lokal, Kebijakan Negara Belum Memihak Pangan di Pulau Kecil

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Indonesia memiliki perangkat regulasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, baik melalui UU No 18 Tahun 2012 maupun dalam peraturan turunannya.

Namun, implementasi berbagai peraturan itu tidak nyata dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Bahkan, belum terlihat adanya kebijakan negara yang benar-benar memihak pangan lokal di pulau-pulau kecil.

“Kalau mau jujur, belum telihat adanya kebijakan negara yang memihak pulau-pulau kecil. Di satu sisi, pulau-pulau kecil sangat rentan dengan kebutuhan pangan,” kata Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina dalam webinar “Potensi dan Strategi Pengembangan Lahan Kering dan Sumber Daya Pangan Lokal untuk Kedaulatan Pangan Wilayah Kepulauan” yang digelar Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) Komda Maluku, Selasa (30/6).

Acara yang dibuka Rektor Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. M.J. Saptenno, SH, MHum, menampilkan pembicara, Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, MS (Ketua Umum Peragi); Dr. Ir. Retno Sri Hartati Mulyandari (Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementan RI), MSi; Prof. Dr. Ir. Simon Raharjo (Dosen Faperta Unpatti); Prof. Dr. Ir. J. Riry, MP (Dosen Faperta Unpatti), Dipl. Oek. Engelina Pattiasina (Archipelago Solidarity Foundation); dan Dr. Ir. A.I. Latupapua, MS (Dosen Faperta Unpatti).

Menurut Engelina, persoalan pangan dalam masa pandemi Covid-19 ini sangat penting, karena pandemi ini diperkirakan akan berdampak langsung terhadap ketersediaan pangan, baik karena faktor produksi maupun distribusi.

Untuk itu, katanya, pandemi ini merupakan momen kebangkitan pangan lokal. Kedaulatan pangan secara nasional belum terwujud. Begitu juga kedaulatan pangan lokal masih keteteran di sana-sini. Kalau lebih menukik lagi ke pangan lokal di pulau-pulau kecil, maka tantangannya akan lebih besar.

“Sejauh ini, secara pribadi, kok tidak melihat kebijakan yang berpihak kepada pemenuhan pangan di pulau-pulau kecil, terutama seperti Provinsi Kepulauan seperti Maluku ini,” kata Engelina.

Padahal, kata Engelina, bukan rahasia tantangan untuk pemenuhan pangan di pulau kecil ini jauh lebih sulit ketimbang wilayah daratan. Jadi, kalau kebijakan pemerintah pusat hanya memprioritaskan beras, maka hampir pasti pangan lokal di pulau-pulau kecil akan terabaikan,” tegasnya.

Mantan anggota DPR RI ini mengatakan, persoalan wilayah kepulauan semakin kompleks, karena berbagai regulasi yang merugikan wilayah kepulauan, seperti formula alokasi anggaran, pembatasan kewenangan Pemda di wilayah laut.

“Indonesia ini beragam, perlakuan terhadap pulau besar tidak boleh disamakan begitu saja dengan wilayah dengan pulau-pulau seperti Maluku dan sebagainya,” tuturnya dalam acara yang dipandu Dr. Ir. Edizon Jambornias, MSi.

Untuk itu, kata Engelina, semua pihak harus berupaya sekecil apapun untuk mewujudkan kedaulatan pangan lokal. Namun, Engelina berharap, semua pihak terutama pemerintah memberikan perhatian terhadap pangan local.

“Kami dengan berbagai keterbatasan memfasilitasi, misalnya mengirim ilmuwan dari Ambon ke Korea dan Jepang untuk membicarakan pangan lokal. Begitu juga, setelah muncul pandemi, kami coba berinisiatif untuk melakukan sosialisasi dan mendorong pembukaan kebun contoh di Maluku,” kata Engelina.

Guru Besar Faperta Unpatti, Prof. John Riry mengatakan, Maluku memiliki potensi tumbuhan sagu. Bahkan, Indonesia merupakan pemilik lahan sagu terbesar di dunia. Tapi, kenyataannya sagu seperti ditinggalkan, meski memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dengan pangan lain.

“Kepedulian terhadap tanaman sagu sangat rendah di Maluku, karena meski produksi tinggi tapi konsumsinya rendah. Justru pada 2016, produksi sagu juga cenderung menurun. Ini jadi keprihatinan kita semua,” kata John Riry.

Namun, John Riry melihat, sagu memiliki potensi sangat ebsar baik sebagai sumber pangan maupun non pangan. Dia meminta agar pemerintah jangan hanya fokus soal padi atau beras, tapi juga harus memberikan perhatian untuk pengembangan sagu.

“Sagu ini tanaman asli kita. Hanya butuh perhatian pemerintah dari aspek teknologi dan investasi,” jelasnya.

Dekan Fakultas Universitas Pertanian (Faperta) Unpatti Prof. Dr. J.M. Matinahoru ketika menutup webinar, berharap seminar ini bukan sekadar agar narasumber dapat menyampaikan pikiran dan pengalamannya, dan para peserta mendengar saja.

Tetapi harus ada pemikiran dan tindak lanjut bagaimana hasil seminar ini bisa berpengaruh terhadap ketersediaan pangan lokal yang berdaulat di Indonesia.

Menurut Matinahoru, kalau mempelajari struktur anggaran APBN dan APBD tiap daerah/provinsi, alokasi anggaran untuk sektor pertanian sangat rendah. Dari alokasi yang rendah itu kira-kira 80 persen anggaran lebih difokuskan untuk pengembagan pangan nasional berupa padi, jagung dan kedele.

Akibatnya alokasi anggaran untuk pangan lokal hampir tidak ada, karena sisa 20 persen tersebut dipakai juga untuk kepentingan lain di sektor pertanian.

“Jadi saya sangat berharap bagaimana Peragi dapat berjuang pada tingkat nasional maupun lokal agar politik anggaran sektor pertanian dapat dirubah dengan regulasi yang kuat sehingga para pengambil kebijakan bertekud lutut,” kata Matinahoru.

Dia menjelaskan, problem pengembangan padi di Indonesia cukup riskan, karena kalau musim hujan produksi padi turun drastis karena banjir dan genangan air, kemudian pada musim panas produksi padi juga turun drastis karena problem ketersediaan air. Untungnya problem ini dapat ditutupi dengan impor beras dari Thailand, Vietnam, Filipina dan Kamboja.

“Namun jika terjadi sesuatu dikemudian hari, katakanlah covid-19 terus berlanjut, atau ada ketidakstabilan kondisi di laut Cina Selatan seperti yang di sampaikan ibu Engelina Pattiasina maka pasti akan terjadi kerawanan pangan yang luar biasa, dan hal ini bisa memicu ketidakstabilan politik dalam negeri,” tutur Matinahoru.