Imam Hidayat

Organisasi “Calo” Advokat

Loading

Oleh : Imam Hidayat

Sekarang lagi rame advokat khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya tentang pelarian Joko S Tjandra alias “joker”, dimana dalam kasus itu diduga ada peran seorang advokat Anita Kolopaking.

Ada apa dengan profesi yang gaungnya nobille “terhormat”, tapi faktanya tidak sedikit advokat yang menjalankan profesinya bersengkongkol dengan kejahatan.

Bahkan  merupakan atau “bisa jadi malah otaknya” bagian dari kejahatan itu sendiri, mengapa dan apa yang terjadi…???

Pasca MUNAS II Makassar 2015 PERADI Pecah menjadi 3 PERADI, tidak lagi single bar, inilah titik awal kewibawaan Organisasi Advokat Indonesia runtuh dan ambyar berkeping-keping disusul keluarnya SEMA 73/2015 yang membolehkan PT melakukan penyumpahan terhadap calon advokat yang diajukan oleh beberapa peradi dan organisasi Advokat yang lain diluar peradi…

Tragis dan miris SEMA 73 telah mendegradasi dan menyimpangi UU Advokat no 18 tahun 2003, dan itupun sampai hari ini masih tetap diberlakukan, sehingga lahir banyak Organisasi Advokat Indonesia yang pada ujungnya saling berlomba untuk melahirkan dan melatik para calon “CALO/MAKELAR” advokat-advokat baru.

Setali tiga uang Kementerian Hukum dan HAM (KUMHAM) begitu mudah memberikan/mengeluarkan ijin untuk organisasi advokat baru di Indonesia. Inilah yang membuat Organisasi Advokat (OA) tumbuh subur tak terbendung. Kualitas tidak lagi jadi acuan, kuantitas menjadi tujuan utama OA untuk mencetak advokat-advokat baru…

Regulasi yang tidak standar dalam PKPA, UPA bisa jadi ladang penyelewengan untuk mengumpulkan dana bagi organisasi advokat yang bukan lagi organisasi profesi, tapi mirip dan serupa dengan partai politik, “makin banyak anggotanya makin diakui eksistensinya”. Aneh tapi terjadi dan tetap berlangsung hingga saat ini.

Pengawasan Kode Etik Advokat alias KEA sangat lemah bahkan hampir punah. Dewan Kehormatan (DK) yang tidak lagi bertaring “dipecat dari OA satu pindah ke OA yang lain jumlahnya hampir 34 OA” dan tidak punya nyali dan wibawa, hanya jadi pelengkap organ organisasi.

Siapa yang paling disalahkan jika banyak advokat melanggar kode etik advokat dan melakukan tindak pidana kejahatan…? Mari kita saling merenung, berfikir mencari jalan keluar, sebelum profesi jatuh kejurang ketidak percayaan “not trusted”, dan jadi bahan ketawaan penegak hukum yang lain.

Hilangkan keegoan, musnahkan syawat kekuasaan, sadar kembali tidak ada yang perlu dimitoskan seakan-akan hanya dia, dia yang mampu menyelesaikan permasalahan ini.

Kemudian, duduk dalam satu meja para petinggi-petinggi organisasi, bicarakan dengan hati nurani untuk kepentingan profesi ini kedepan, dan rakyat pencari keadilan serta sebuah bangsa yang mengklaim sebagai “rechtstaat” dan menjadikan hukum sebagai panglima. (*)

Penulis adalah Direktur di Law Firm & Legal Consultants Imam Hidayat & Partners