JAKARTA (Independensi.com)
Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) akan mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 99/G/2020/PTUN.JKT pada 4 November 2020 yang mengabulkan gugatan keluarga korban Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung.
“Karena dalam putusan PTUN Jakarta banyak kekeliruan dalam pertimbangannya,” ungkap Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Feri Wibisono kepada wartawan dalam jumpa pers di ruang Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (5/11).
Feri menyebutkan kekeliruannya antara lain PTUN Jakarta menilai ucapan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI sebagai perbuatan atau tindakan kongkret pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah.
Padahal, tegasnya, apa yang diucapkan Jaksa Agung dalam memberi informasi bukan tindakan kongkret pemerintah sebagaimana obyek TUN yaitu keputusan TUN maupun yang ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor Tahun 2019.
“Karena jika pernyataan dan jawaban pada rapat kerja dengan DPR dikategorikan tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akan banyak pernyataan atau jawaban yang merupakan objek sengketa TUN,” kata Feri didampingi Direktur TUN Andi Herman dan Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono.
Dia mengungkapkan juga kekeliruan PTUN Jakarta terkait syarat kepentingan penggugat dimana dalam pasal 53 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN yaitu “Kepentingannya dirugikan” dan pasal 75 UU Administrasi Pemerintahan yaitu “warga masyarakat yang dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan”.
Dikatakan Feri sebenarnya kepentingan penggugat pada penanganan perkara HAM Berat ditangani ataukah tidak. “Sedang obyek sengketa bukan penanganan perkaranya. Tapi mengenai ucapan Jaksa Agung dalam raker dengan Komisi III.”
Oleh karena itu dia menilai hakim PTUN Jakarta telah salah dengan mencampuradukan syarat kepentingan penggugat dengan obyek sengketa dalam pemeriksaan perkara.
Disebutkannya juga upaya penggugat mengirim surat terbuka kepada Presiden pada 5 Maret 2020 berisi permintaan penanganan permasalahan HAM berat secara keseluruhan bukan upaya banding administratif.
Selain itu, tuturnya, PTUN Jakarta mengabaikan bukti keterangan Ahli Prof Gede Pantja Astawa yang menyampaikan surat terbuka tidak dapat dikategorikan banding administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Dikatakannya juga PTUN Jakarta mengabaikan dan lalai tidak menilai bukti video rekaman rapat kerja komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020 beserta keterangan saksi-saksi yang diajukan tergugat.
Karena dalam video rekaman, tegas Feri, antara lain tidak ada pernyataan Jaksa Agung yang mengatakan “Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”.
Selain itu, dia menilai hakim PTUN Jakarta lalai saat memberi kesimpulan tindakan tergugat cacat substansi karena pernyataannya tidak sesuai fakta sebenarnya, sehingga perbuatan tersebut harus dinyatakan perbuatan melawan hukum oleh Badan atau pejabat pemerintahan.
“Karena hakim PTUN Jakarta tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar sehingga mengkualifikasikan perbuatan Jaksa Agung sebagai cacat substansi,” ucap mantan Kajari Bekasi ini.
Sebelumnya hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban Semanggi I dan I terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin. Hakim PTUN Jakarta juga menyatakan Jaksa Agung melakukan perbuatan melawan hukum terkait pernyataannya dalam rapat kerja Jaksa Agung dan Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020.
Pernyataan Jaksa Agung yaitu “… Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”
Hakim PTUN Jakarta juga mewajibkan Jaksa Agung untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya. Selain itu menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.285.000.(muj)