JAKARTA (Independensi com) – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menegaskan, demi rasa ketenangan, ketertiban masyarakat dan membela diri, Polisi Republik Indonesia (Polri) dari Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), dibenarkan menembak mati 6 dari 10 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan pengawalan terhadap Mohammad Rizieq Shihab (MRS) di Tok Cikampek – Jakarta, pukul 00.30 WIB, Senin dinihari, 7 Desember 2020.
“Jelas-jelas Laskar FPI yang duluan menyerang aparat, ketika akan diperiksa. Tindakan Polisi, telah melakukan tindakan tegas, tepat dan terukur. Memperhatikan rekam jejak FPI selama ini, masyarakaat lebih percaya dengan informasi yang berkembang dari institusi Polri,” ujar Petrus Selestinus, Selasa, 8 Desember 2020.
Diungkapkan Petrus Selestinus, publik harus benar-benar rational dalam memahami konteks permasalahan sebagaimana penjelasan resmi Kapolda Metro Jaya, publik juga harus memahami dengan saksama kondisi obyektif akhir-akhir ini.
“Dimana MRS dan kelompoknya sering resisten terhadap penegakan hukum dan sudah mengarah kepada terjadinya polarisasi antar masa kelompok FPI dan kelompok masyarakat yang mendukung penuh tugas Polri,” ungkap Petrus Selestinus.
Diungkapkan Petrus Selestinus, MRS dan FPI seakan-akan memiliki dan berada pada dunia lain atau dunianya sendiri dengan hukumnya sendiri. Sehingga tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara atas nama Hukum Negara oleh HRS dan kelompoknya selalu dihadapi dengan resisten sampai pada tingkat mengancam keselamatan jiwa aparat Kepolisian yang sedang bertugas.
Terhadap peristiwa penyerangan dimana Polisi kemudian melakukan tindakan tegas, dan terukur dengan tertembak mati 6 dari 10 orang pengikut MRS, telah muncul penilaian pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Ada sebagian yang menilai Polri sebagai melakukan pelanggaran HAM dan sebagian mayoritas masyarakat mendukung penuh tindakan tegas Polri terhadap MRS dan FPI yang dinilai membangkang tugas Polri menegakan hukum.
Pandangan masyarakat yang mendukung tugas penegakan hukum termasuk tindakan membela diri aparat Polri saat terjadi penyerangan di Kilometer 50 Tol Jakarta – Cikampek, meski membawa korban 6 anggota FPI tertembak mati.
“Namun tindakan itu didasarkan pada argumentasi hukum berupa “pembelaan diri secara absolut (overmacht)” menurut pasal 48 KUHP dan “demi kepentingan umum” berdarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” ujar Petrus Selestinus.
Dengan demikian, lanjut Petrus Selestinus, Polri tidak perlu ragu apalagi disalahkan disertai ancaman pihak-pihak tertentu yang hendak membawa kasus ini atas nama dan dengan dalil Pelanggaran HAM Berat.
Dikatakan Petrus Selestinus, tindakan tegas Polri dalam bentuk apapun di lapangan memiliki landasan hukum yang kuat, karena Hukum hanya memberi wewenang penuh kepada Anggota Polri termasuk “wewenang diskresi” untuk menentukan sendiri apa yang harus dilakukan berdasarkan penilaiannya sendiri pada saat di TKP.
Sebelumnya, berkali-kali jurubicara FPI, Munarman, membantah, Laskar FPI melakukan penyerangan terhadap Polisi. Munarman, menuding, polisi melakukan tindak pelanggaran hak azasi manusia. (Aju)