Agus Harimurti Yudhoyono

Isu Kudeta Demokrat, Sejatinya Konflik Megawati – SBY

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Isu kudeta terhadap Ketua Umum Dewan Pimpinan (DPP) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada dasarnya adalah imbas dari konflik politik latens antara Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Megawati Soekarnoputri, politisi berusia 74 tahun, lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) dan Presiden Indonesia, periode 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.

SBY politisi berusia 71 tahun, kelahiran Tremas, Pacitan, 9 September 1949. Jenderal Purn SBY, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, 2001 – 2002 (era Presiden Megawati Soekarnoputri), Ketua Umum DPP Demokrat dan Presiden Indonesia, 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014.

Ketika AHY mengirim surat permintaan klarifikasi kepada Presiden Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), sebagaimana diumumkannya pada Senin, 1 Februari 2021, membuktikan kubu SBY memang mengakui ada konflik politik lantens dengan Megawati Soekarnoputri. AHY anak biologis SBY.

Dalam perkembangan, Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal (Purn) Moeldoko, dituding merupakan bagian dari jaringan luar yang berupaya melakukan kudeta terhadap AHY, di samping politisi internal, Marzuki Alie, Jhoni Allen Marbun, Darmizal, dan Muhammad Nazarudin.

Asumsinya sederhana saja. Presiden Joko Widodo adalah kader PDIP, dan kemudian didukung Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrato (Nasdem), Partai Solidatias Indonesia (PSI), Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Hatinurani Rakyat (Hanura).

Bahkan periode pertama Presiden, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019) didukung Partai Amanat Nasional (PAN). Karena faktor Amies Rais, membuat PAN tidak bergabung dengan Pemerintah di periode kedua. Tapi Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, tetap menjalin komunikasi secara baik dengan Presiden Joko Widodo, sampai sekarang.

Konflik semakin tajam, ketika Rabu, 3 Februari 2021, Wakil Ketua Relawan Pemuda, bagi pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylvia Murni pada pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, 2017, yaitu Fikri mengatakan, mendeklarasikan dukungan bagi Moeldoko sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat. Fikri berharap Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrati, betul-betul diwujudkan, untuk mendongkel AHY dan diganti Moeldoko. Deklarasi dilakukan di depan Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Jumat, 5 Februari 2021.

Menurut Fikri, dukungan kepada Moeldoko diberikan karena mereka menilai mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), itu, potensial sebagai pemimpin, baik di partai, maupun sebagai Presiden.

“Moeldoko potensial untuk menjadi pemimpin. Indonesia ini juga bukan sistem kerajaan yang istilahnya dari bapak ke anak,” kata Fikri.

Fikri menyatakan, di Jakarta, ada sekitar 100 orang yang tergabung dalam Relawan Pemuda pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylvia Murni pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, 2017. Kelompok relawan ini, terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tahun 2017.

Dari ratusan orang relawan itu, beberapa orang di antaranya merupakan kader Partai Demokrat. “Kader yang punya Kartu Tanda Anggota saja, tapi tidak masuk ke pengurus. Relawan pemuda Agus Harimurti Yudhoyono – Sylvia Murni tahun 2017 juga terdaftar di KPU saat itu, menjadi relawan inti pemenangan,” kata Fikri.

Kisah konflik politik latens Megawati – SBY dapat dilihat dari kronologis sebagai berikut. Ketika menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya), Brigadir Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, memerintahkan penyerbuan terhadap Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, Sabtu dinihari, 27 Juli 1996.

Penyerbuan, untuk mengusir massa pendukung Megawati Soekarnoputri hasil Kongres PDI di Jakarta, 22 – 23 Desember 1993, untuk dimasuki masa pendukung Soerjadi, hasil Kongres Medan, 20 – 23 Juni 1996.

Puluhan korban meregang nyawa, dan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, berhasil dikuasai massa pendukung Seorjadi. Semenjak itulah Megawati Soekarnoputri mengubah nama PDI menjadi PDIP. PDIP semakin berkibar pasca kejatuhan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998.

Ketika Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi Presiden, putri Presiden Sokarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), itu, berupaya melupakan masa lalu. Megawati Soekarnoputri, berasumsi, apa yang dilakukan SBY saat menjadi Kasdam Jaya, yaitu memerintahkan penyerbuan terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tidak lebih dari menjalankan perintah penguasa, yaitu Presiden Indonesia, Jenderal (Purn) Soeharto (1 Juli 1967 – 21 Mei 1998).

Karena itulah, Presiden Megawati Soekarnoputri, memilih SBY sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, karena sudah menyandang pangkat jenderal bintang empat.

Pada tahun 2002, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), mengesahkan undang-undang pemilihan presiden secara langsung. Sejumlah nama calon presiden bermunculan, termasuk nama SBY.

Melihat kenyataan itu, Megawati menanyakan langsung kepada SBY, apa betul sesuai informasi di luar, bakal maju sebagai Presiden Indonesia, dalam pemilihan langsung yang akan digelar pada tahun 2004?

Megawati Soekarnoputri, menegaskan, apabila SBY ingin maju sebagai Presiden Indonesia dalam Pemilihan Presiden tahun 2004, tidak masalah, karena itu sudah menyangkut hak politik seseorang.

Dalam diskusi internal keduanya, Megawati Soekarnoputri mengingatkan, jika ingin maju sebagai calon Presiden pada pemilihan umum tahun 2004, maka konsekuensinya SBY harus mundur dari menteri, karena pemerintah tengah focus menangani separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga perlu keberadaan seorang Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, menjadi sangat sentral.

Mendapat pernyataan dan penegasan dari Presiden Megawati Soekarnoputri, maka SBY SBY menyatakan tidak akan maju dalam Pemilihan Presiden tahun 2004.

Presiden Megawati Soekarno mengumumkan operasi militer di dalam penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Rabu, 3 Juli 2002. Akan tetapi hanya berselang delapan hari kemudian, SBY, mengundurkan diri sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kamis,11 Maret 2002.

Mirisnya lagi, pengunduran diri SBY melalui strategi playing victim, mengubah alur cerita dan bersikap seolah dialah korban. SBY berdalih mundur dari Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan karena tidak pernah lagi diajak rapat dan diskusi, terutama terkait operasi militer di dalam menumpas separatis GAM.

Tidak pelak lagi, SBY mendapat simpati masyarakat luas. Setelah pulang dari Amerika Serikat, pasca mundur Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, SBY terus mendapat simpati dan Partai Demokrat, tiba-tiba dikenal semakin meluas, bersamaan masifnya pemberitaan di berbagai media massa, bahwa SBY adalah presiden masa depan di Indonesia.

Dalam ranah psikologis yang terus posotif, SBY melakukan strategi tidak lazim di dalam menarik simpati masyarakat pemilih. Para tokoh agama dari Provinsi Jawa Timur, kemudian tanpa ujung pangkal, mengeluarkan fafwa haram hukumnya memilih Presiden Indonesia berjenis kelamin perempuan. Itu tujuannya agar massa mengambang, tidak lagi memilih Megawati Soekarnoputri.

Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Fauzan Al-Anshari menyatakan Presiden wanita haram hukumnya. “Keputusan ini kami ambil berdasarkan Al-quran, sunnah dan pendapat para ulama,” kata Fauzan Al-Anshri, Senin, 7 Juni 2004.

Berkat metode kampanya diskriminatif dan tidak mendidik, ini, membuat SBY dan Jusuf Kalla (JK) pada pemilihan presiden putaran kedua, 20 September 2004, mengantongi 69.266.350 suara (60,62%) dan pasangan Megawati Soekarnoputri – KH. Hasyim Muzadi hanya mengantongi 44.990.704 suara (39,38%).

Dari kenyataan ini, sejatinya Megawati Soekarnoputri yang identik dengan PDIP dan SBY yang identik dengan Partai Demokrat, belum sepenuhnya bisa disatukan dalam perjuangan politik di dalam membentuk sebuah pemerintahan.

Kendatipun saat menjadi oposisi selama Pemerintahan Presiden SBY, posisi PDIP bersikap santun dan terukur di dalam mengkritik pemerintahan. Akan tetapi ketika giliran Partai Demokrat berada pada posisi oposisi di era pemerintahan PDIP dan koalisi, tapi lagi-lagi Partai Demokrat selalu bersikap sinis dan nyinyir, tanpa memberikan kritik yang konstruktif, sebagaimana selalu dilontarkan Roy Suryo, Bennny K Harman dan lain-lain.

Isu kudeta Partai Demokrat yang dibuka sendiri oleh AHY, akan semakin membuat jarak Megawati Soekarnoputri dan SBY terus menjauh.

Runut sejarahnya, SBY perpanjangan tangan Soeharto. Megawati Soekarnoputri perpanjangan tangan Soekarno. Tahun 1965, Soeharto mengkudeta Soekarno melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965 (John Roosa, 1998).

Mengacu kepada penyerbuan Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro 58, Jakarta, Sabtu, 27 Juli 1996, apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo, melakukan pembiaran terhadap konflik internal di Partai Demokrat, maka suka atau tidak suka, AHY, SBY dan kroninya, pasti akan tersingkir dari partai politik berlambang mercy, itu.

Satu-satunya langkah jitu menyelamatkan AHY sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, adalah melakukan komunikasi politik. Demi mencegah Partai Demokrat direbut orang lain, apapun alasannya, SBY harus segera turun tangan, berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo, Megawati Soekarnoputri dan petinggi PDIP lainnya.

AHY sendiri, harus segera introspeksi menyeluruh di dalam memimpin Partai Demokrat. Di antaranya membersihkan diri dari isu suka minta uang setoran pada setiap kunjungan kerja ke sejumlah Dewan Pimpinan Daerah(DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sebagaimana dugaan dari Ferdinand Hutahaean, pengamat politik dan mantan kader Partai Demokrat dalam diskusi dengan Rudi R Kamri dalam Kanal Anak Bangsa, Jakarta, Rabu, 3 Februari 2021.

Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, sudah menegaskan, Presiden Joko Widodo, tidak akan membalas surat permintaan klarifikasi dari AHY, karena bukan ranah Pemerintah, tapi masalah internal sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. (aju)