ayh
Praperadilan AYH. (foto istimewa)

Kuasa Hukum Anggap Penetapan AYH Tidak Sah Secara Hukum

Loading

JAKARTA (Independensi.com)- Tim penasehat hukum gabungan AYH, masing-masing Hasan Madani, Aristo Yanuarius Seda, Mahmuddin, Kamal Farza, dan Ifdhal Kasim, baru saja mendaftarkan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk penetapan tersangka dan penahanannya.

 

Menurut Ifdhal, penetapan tersangka dan penahanan AYH bertentangan dengan ketentuan formil yang diwajibkan KUHAP. “Terkesan tergesa-gesa, dipaksakan, dan eksesif menggunakan rambu hukum yang ada. Karena itu, hari ini kami menguji di hadapan yang mulia majelis hakim, apakah penetapan dan penahanan tersangka seperti yang dilakukan jaksa seperti itu dapat dibenarkan secara hukum?” kata

Ifdhal Kasim mempertanyakan.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang secara tegas dan jelas menentukan Penetapan Tersangka merupakan objek praperadilan. Dasar pertimbangannya adalah, “Karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap Hak Asasi Manusia, maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.”

 

Putusan MK tersebut jelas selaras dan sesuai dengan maksud dan tujuan diselenggarakannya lembaga Praperadilan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu terjaminnya Hak Asasi Manusia sehingga tersangka tidak dapat diperlakukan secara semana-mena.

 

“Permohonan Praperadilan yang kami ajukan hari ini adalah bermaksud menguji sah tidaknya penggunaan wewenang yang digunakan penyidik dalam menetapkan dan melakukan penahanan terhadap klien kami (AYH). Lembaga Praperadilan saat ini  tidak hanya terbatas menguji wewenang Penyidik yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, melainkan juga penggunaan kewenangan lainnya seperti penetapan tersangka dan penahanan yang berindikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia,” tanbahnya.

 

Dilanjutkannya, hubungan AYH dengan PD Sumsel (BUMD) adalah bisnis dengan bisnis. AYH adalah profesional, pengusaha, yang membangun usaha patungan dengan BUMD, dalam badan hukum perseroan terbatas yang legal dan sah. Dalam kerja sama patungan tersebut pihak swasta menggunakan uang dari modal sendiri bukan uang negara, membeli dan menjual secara sah. Usaha patungan tersebut tidak menggunakan fasilitas negara (BUMD).

 

Bagaimana mungkin kemudian beliau  ditetapkan sebagai tersangka melakukan korupsi dan ditahan pula? Ini preseden buruk bagi dunia bisnis di Indonesia,” tambahnya

 

 

Tindakan penyidik tersebut, selain tidak sejalan dengan hukum dan menghormati hak asasi manusia, juga dikhawatirkan menjadi preseden hukum yang buruk bagi iklim bisnis yang sedang digenjot Presiden Joko Widodo. Akan banyak pelaku usaha yang melakukan usaha patungan (joint venture) dengan BUMN/BUMD was-was, karena sewaktu-waktu bisa saja mereka dibidik dengan mudah melakukan korupsi.

 

“Jelas ini tidak kondusif bagi usaha membangun iklim bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi klien kami, ini jelas telah dirampas hak asasinya,” paparnya

 

“Sejak kasus ini mulai diperiksa, klien kami selalu koperatif, hadir setiap dipanggil. Tidak ada indikasi apapun klien kami melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan. Klien tidak lagi punya akses atas perusahaan daerah tersebut,” sambungnya.

 

Penetapan tersangka dan penahanan AYH dianggap telah menimbulkan keadaan yang buruk, dan tidak mendapatkan pemeriksaan secara layak. Ini juga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan telah menimbulkan perlakuan yang secara sewenang-wenang dan tidak wajar. “Hal ini tentu menimbulkan kerugian besar juga bagi klien kami baik secara materiil maupun immaterial,” timpalnya.

 

 

 

Petitum permohonan:

 

  1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonanpraperadilan  pemohon ini untuk seluruhnya

 

  1. Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka telah melanggar Pasal2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

 

  1. Memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Nomor: Print-04/L.6.5/Fd.1/10/2019 tanggal 25 September 2019, Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-09/F.2/Fd.2/01/2020 tanggal 10 Januari 2020 Jo. Nomor: Print-539/F.2/Fd.2/11/2020 tanggal 12 November 2020 Jo Nomor: Print-565/F.2/Fd.2/11/2020 tanggal 27 November 2020 Jo. Nomor: Print-23a/F.2/Fd.2/04/2021 tanggal 06 April 2021 Jo. Nomor: Print-28.a/F.2/Fd.2/05/2021 tanggal 20 Mei 2021

 

  1. Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap pemohon sesuai Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: F.2./Fd.2/09/2021 tanggal 08 September 2021 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah  diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

 

 

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

 

  1. Memerintahkan kepada termohon untuk membebaskan tersangka  Ahmad Yaniarsyah Hasan (pemohon dalam perkara Praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan

 

  1. Menghukum termohon untuk membayar ganti kerugian materiil Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta Rupiah) dan kerugian immaterial sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

 

  1. Melakukan rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum pemohon sesuai dengan harkat dan martabat dari pemohon

 

  1. Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara a quo atau

 

Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono)