BEKASI (IndependensI.com)- Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi masuk 10 nomine penerima Anugerah Kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (AK-PWI) pada Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang akan diselenggarakan di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Rahmat Effendi salah satu dari sepuluh Bupati/Wali Kota dari Pulau Sumateta, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi hingga Pulau Nusa Tengggara Barat yang terpilih. Mereka telah menyisihkan proposal dan video dari rekan seprovinsi, maupun provinsi lain di Tanah Air, ujar Penanggung Jawab HPN 2022, Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari, kemarin.
Pemilihan nomine sebagai bagian dari keseluruhan proses yang telah berlangsung sejak September lalu, hingga puncak HPN, 7-9 Februari 2022 nanti di Kendari, Sulawesi Tenggara, katanya.
“Anugerah Kebudayaan PWI hanya salah satu dari sekian banyak mata acara HPN 2022, yang juga sedang berproses. Dalam bentuk konvensi, seminar, bakti sosial, klinik jurnalisme, penganugerahan, hingga penanda tangangan kerja sama,” tandas Atal.
Ke-10 kepala daerah yang dipilih tersebut ditetapkan dalam rapat Tim Juri AK – PWI pada Jumat (3/12/2021), terdiri dari orang yang beragam dari segi usia, latar belakang suku, pendidikan, agama, budaya, partai, hingga masa kerja. Nominenya antara lain Wali Kota Bekasi Jawa Barat Rahmat Effendi, Bupati Buton Sulawesi Tenggara La Bakry, Bupati Lamandau Kalimantan Tengah Hendra Lesmana, Bupati Indramayu Jawa Barat, Nina Agustina, Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan, Bupati Lamongan Jawa Timur Yuhronur Efendi, Wali Kota Surakarta Jawa Tengah Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Padang Panjang Sumatera Barat Fadli Amran, Bupati Magetan Jawa Timur Suprawoto, dan Bupati Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat Musyafirin.
Masing-masing kepala daerah tersebut berhasil dengan baik menarasikan dan memvisualkan pergulatan memenangkan kesehatan, berbasis informasi dan kebudayaan, guna mewujudkan perilaku baru. Salah satu yang menarik, sebelum ada kebijakan prokes pandemi Covid-19, di antara daerah-daerah tersebut sudah memiliki “protokol warisan nenek moyang” dalam menghadapi wabah, yang dirawat dalam adat dan tradisi setempat. (jonder sihotang)